MARAH DI RUANG KOESPLUS

YANG PERNAH MENGHIBUR WAJIB DIHIBUR 

Terhibur! Sangat terhibur! Inilah reaksi saya sebagai Koordinator Koes Fans Club (Koes Fans Club 99) melihat siaran acara Di Balik Nada TVRI malam ini, 16042017. Pasal? Menghadirkan personil Koesplus, Yok Koeswoyo. Haru bahagia rasanya. Apalagi mendengar tiga kalimatnya:
1. Ingin rasanya Koesplus punya museum;
2. Dulu saya senang menghibur, di usia tua sekarang senang dihibur, apalagi dengan lagu-lagu Koesplus
3. Ada lagu-lagu lama dan baru Koesplus yang belum 'direkam', tapi sudah dilepas begitu saja kepada pencintanya (ini bisa dimuseumkan juga).
Subhanallah.

Begitulah reaksi saya yang tumpah sebagai status Facebook.

Jujur, sebagai Pawang Acara  Apresiasi Senibudaya di radio-radio, saya sudah sering marah. Marahnya gini: "Kecelakaan apresiator musik Indonesia. Yang ngaku masyarakat pencinta musik. Betapa tidak? Di Inggris, Eropa dan Amerika The Beatle dibanggakan sampai detik ini. Disebut inspirasi untuk dunia. Kekuatan musik dari kiblat kemajuan dunia. Inggris punya kuasa. Eropa punya cerita. Dan seterusnya. Begitu dahsyat propagandanya. Tetapi pencinta musik Indonesia malah banyak mati lidahnya dari kalimat, 'bangga pada sejarah dan legenda musik Indonesia'. Sampai kapan harus digurui atau didikte dulu baru pinter. Untungnya tidak semua begitu. Masih ada yang perasa untuk perjalanan sejarah negerinya. Itu satu hal. Hal lain, lucu kita ini. Sering meminta dan memaksa para seniman, penyanyi dan musisi tua untuk manggung dan bikin album baru. Lucu, meskipun halal. Masalahnya ada satu inti yang malas dibuka. PINTU  INTELEKTUALITAS. Pintu inilah yang bisa meletakkan para tua legendaris duduk sebagai intelektual yang dikeruk ilmunya. Dihargai tinggi. Diberi honor sebagai ahli. Diajak diskusi untuk proses kreatif generasi baru. Bahkan ketika tak satu kalimat pun tumpah, kehadirannya di suatu event adalah standing aplause dari dunia yang terbuka. Lalu saya bayangkan ketika jemari Ebit sudah lunglai memetik gitar, suaranya pun mulai serak gemetar meskipun semangat. Bagaimana kalau Iwan Fals sudah tidak bisa berlama-lama dalam perjalanan jauh di atas jok mobil, mudah lelah karena tua. Dll. Apakah mereka akan diteriaki untuk naik panggung dan memproduksi album baru? Keterlaluan! Tidak berbudaya! Padahal jauh-jauh hari sebelum seniman tua tergopoh-gopoh mereka masih bisa jadi narasumber, pembicara, motivator dan inspiratir. Sadarkah?"

Itulah marah saya berkali-kali di acara Apresiasi Seni di radio-radio, khusus ketika 'ngomen', menghargai Sang Legenda Seni  yang potensial. Hal yang sama tentu  berlaku pula kepada aktor gaek yang penting sebelum sepuh, juga penari, bahkan tokoh-tokoh seniman tradisi di daerah masing-masing.

Dan satu lagi. Sejarah bukan yang ditinggalkan, tetapi apa yang kita tanam ke depan. Semisal, apa manfaat mengenang dan menyebut-nyebut Koesplus? Buat apa menyanyikan lagu-lagunya? Tiada lain karena ada teori dan prinsip pembangunan yang sedang dibangun ke masa depan, dengan memanfaatkan seluruh kenangan baik, karya-karya Koesplus yang inspiratif dan panuh motivasi kreatif, serta membakar semangat nasionalisme! Jadi berhati-hatilah membawa sejarah ke depan. Kita punya kepentingan. Jangan tertipu mavia.

Nyanyikanlah lagu-lagu Koesplus yang bak  tari pergaulan Nusantara itu. Jadikan pula bagian dari hajat Pesta Panen kita. Nyanyikanlah: Kolam Susu, Buat Apa Susah, Nusantara, Bunga Di Tepi Jalan, Manis Dan Sayang, Mobil Tua, Andai Kau Datang, Diana, Desaku, Dst.

Saya sendiri ihlas-sudi hadir sebagai Koordinator Koes Fans Club sebab merasa ada yang harus dikabarkan. Kalau tidak demikian, tidak ada gunanya. Meskipun baru awal tahun 80-an kenal dan dengar lagu-lagu Koesplus. Padahal proses kreatif mereka sudah dimulai sejak era Orde Lama.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG