KEBOHONGAN SENI DAN POLITIK NYAWER

Jaipongan. Atau kehadiran seni tradisi tertentu. Sebaiknya jangan sebatas lomba. Seringkali lomba tidak merepresentasikan geliat seni yang sesungguhnya di masyarakat. Cuma sebatas 'diadakan' atau diada-adakan'. Selain itu cuma cara pemerintah tertentu buang sial. Yang penting proses pentradisian itu sudah diakan. Padahal cuma sebatas seremoni lomba yang tidak terukur visi-misi dan pengaruh publiknya.

Meskipun demikian lomba-lomba seni tetaplah penting.  Apapun. Termasuk lomba tari tradisional. Bisa menjadi aksen penegas bahwa suatu seni tertentu masih ada. Ada seninya, ada senimanya, dan ada pencintanya.

Bayangkan kalau suatu lomba tari tradisi di sebuah kabupaten, minimal diselenggarakan oleh pemerintah 2-3 kali setahun. Lalu swasta/komunitas yang berbeda-beda juga mengadakan lomba sejenis 12 kali setahun. Itu akan punya pengaruh positif dari simbol gerak dinamis masyarakat melalui tari. Ditambah lagi lomba-lomba spesial yang semarak dalam satu waktu tertentu. Misalnya lomba-lomba tari dalam rangka 17 Agustusan.

Itu baru sebatas lomba. Belum pertunjukan-pertunjukan. Bagaimanapun lomba-lomba itu memang tetap dibutuhkan. Tetapi jangan cuma sebatas 'sudah terselenggara'. Tetapi mesti berisi upaya pembangunan senibudaya yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Sehingga merupakan sinerjisitas positif yang sedang bekerja menunjukkan potensi besar suatu daerah.

Efektifkah menurut Anda? Sebutlah, Pemda mengadakan lomba tari 2 kali setahun. Anggarannya sangat besar. Terlalu besar kadang. Disyukuri oleh pihak-pihak sepihak. Terkesan cuma 'ngeluarin air', memang. Tetapi di masyarakat, tarinya sepi. Bahkan hampir mati. Sudah berlangsung 15-20 tahunan. Kalau ditanya, jawabnya, itu kan sebatas proses penradisian, supaya tidak punah. Terlihat tidak ada kesungguh-sungguhan pembangunan.

Hal sama persis terjadi pada lomba puisi, lomba teater, dll. Angkanya bisa besar. Tetapi masyarakatnya terbelakang dari tafsir syair. Gak ngerti apa itu guna 'kata berisi' di tengah masyarakat. Bahkan pada tokoh masyarakat dan pejabatnya. Kehilangan budaya. Petatah-petitih cuma cangkang. Bahkan kedalaman pemahaman atas kalimat Al-Qur'an ditabukan.

Dalam kondisi terbalik. Ketika lomba, pertunjukan dan kondisi masyarakat seninya positif, malah Pemda malas-malasan mengeluarkan anggaran yang proporsional serta malas pula membuat atau memfasilitasi terobosan-terobosan dengan menggeliatkan seni itu sebagai kebutuhan gerakan senibudaya (sosialbudaya) masyarakat.

Pendeknya, kita sudah sering dengar kalimat, anggarannya segitu gedenya, tapi kegiatannya cuma 'begituan'. Itu bukan pembangunan senibudaya. Itu pemborosan. Cuma jadi kran air untuk orang-orang atau pihak tertentu. Sementara di lain kasus kita melihat para pengelus dada yang kegiatannya menjanjikan, setidaknya potensinya menjanjikan, tetapi anggarannya kecil atau bahkan dijauhkan dari akses maju.

Yang lucu lagi. Ini cuma lucu-lucuan. Seluruh seniman pingin memajukan potensi seni di daerah, tetapi yang hadir cuma wajah diri dan promosi eksistensi kepala daerahnya terus menerus. Seolah-olah lima tahun menjabat, melulu kampanye doang. Unjuk muka parameternya. Tak ada keaslian dan total-kreatif wajah senibudaya.

Bagaimanapun pemerintah tetap akan jadi fokus kritik sampai kapanpun. Karena sampai saat ini, tangan-tangan mereka 'sangat awam senibudaya'. Kadang sangat bodoh bahkan! Hanya berisi pegawai negri, tenaga formalitas, bukan ahli seni. Kalaupun ada ahli seninya, ternyata bukan ahli strategi seni. Tidak ngerti 'politik senibudaya'. Malah ngertinya cuma partai politik pengusung kepala daerahnya. Soal saweran itu juga kadang jadi jurus pemerintah ngeles. Meskipun kegiatan seni oleh masyarakat (yang disebut saweran) juga penting. Aula radio saya lebih dari 20 tahun sudah padat oleh aneka kegiatan seni tradisi.

Politik kebudayaan yang baik, yang kuat kokoh,  pasti menunjukkan spirit kemanusiaan berketuhanan dan  nasionalisme. Bahkan bagian penting dari internasionalisme. Sedangkan politik kebudayaan yang semu, yang hanya ditandai oleh pragmatisme partai politik penguasa, hanya akan menunjukkan kepentingan-kepentingan sesaat saja.

Perlu saya kemukakan. Kalangan yang biasa nyawer (memberi anggaran) untuk kegiatan seni, baik ngadain hajat seni, donasi, maupun promosi, juga mesti ngaji maksud senibudaya. Supaya lomba-lomba atau pertunjukan seni tidak hanya sekadar pertunjukan kosong, seperti daun kering yang tak manfaat. Setiap selesainya cuma rongsokan, cuma sampah masyarakat. Kalaupun tujuannya semata hiburan, mestilah hiburan yang selain bernilai promosi juga meningkatkan keakraban sosial. Menunjukkan karakter humanism-universal. Menularkan tradisi baik. Membuka kran proses kreatif yang dinamis dan bermanfaat.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG