SENI MEMELIHARA BURUNG KICAU

MENGAPA ADA BURUNG KICAU?

Pada hakekatnya semua burung mengeluarkan suara khas. Semuanya serba  menyenangkan. Bahkan burung dara, bebek dan berbagai jenis ayam pun suaranya khas. Ngangenin, pada waktunya. Banyak yang bilang, kurang enak kalau di belakang rumah sepi dari Kokok ayam, dst. Sampai-sampai kita tidak bisa menolak pendapat yang menyebut, suara derkuku (puter) di rumah-rumah bikin enak nyantai, kalau dengar di jalan, suka pingin pulang ke rumah. Itulah.

Tetapi istilah burung kicau adalah 'burung-burung yang dianggap lebih menonjol suara kicaunya daripada dikonsumsi dagingnya'. Bahkan, daripada dikonsumsi dagingnya lebih baik dipelihara sampai matinya. Ditambah dalil lain kata para pemelihara, lebih baik burung kicau mati di kandang karena sudah umurnya, daripada dicuri orang. Kenapa? Karena Sang Pencuri telah 'mati ngaji' filosofi kicau. Yaitu terhibur dan menghibur melalui kicau burung. Sehingga 'ngingu' burung kicau sebenarnya bukan hal sembarangan. Itu sebabnya, seekor perkutut atau Jalak di rumah-rumah di tanah Jawa sangat bernilai lebih dari sekedar seekor burung.

Ada juga 'ajian' di balik burung kicau. Sekali lagi, tidak melulu karena harganya. Misalnya keyakinan begini: kalau seekor burung saja terpelihara dengan cinta yang penuh, bagaimana tidak yang bakal jadi istri dan anaknya? Jadi semisal 'pelet'. Meskipun kenyataannya di jaman ini banyak yang malah  terjungkir balik, burung kicaunya sangat di perhatikan, tapi anak istrinya malah terlantar. Itu salah 'ngelmu' namanya. Kalau pada kelompok tradisi masyarakat lain, perlambang yang diperlakukan sama, misalnya peliharaan kucing atau anjing.

Ya, Allah memang maha agung dan adil. Ia yang memulai cinta, keindahan dan ketentraman dengan menghadirkan suara kicau burung-burung.

Tetapi ada satu pertanyaan yang menggelitik, mengapa yang memelihara perkutut, Kacer, murai, kenari, lovebird, Jalak, cucak Rowo, Camperling, kutilang, poksai, dll kebanyakan laki-laki? Dari sekian banyak jawaban, ada satu yang menggelitik, "Laki-laki memang harus memelihara burung-burungnya!" Kalau nyasar terbalik kepada wanita, "Tapi wanita hanya senang kepada laki-laki yang bersih dan rapih dalam memelihara burung-burungnya. Tidak jorok". Tapi unik juga alasan beberapa wanita yang  memelihara burung, diantaranya, "Wanita juga bisa memelihara burung. Bersih, rapih, sehat, cukup makan minumnya, dan merdeka kicauannya".

MENGAPA BURUNG KICAU MAHAL?

Burung kicau bisa menjadi mahal karena banyak sebab, misalnya:
1. Karena populasinya sedikit, apalagi hampir punah;
2. Karena sulit menangkap dari habitat alamnya, atau sulit  menangkarkannya;
3. Karena suaranya atau kelir dan bentuk tubuhnya bagus;
4. Karena menjadi trend kelompok sosial masyarakat tertentu, biasanya trend menengah ke atas;
5. Karena permintaan pasar lebih tinggi daripada ketersediaan burungnya di tempat penjualan burung;
6. Dll.

Dari beberapa alasan tersebut kita sebagai manusia beradab, yang melek teori kicau mania, harus bisa menyimpulkan begini: Tidak masalah burung kicau menjadi mahal kalau berkaitan dengan suara dan kondisi burung yang bagus, sulit menangkap dari habitat aslinya, tidak mudah menangkarkannya, atau karena permintaan pasar lebih tinggi daripada ketersediaan burung. Itu semua bisa dimaklumi. Yang harus dihindari, suatu burung tertentu menjadi mahal karena populasinya sedikit, hampir punah, dilindungi pemerintah, dan tidak mudah bahkan tidak bisa ditangkarkan manusia.

Pendeknya, hati-hati memelihara burung kicau yang mahal. Jangan malah mematikan nilai seni melihara dan menikmati kicauannya. Jangan sampai kita menjadi preman alam di depan burung-burung.

Memang ada di muka bumi ini sistem sertifikasi. Yaitu untuk burung-burung yang dilindungi pemerintah karena hampir punah tetapi masih bisa ditangkarkan manusia. Meskipun penangkarannya lambat.

Untuk para penangkar dan pembeli burung langka dari proses penangkaran itu harus memegang sertifikat, supaya tidak mengacaukan penjagaan burung-burung yang hampir punah di alamnya. Jangan sampai ada pihak yang kerjanya menangkapi burung langka tetapi ngakunya hasil penangkaran burung rumahan yang turun-temurun.  Karena  filosofi burung rumahan yang kita pahami, tidak mudah burung-burung itu dilepas ke alam bebas, bahkan bisa termasuk penyiksaan. Kecuali ada pihak ahli yang mengadaptasikannya dengan alam bebas secara bertahap, sabar, dan sungguh-sungguh.

APA MANFAAT BURUNG KICAU MURAH?

Selain burung kicau mahal ada burung kicau murah. Meskipun teori ini dipatahkan oleh sementara pihak yang berprinsip, "Meskipun burung kutilang saya dianggap murah, tetapi saya tidak mau menukarkannya dengan burung kicau lain yang harganya 10x lipat. Karena bagi saya ini lebih mahal". Itulah relativitas harga. Ada burung yang dinilai murah, tetapi sangat dicintai pemiliknya, bahkan memiliki kedekatan dan bernilai kenangan yang khusus. Misalnya, sejak kecil Kakek neneknya sudah dekat dengan burung itu. Nilai kenangan itu tentu tak terkira mahalnya.

Burung kicau yang dianggap murah itu misalnya, karena burung itu masih sangat banyak di alam bebas. Apalagi ketika di daerah-daerah tertentu malah masih disebut hama besar bagi petani.

Tambah murah lagi ketika proses penangkapan dan penangkarannya juga mudah. Apalagi ketika di pohon-pohon halaman  dan di atap-atap rumah masih sering dijumpai. Biasa terdengar suaranya setiap hari. Satu masalahnya, di sangkar tentu lebih bisa ditonton dan dilihat berlama-lama.

Tapi para pihak yang paham seni burung kicau, mesti waspada. Burung yang banyak pun kelak bisa mendekati kepunahan dan harganya bisa terus naik. Yang tadinya burung kicau murah berubah statusnya. Cara waspadanya adalah, lebih  mendukung proses perdagangan burung kicau 'yang dianggap murah' dari cara penangkaran (diternak), daripada menangkapi atau mengambil sarang-sarang dari alam liar.

Nikmatilah burung yang dianggap murah oleh sementara pihak itu sebagai burung yang sangat mahal. Mahal artinya buat kita. Apalagi posisi burung kicau itu adalah teman hidup. Entah siapa yang lebih dulu mati. Burung peliharaannya atau Sang Tuannya. Yang jelas, keduanya terikat oleh cinta yang normal. Itulah mahal.

Bisa menjadi pintu untuk gaji hidup juga. Pengalaman saya, ketika satu burung kicau mati, ada rasa sedih karena hati sedang senang-senangnya, tetapi dari awal kita kita sudah komit, untuk saling menemani. Meski ternyata Allah menentukan umur burung, teman kita itu, sampai di situ. Ya harus ihlas.

Sekali lagi, harga burung kicau itu berada pada posisi teman hidup. Untuk dinikmati suara dan kelirnya. Kebutuhan psikologis. Bukan untuk dipelihara dan diambil dagingnya. Maka jangan heran, harga merpati, bebek dan ayam sering lebih murah daripada burung kicau yang paling murah sekalipun.

Menarik alasan seseorang yang menyebut satu burung kicaunya telah berumur 30 tahun. Hampir sama dengan umurnya. Ternyata, dia sudah beberapa kali kehilangan burung kicau yang sama. Mati. Tetapi ia segera menggantinya dengan yang sejenis. Itulah cara paham umur burung yang tidak dipelihara karena dagingnya.

APA KAITANNYA DENGAN EKONOMI KERAKYATAN?

UMKM dan kecintaan pada burung kicau sangatlah dekat. Banyaknya pusat penangkaran burung, yang disambut dengan maraknya toko burung adalah bukti bahwa nilai ekonomi di wilayah ini sangat signifikan.

Berikut ini adalah pihak-pihak yang menjaring keuntungan di balik burung kicau:

1. Pihak penangkar/ peternak burung kicau;
2. Pengumpul burung kicau dari titik-titik penangkaran;
3. Pabrik yang memproduksi alat-alat kelengkapan untuk pemeliharaan burung
4. Pabrik yang memproduksi pakan dan obat-obatan burung;
5. Pengrajin pembuat sangkar dan sarung sangkar;
6. Toko/ kios penampung dan penyedia burung kicau, pakan, dan aksesoris sangkar burung;
7. Dll.

Dari data tersebut, sebenarnya yang diharapkan oleh pihak toko/kios burung bukan hanya orang-orang yang menggantung burung sebanyak mungkin di rumahnya. Bukan itu. Ini penting untuk membangun gaya hidup yang lebih arif. Yang lebih utama, adalah prinsip ekonomi, banyak orang yang beli burung, sangkar, pakan dan berbagai aksesoris lainnnya. Termasuk obat dan suplemen.

Artinya, bisa saja di sebuah kota masyarakat hanya memelihara satu-dua burung saja di rumah masing-masing. Misalnya kenari dan Lovebird. Tetapi rumah-rumah yang memiliki burung banyak. Lalu mereka akan membeli pakan dan kebutuhan burung lainnnya secara rutin.

Itulah sebabnya, kalau saya keliling Kemayoran, jumlah kios yang jual burung lebih sedikit daripada yang jual pakan burung. Prinsip ekonomi masyarakat juga.

Saya sendiri selalu  mendukung ekonomi kerakyatan di situ, merasa ikut menyukseskan usaha pakan burung dan aksesoris lainnnya, ketika secara rutin turut serta membeli pakan dan ini itu tiap Minggu dan tiap bulannya. Bagaimana kalau yang saya lakukan ini dilakukan juga secara rutin oleh seluruh warga kota?

Maka di dunia burung,  sebenarnya muncul dua propaganda alamiah, mau jadi penikmat suara burung dan bentuk burung yang indah itu, atau mau meraup untung dari balik jual beli dan pemeliharaan burung kicau?

APA KAITANNYA DENGAN PSIKOLOGIS MANUSIA?

Jelas secara psikologis masyarakat manusia, kicau burung sangat berpengaruh. Terlebih-kebih di dunia kota yang padat, bising, sering terjebak macet, menjenuhkan, diwarnai  persaingan kerja dan usaha yang ketat, dan seterusnya.

Suara burung kicau yang menunjukkan suasana alam yang bebas, alam desa atau pegunungan, akan membawa manusia-manusia kota ke dunia yang lebih natural, sejuk dan tentram.

Masih selalu kita ingat prinsipnya di dunia kicau mania; mau menikmati suara dan kelir burung kicau, atau mau mendapatkan rejeki dari balik jual-beli burung kicau dan pernak-perniknya? Dua-duanya halal. Karunia Allah SWT.

Berkaitan dengan sisi psikologis seseorang, tidak selalu burung kicau ysng mahal yang bisa menentramkan hatinya. Bisa jadi seseorang lebih cocok pada suatu burung, meskipun diasumsikan masyarakat sebagai burung murah.

Suara burung itu relatif saja. Tergantung selera masing-masing telinga.

Banyak penikmat burung sejati di rumah-rumah membeli dan memelihara burung kicau seperti memiliki kaset musik. Untuk dinikmati, bukan untuk dijual lagi. Biasanya ini prinsip di kalangan pengusaha dan kaum pekerja yang tidak berharap keuntungan finansial dari burungnya. Sampai kapanpun. Seperti Priyayi Jawa yang menggantung satu-dua perkutut. Seumur hidup.

Sementara pada orang-orang tertentu, memelihara burung kicau pun masih dengan harapan untuk dijual lagi, dengan harapan harganya lebih tinggi.

SEKSUALITAS BURUNG KICAU

Saya dulu sempat kasihan kepada burung-burung di sangkar yang hidup sendiri tanpa dijodohkan. Ini juga jadi alasan beberapa pemelihara burung kicau pemula yang memaksakan diri beli sepasang.

Padahal di belakang hari kita harus membedakan pusat penangkaran burung dan pemeliharaan burung kicau rumahan. Yang pertama burung pasti akan dijodoh-jodohkan, atau dibiarkan hidup membaur seperti ayam. Dengan harapan bisa terpenuhi kebutuhan seksnya.

Tetapi burung-burung rumahan beda. Setiap ada lawan jenis, memang pasti menunjukkan reaksi seks, tetapi tidak berapa lama kemudan akan sibuk dengan hidupnya sendiri. Entah ketika sangkarnya memang biasa tidak berjauhan, atau ketika kadang didekatkan lalu dipisahlan jauh. Itulah burung dengan perilaku alamiahnya.

Pendek kata, seks buat burung rumahan tidak terlalu penting. Meskipun nalurinya tetap liar. Sedangkan pada penangkaran, kebutuhan seks hanya kebutuhan sesaat-sesaat saja  karena pertemuan atau pergumulan. Bagus buat kembang-biak generasi selanjutnya.

Ini jauh beda dengan dunia manusia. Manusia lebih berbahaya daripada burung liar. Kondisi seks yang kurang atau buruk (tidak berkualitas) bisa terlalu berpengaruh pada kondisi keseimbangan kejiwaannya. Pada orang-orang tertentu bisa berakibat perilaku seks menyimpang bahkan memancing kriminalitas. Pemerkosaan dan pembunuhan bisa berangkat dari kondisi psikis ini. Kenapa? Karena ketenangan, kedewasaan dan kecerdasan emosional pada manusia sangat penting, sedangkan naluri kebinatangan pada burung malah sudah terukur oleh daya tahan alam.

Untuk itu burung rumahan bisa merasa sudah cukup dengan mendapat pelayanan makan minum yang cukup, terjaga kebersihan dan kesehatannya, dan tercukupi kebutuhan kehangatan tubuh dan penyinaran matahari.

Tetapi ada juga pendapat sedikit orang, burung yang sedang naik birahi harus diberi jodoh. Kalau tidak, bisa merusak dirinya sendiri, termasuk merusak kuku-kukunya. Kecuali pada burung yang sudah biasa hidup sendiri, tidak pernah dijodohkan.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG