PENYAIR MUSLIM, ONTA ARAB, DAN DUKUNG-MENDUKUNG

Sebagai muslim, seperti halnya guru terbesar saya, Nabi SAW yang menerima wahyu, saya tidak sedang  bicara angka. Begitulah kelahiran saya sejak bayi hingga mati. Tapi bicara kemenangan. Kemenangan ini-itu. Kemenangan prinsip. Hakekat hidup.

Seperti saya bilang, kepenyairan sejati tak akan runtuh gara-gara berbahasa partai. Bahkan bisa lebih netral-universal, daripada yang mengaku-ngaku tidak merapat ke bahasa partai agar mengayomi semuanya. Meskipun ada juga yang non-partai pendekatannya, berhasil spiritualitas kemanusiaannya.

Termasuk ketika saya mendukung Ahok-Djarot di Pilkada DKI 2017. Meskipun untuk perjalanan itu saya kena damprat juga, terutama melaui media sosial, dituding PKI, komunis, Cina, anjing, antek, kafir, cuma 'nyari makan', dlsb. Semua yang serba tidak mencerahkan. Gelap. Meskipun saya termasuk orang yang tegas mengatakan, PKI sebagai sebuah partai sudah resmi bubar. Generasi lama negri ini mengakui atau dikabarkan sejarah, trauma pada perjalanannya. Generasi baru tidak kenal sama sekali. Sementara komunisme itu hanya paham yang datang dari luar, sedangkan setelah lepas dari 'otak terjajah', keindonesiaan kita lebih utama dari itu. Bahkan muslim Indonesia yang teguh saja,  tidak mau harus bertradisi Arab sepenuhnya, kecuali hanya bersanding budaya. Bagaimana mungkin akan mudah menerima komunis mutahir?

Jauh waktu sebelumnya saya malah dituding onta Arab. Lucu ya? Serba senang yang berbau Islami. Segala sesuatu selalu pake pendekatan Islam. Bahkan ada yang maki-maki, sebaiknya saya menanam korma. Padahal keislaman itu ruh hakiki. Apa kaitannya dengan onta Arab dan korma? Meskipun melihat gambar onta, padang pasir dan korma saja saya selalu rindu Rosulullah SAW. Kalimat airmata saya, "Ya Rasul Salam Alaika".

Meskipun meleset bisa menang 50+1 dalam satu putaran, paslon petahana cagub-cawagub DKI, Ahok-Djaro akhirnya berhasil tembus putaran kedua. Tapi sampai ke putaran dua Pilkada DKI, insya Allah, saya tetap Ahok-Djarot. Kalah menang, siapa takut? Ini pendidikan politik.

LUKA PARAH

Sebenarnya saya lebih nikmat bicara apapun dalam kapasitas manusia seutuhnya, berakal budi, hamba Allah  yang punya hak azasi manusia, ketika bicara apapun. Tetapi di era pertarungan yang selalu tidak sehat ini, selalu ditandai dengan pertanyaan sinis, siapa kamu? Padahal yang merasa memiliki jawaban 'sebagai', kerjanya ribut atau bikin ribut melulu, apalagi di tv, ranah publik, dengan argumentasi yang sering ngawur. Tapi populer. Dan secara pragmatis popularitas bisa menaikkan gengsi. Meskipn titel dan jabatannya bisa dibilang representatif. Maka kadang dengan terpaksa saya harus agak menjual diri aku penyair, aku budayawan, aku mukmin-muslim, aku nasionalis religius. Yang selintas jadi terdengar sombong. Sehingga terpaksa di media sosial sering sengaja dibuat agak lucu-lucuan sebutan itu. Biar mencair. Diolok-olok sebagai penyair gadungan, bahkan sebagai muslim  abal-abal pun, monggo. Yang penting dimaklumi dulu hadirnya. Setidaknya hadir sebagai alif yang ganjil, atau 'nun mati' yang hidup. Lalu isinya ketahuan terlalu serius.

Gilang Teguh Pambudi Cannadrama.blogspot.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG