APRESIASI NAH LHO

Ketika aku katakan bahwa keramik pada tumpukan ketujuh yang terbaik, banyak yang protes, mengapa tidak nomor dua atau ke sembilan. Disangkanya aku fanatik angka tujuh, padahal walaupun ada iya-nya, asal tidak fanatisme sempit, taklid buta, kulihat saat itu pada tumpukan ke tujuh keramiknya memang bagus. Cocok dengan tempat pemasangannya. Warnanya teduh. Coraknya dewasa. Akan kelihatan, siapa paling nyaman di tempat seperti itu. Setidaknya, orang yang suka merenung, misalnya. Tinggal ditunjang furnitur, warna dan hiasan dinding, serta aksen bagaimana yang akan mendukungnya.

Pada kesempatan lain aku memilih kemeja merah sebagai kemeja yang banyak naik panggung, di event yang melibatkan aku. Tudingan pun macam-macam, dari Islam Abangan, yang entah apa maksudnya, sampai dianggap partisan partai politik. Masabodo! (Kalaupun merahnya ada isyarat partai, kan gak dosa!). Yang jelas mukmin-muslim itu merah, pemberani. Tentu merah artinya putih, putih artinya suci. Suci itu ada pada putih. Putih itu ada pada merah. Tapi aku gak menganjurkan negaraku berbendera warna merah saja, meskipun merah Indonesia menunjukkan kedasyatan.

Nah ketika kusebut merah itu Islami, ada yang protes, kalau gak dianggap terlalu fanatik atau dogmatis, tidak toleran, malah dinilai mengingkari Islam yang mestinya hijau (kebenaran yang sejuk dan menyejahterakan) atau hitam (kedalaman ilmu Allah yang penuh rahasiaNya). Atau putih, ihlas kepada Allah dan berorientasi (takwa) kepada kesucian dari Yang Maha Suci.

Gara-gara sebagai seniman radio, narasumber senibudaya, dan entertainer yang sering mengadakan lomba dan pertunjukan seni aku sempat menjadi juri beberapa lomba tari jaipong juga, padahal aku juga mengisi beberapa acara senibudaya di mesjid, pesantren dan sekolah Islam, maka ada yang menyebutku ular. Maka selalu kujawab, kalo ular Musa lain. Dia bersyahadat. Punya bismilah dan salam. Ular Musa lebih besar dari ular-ular Fir'aun. Semua bisa dilahab habis.

Dalam beberapa forum seni dan apresiasi seni di radio, aku bahkan menambahkan kata gilang pada unsur tari itu. Menjadi, goyang, gitek, geol dan gilang. Bukan tanpa alasan tentu saja. Kata gilang di sini kuartikan, kegemilangan memahami isi, bahwa eksotika tari dan panggung bisa menjadi menarik karena kekuatan niat baik, minimal niat menghibur secara cerdas. Bukan sebagai tawaran kemesuman. Meskipun ada unsur sensual dan erotik.

Gilang juga berarti apresiatif (Apresiasi Seni), menghargai sisi yang pantas dihargai. Ini bukan soal liberal dan hedon yang diperdebatkan itu. Yang liberal dan hedon itu, ketika rok mini dan celana pendek  cenderung bergerak ke arah keberanian telanjang, ketelanjangan itu cenderung bergerak ke arah seks bebas dan pelacuran. Itu garis tegas, bahkan iming-iming yang sengaja dipropagandakan. Sebagai gula-gula yang murah, banyak peminat. Meskipun, aku biarkan anak perempuanku waktu SD menari pakai rok mini, lagunya Inul pula, karena arahnya gak ke situ. Maka wajar kubisikkan, "Nanti kamu SMA-nya di sekolah Islam ya?" Ahirnya, setelah gak jadi daftar ke MAN dia masuk SMK Muhammadiyah.

Tapi ketidaksukaan berlebihan itu ada juga dampaknya. Padahal waktu aku SD, bahkan anak-anak sekampung di Jawa Tengah disuruh bapakku nari jaipong semua di halaman rumah.  Waktu itu aku dan adik-adikku diajari jaipong di SDN Tegalega Sukabumi. Tetapi sekarang, tahun 2015, aku gak yakin di sebagian saja panggung Agustusan di Jawa Barat ada tari jaipongan (kompilasi dan kreasi dari banyak tari Sunda sebelumnya). Walaupun di Cimahi dan Bandung tahun 1994 kalau aku jadi MC, panggung-panggung masih wangi jaipong. Sementara panggung-panggung hiburan hari ini telah meninggalkan jaipong? Maksudku, tari jaipongan di berbagai event hiburan, bukan sekadar panggung nyawer jaipong semalaman seperti di beberapa kabupaten, yang itupun juga mulai sepi. Paling-paling dalam hajat budaya tertentu dan cuma dimunculkan sebagai ikon pariwisata. Coba cek!

Aku gak yakin, kalau dinas pendidikan, bahkan departemen agama, akan menyebut ini sebagai keberhasilan program pendidikan karakter.

STANDING APPLAUSE
Aku punya ritual standing applause yang semoga bijak dan dicatat Allah. Seusai mengikuti Munas PRSSNI di Jakarta, beberapa saat kemudian kami mengikuti Musda Jabar di Cianjur, 2004. Aku duduk dengan direktur radio Trend FM. Di awal acara formal itu muncul tarian jaipong. Panitia cukup cerdik, kataku. Aku sangat bahagia. Aku melakukan standing applause di ahir tarian. Kedua, ketika aku menjadi narasumber sebuah TV lokal di Purwakarta, Jatiluhur TV. Di minggu kedua tayangan Audisi Bintang Nyanyi itu dibuka dengan tari jaipong. Aku menoleh ke teman, sesama juri, Ali Novel, kubilang, "Tepat!" Lalu di ahir tarian aku lakukan standing applause. Ketiga, saat aku menemani Nurulita, anakku utusan SMPN-4, cannadrama, Wisata Sastra Situ Buleud dan Rumah Seni Purwakarta, sebagai juara dua kali berturut-tutrut lomba puisi se-Jabar piala Pikiran Rakyat. Di sebuah hotel di Bandung. Aku duduk sebangku dengan penyair muda Rudi Ramdani yang membawa utusan juara satu tingkat SMA dari sebuah SMA di lingkungan Pondok Pesantren Almuhajirin. Tiba-tiba bagian depan panggung berasap. Muncul musik. Ternyata ahirnya pecah oleh pertunjukkan jaipong. Akupun mengambil kamera, mengabadikan momen itu. Standing applause pun kuberikan padanya.

Keempat, ini justru peristiwa silam, awal tahun 2000. Aku hadiri malam puisi yang digagas Ali Novel dkk. Tiba-tiba di tengah baca sajak ada jaipongan oleh penari berjilbab. Dan setelah turun panggung penarinya menghampiriku, eh ternyata dia anggota teaterku (KAREP), kelompok akting remaja Purwakarta. Pangling oleh dandanan dan make up. Aku bertepuk tangan untuk pertunjukkan itu. Pada saat itulah aku membacakan dua buku antologi puisi-puisi pendekku.

Itu hanya beberapa contoh, ketika jaipongan (termasuk yang berjilbab) masih bisa memasuki berbagai bentuk panggung. Ada yang dalam seremoni resmi, ada yang beupa panggung hiburan masyarakat umum. Itu maksudku. Ingin rasanya mengatakan, belum terasa panggung Sunda-nya tanpa menyisipkan tari Sunda. Setidaknya jaipong. Karena menurut penelusuranku, jaipong itu merupakan kompilasi dari banyak tari Sunda, padat, lentur, dan progresif. Bahkan ada unsur  pencaknya (kembangan  silat).

Bahkan untuk khas kembangan  silat di dalam jaipong, itu termasuk jurus mulus. Kenapa? Ketika erotika dan sensualitas sedang naik kritikannya, bahkan luarbiasa pedas bukan main, unsur ibing pencak (juga gerak teaterikalnya) agak lebar maju ke depan. Sensualitas ditahan-tahan.

Aku suka tersenyum. Kufikir, sesungguhnya tidak perlu begitu. Tapi okelah, ini kan bagian dari upaya membaca kekinian ruang publik. Kalau beberapa jawara jaipong kutanya,"Kenapa jadi begitu?" Mungkin mereka akan menjawab, "Lagi memainkan jurus mulus". Haha!

Dari tahun 1994, sejak di Cimahi Bandung aku kebetulan suka mengadakan lomba tari dan juga menjadi juri tari. Dari modern dance, joget dangdut sampai jaipongan. Bahkan sebagian dari pertunjukan teaterku selalu menyisipkan jaipongan. Apa yang kufikirkan? Transformasi nilai dan keunggulan kazanah seni daerah sebagai aset nasional, bahkan dunia. Kita diskusi menelusuri rasa kemanusiaan melalui media gerak, dengan tidak melupakan ajen-atikan. Kode zaman. Titen ciren. Sinyal manfaat-manfaat.

PEMERINTAH
Setahuku, pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang berisi lembaga-lembaga itu, berisi sekelompok manusia. Dan manusia-manusia di situ tidak sempurna bisa menjawab seluruh pertanyaan masyarakat, baik dalam bentuk teori atau kebijakan. Sehingga membutuhkan peran serta para pemikir, para pawang, yang tahu persoalan-persoalan tertentu.

Sampai-sampai pada suatu waktu, ketika Einstin menemukan 'sesuatu', ia berfikir, apakah pemerintah yang tidak tahu tentang temuannya layak diberitahu? Kalau diberitahu, akan menguntungkan kehidupan manusia atau merugikan? Karena sebuah keris MPu Gandring, ternyata seenaknya saja dipakai oleh kubu  Ken Arok. Ini soal tahu dan tidak tahu, juga soal makna tahu, dan derajat sampai-tidaknya ke titik tahu.

Tetapi kalau sebatas solusi-solusi sosial kemasyarakatan, masalah senibudaya, bukan hal-hal 'seram',  mestinya ada sinergisitas yang cair antara masyarakat, intelektual (budayawan), dan pemerintah.

Pemerintah dan masyarakat perlu mendapat pandangan-pandangan mendasar, kritis, dan sesuai dengan keadaan yang dihadapi. Ujung-ujungnya akan terjadi kesepahaman bersama. Kesadaran kolektif. Untuk menghadapi segala tantangan.

Upaya menampung aspirasi masyarakat memang utama, tetapi tidak hanya sebatas judul atau slogan saja tentunya. Seperti dalam banyak kasus, sebuah kebijakan disebut-sebut telah menempuh proses ini-itu, tapi nyatanya pemerintah mengambil keputusan sepihak yang tidak pro-masyarakat.

Kembali ke soal jaipong (juga tari tradisi lain). Buat apa dijadikan ikon (pariwisata), kalau pemerintah merasa hanya mampu mencipratkan anggaran kesana kemari untuk beberapa event pemerintah daerah atau pusat? Tetapi tidak sanggup memotivasi masyarakat agar kesenian itu hidup di tengah masyarakat secara natural? Hidup sehari-hari. Sehingga keterlibatan pada kegiatan dengan anggaran pemerintah itu hanya sebatas upaya apresiasi, promosi, membangun jaringan, dukungan, pengakuan, dlsb. Itu pun belum tentu memiliki kuota yang cukup untuk menampung semua penari yang ada di kabupaten (negara). Dari sebagian yang terkatrol, keterwakilan itu, bisa terlibat 4 kali kegiatan setahun saja sudah sangat bagus. Tetapi adalah kekeliruan besar kalau orientasi kegiatan senibudaya hanya berpusar di wilayah itu. Keliru! Masyarakat secara independen tidak percayadiri dan tidak bergerak. Dicocok hidung untuk jumlah kegiatan dan putaran uang yang tidak seberapa (dari kantong pemerintah) bagi masyarakat. Entahlah kalau putaran uang di kantong-kantong orang tertentu. Entahlah, kalau maksudnya secara politis pemerintah daerah atau pemerintah pusat mempersiapkan itu untuk sebuah orasi: "Sukses melakukan proses penradisian senibudaya daerah". Tetapi setelah beberapa waktu, dengan pergantian kepala daerah atau presiden, masyarakat baru tahu, penradisian itu gagal.

Aku melihat, dinas pendidikan tidak sungguh-sungguh menularkan kecintaan pada senibudaya daerah, agar sejalan dengan promosi pariwisata. Buktinya pemahaman pada etika-estetika-eksotika karya seni panggung, di kalangan guru dan murid masih gagap. Ini indikator tumpulnya pinsil penradisian tari daerah. Padahal dalam setahun, tiap sekolah punya beberapa event seni, mulai dari hari besar nasional, hari besar agama sampai kenaikan (perpisahan) sekolah. Sedangkan generasi barunya, tidak punya solusi tarian-tarian rakyat lain. Kecuali mematikan.

Dalam ruang gagap inilah modern dance, termasuk tari-tarian negri orang, termasuk kostum-kostum Jepang dll menyeruak. Alih-alih terjadi proses penradisian, yang ada justru bunuh diri. Sama gagapnya dengan dinas pariwisata sendiri yang tidak memiliki daya untuk mempengaruhi agar masyarakat menjadi sangat biasa dengan gairah seni tradisi. Seperti yang diurai di awal, panggung agustusan pun sepi dari tari daerah.

CINTA TANAH AIR

Beberapa tahun lalu ketika aku masih tinggal di Purwakarta. Aku berfikir untuk mengetahui, kalau bicara soal cinta tanah air, kira-kira apa yang ada di hati dan kepala generasi muda kita? Belakangan itu marak sekali kenakalan remaja di mana-mana. Apalagi geng motor, fandalisme, dll. Lalu dalam keadaan berkantong cekak, tanpa sponsor, aku langsung bikin Lomba Tulis Puisi Cinta Tanah Air. Peserta adalah Pramuka Penegak. Untung aku dapat gratisan spot promo radio, sehingga lomba itu mudah didengar masyarakat. Naskah dikirim ke radio dan piala akan diantar ke sekolah pemenang. Saat itu, mungkin ada yang bisik-bisik, "Kalau gak ada anggaran ngapain ngadain acara begituan, sosial amat, tungguin aja acara-acara bupati!" Tapi aku masabodoh saja. Apalagi jualan puisi itu tidak gampang. Kalaupun satu dua lolos diajukan ke program daerah, selain tidak bersifat segara/spontan, kita tidak bisa melipat-lipat tema secara kreatif dan progresif. Ini penting menurutku, bahkan emerjensi.

Sampai-sampai ketika menyerahkan piala kepada pemenang di beberapa SMA, aku sengaja datang pakai kaos oblong, sendal jepit, dan berjalan kaki menemui perwakilan guru. Aku cuma mau bilang, seberapa inspiratif lomba seperti ini? Apakah berharga pialanya? Apakah sekolah akan menyambutnya?

Cinta tanah air itu bisa digarap dengan ragam cara. Termasuk melalui kegiatan senibudaya agar kawula muda, minimal mencintai kampung halamannya (potensi, kazanah, dan kearifan lokal itu) secara bijak, dalam rangka mencintai Allah, dalam kerangka spirit nasionalis Indonesia. Kataku, kuncinya ION-PION. Isi Otak Nasional (nasionalisme) dan Pelaku Isi Otak Nasional (pribadi nasionalis). Dengan rasa ini, siapa yang berani percayadiri mematikan seni tradisinya yang baik-baik saja?

Penting kiranya membandingkan dua iklan ini di radio. Pertama, sebuah iklan yang  menyampaikan pesan, "Apa yang kau fikirkan tentang cinta tanah air? Apakah itu artinya mencintai kampung halaman kita ini? Lalu bagaimana mencintai tanah air itu?" Kedua, sebuah iklan kopi dengan pesan, "Inilah kopi pilihan kita. Kopi terbaik!" Nah, mana yang  paling berpengaruh kepada masyarakat pendengar/audience?

-----.

Gilang Teguh Pambudi
Narasumber Senibudaya, Cannadrama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG