PUISI INDONESIA BERBAHASA ASING?

Apakah para penyair pendahulu yang nulis puisi pakai judul bahasa asing itu salah kaprah dan tidak mencintai bahasa Indonesia? Ini jelas sebuah tuduhan yang tidak mendasar.

Menurut saya lumayan unik pertanyaan penyair Soni Farid Maulana yang dimuat sebagai status Facebook pada Rabu malam pukul 23:30. 12/4/2017. Lalu kuberi komentar Kamis paginya pukul 05:30 sebagai berikut:

Bahkan puisi mbeling bisa mengaduk-aduk bahasa nasional, beberapa bahasa daerah, bahkan mungkin menyertakan juga bahasa asing itu. Sah! Dengan resiko bisa semakin 'gelap', memang, tetapi itu semua bermaksud membawa apresian ke ruang tertentu. Nah!

Juga lukisan-lukisan dan lagu-lagu pop Indonesia / komposisi musik bisa memakai judul asing.

Ada dua parameter yang bisa dipakai untuk menilai konsistensi bersastra Indonesia, setidaknya, bagian dari aktualisasi nasionalisme. Pertama, suatu karya adalah karya anak bangsa Indonesia dengan semangat dan kecerdasan Indonesia.

Kedua, menggunakan bahasa Indonesia sebagai pokok bahasa penyampaian pesan. Bahwa kemudian terekspresikan karya sastra yang mbeling, cenderung aneh, eksploratif, itu sebuah pilihan, mungkin juga sebuah pendekatan yang disengaja, hak penyair.

Meskipun saya atau Anda bisa saja memilih atau terjebak tidak menyukainya. Kalau dikaitkan dengan masalah selera. Atau sebaliknya, sangat suka.

Tetapi ini catatan penting. Maka saya naikkan di Cannadrama.blogspot.Com. Mengapa? Karena tidak cuma soal boleh tidaknya teknis dan proses kreatif seperti itu, tetapi juga untuk kehati-hatian lomba baca-tulis puisi. Panitia bebas bikin aturan main. Misalnya aturan untuk  tidak menyisipkan bahasa asing satu kata pun. Boleh. Itu proses kreatif panitia. Salahsatunya, karena maksud mengefektifkan bahasa Indonesia. Terutama untuk kalangan pelajar.

Di era Orde Baru ada keputusan pemerintah, yang meminta semua perusahaan tidak memakai nama perusahaan berbahasa asing. Termasuk radio dan televisi. Maksudnya sebenarnya baik, karena berkaitan dengan nama-nama gedung dan pusat perkantoran yang bakal menonjol sebagai aset nasional.  Sehingga jika tertera berbahasa Indonesia yang justru akan menonjol ciri khas keindonesiaannya. Seumpama kalau  kita wisata ke Jepang atau ke Cina yang merasakan aura Jepang dan Cinanya di sana. Meskipun keputusan ini pada akhirnya PRO-KONTRA. Tetapi tetap saja, surat kabar saat itu tidak dipersoalkan apalagi  dibredel meskipun kepala beritanya mengandung bahasa asing. Karena itu dua sudut pandang yang berbeda.

Gilang Teguh Pambudi
Narasumber Senibudaya, Cannadrama 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG