SIAPA MENANAM KECELAKAAN SOSIAL?

UJIAN AHIR PUISI

bahkan puisi
harus dinyatakan lulus

#puisipendekindonesia
------

Persoalannya, mendasar, pembangunan karakter kemanusiaan kita gagal. Kalaupun kita mengataka, tidak sepenuhnya demikian, maka keberhasilannya, sebut saja seimbang dengan kegagalannya, maka itu berarti sisi kegagalannya adalah separuhnya, itulah dunia kegelapan. Monster kejam. Ruang bahaya, bahkan ruang kematian-kematian. 

Pendidikan karakter kita ngambang. Terserah mentri mana yang mau marah. Yang dulu atau yang sekarang? Dunia pendidikan cuma tempat kerja, persis seperti kerja di mall, pabrik, atau selebriti.

Masalahnya, kalau yang jadi tolak-ukur adalah out put-nya yang telah menjadi manusia di tengah masyarakat, tanggungjawab siapa pula yang mendidik masyarakat? Pengondisian masyarakat atas dasar kecurigaan-kecurigaan, asumsi-asumsi, sering mendatangkan kebijakan represif yang tidak beralasan. Menemani sisi gelap mereka, lebih berbahaya lagi. Alih-alih berubah, seringkali malah jadi bumerang. 

Masyarakat yang tidak terdidik (walaupun terdidik secara formal) adalah modal kecelakaan sosial. Sedangkan agama, sering terjebak peraturan-peraturan kulit tanpa esensi dan subtansi yang mereka pahami dengan kuat. Akibatnya ribut melulu. Padahal kunci langit (ilmu tertinggi yang sampai)  itu agama.

Kalau kau salahkan aku. Kata-kataku. Apa aku mesti berkata, "Mengapa bukan aku kepala dinas atau mentri pendidikannya?" 

Padahal kalaupun iya, ruang kerja di situ saat ini cukup pengap. Kegelapan sudah kepalang panjang. Sementara koran dan media-madia lain masih sibuk menyoroti urusan pokok tertentu, biaya sekolah, fasilitas dan ujian kelulusan. Mentok-mentok soal anggaran pendidikan. Padahal para 'penanam kesadaran berpendidikan' di negri ini dulu, termasuk yang di pesantren-pesantren sebagai perintis awal sebelum sekolah-sekolah model sekarang, memulainya dengan telaga air mata. Seberapa miskin hidupnya, seberapapun buruk fisik sekolahnya, anak-anak masa depan harus menyelamatkan kehidupan ini.

Anggaran itu dulu ditangisi oleh cita-cita besar. Tapi setelah kesejahteraan meningkat, tidak ada yang perduli pada cita-cita itu. Malah munculnya 'seorang misionaris SOSIAL'  di tengah masyarakat tiba-tiba menjadi pekerja baru yang pro-masyarakat sehari-hari. Menjadi berita dan pahlawan. Padahal sejak Indonesia merdeka, para guru (pahlawan tanpa tanda jasa itu) menempatkan diri sebagai semisal misionaris itu. Sampai ke kampung-kampung terpencil. Menyebrangi sungai-sungai, laut, menembus hutan.

Materialisme dan konsumerisme tiba-tiba juga menjadi monster, menjadi mahaguru baru di era sekarang ini.

Kepolisian, tentara, mentri agama, dinas sosial, dinas tenaga kerja, dan dinas-dinas yang lain juga bertanggungjawab atas kehidupan masyarakat yang mesti terdidik ini. Juga swasta, plus semua yayasan sosial dan komunitas-komunitas. Keluarga besar gotong-royong itu.

Bahkan suatu hari aku brrtanya kepada alm. Aktor Didi Petet, "Mengapa sinetron kita begitu melulu? Seolah-olah masyarakat tidak maju-maju. Tidak benar-benar membangun karakter masyarakat multi-solusi?" Dia jawab, "Pendidikan masyarakat baru sampai di tahap seperti itu. Apalagi tuntutan ibu-ibu sebagai orang rumah atau yang lebih setia kepada layar tv,  terhadap sinetron, ya yang seperti itu".

Beberapa orang tokoh. Mungkin bisa dibilang banyak, masih berteriak, "Mustahil NKRI harga mati. Karena yang harga mati itu Allah". Semestinya masyarakat terdidik tidak akan melahirkan kontra-nasionalisme seperti itu. Sebab Bung Karno (dan cendekiawan-cendekiawan sepemikiran) mengisyaratkan, nasionalisme kita juga membangun internasionalisme. Ini bangsa besar! Di sini terjadi pembangunan manusia berketuhanan Yang Maha Esa. Yang Maha Rahmatan Lil Alamin.

Kusus kegiatan senibudaya. Kegiatan ini tentu dalam pencermatan menko-kementrian terkait, tetapi dalam praktek proses kreatif dan pementasan seni, seluruh menko-kementrian mengakuinya. Contoh, seorang bupati bersama kepala dinas pertanian-perikanan yang akan menyumbangkan traktor, masih bisa nanggap jaipong di atas sawah. Mentri olahraga, selain punya senam (termasuk senam indah di kolam renang), juga selalu menganggarkan paket kesenian untuk banyak acara olahraga. Ada juga lomba poster dan baca puisi Dinas Lingkungan Hidup. Demikian pula di kementrian yang lain. Termasuk mentri kesehatan. Tetapi pertanyaannya, apakah berkesenian di situ sudah berorientasi pembangunan karakter manusia? Sudahkah kesenian itu memiliki misi menghibur dan misi informasi yang komplit? Jangan-jangan pesta ulang tahun untuk sebuah kota, tercerabut dari realitas pembangunan? Bahkan pawai dan pameran pembangunan sebagai bentuk 'pesta panen', diadakan di tengah masysrakat yang gagal panen melulu. Bahkan maraknya pengangguran, menunjukkan mereka tidak panen apa-apa. 

Masalah tidak panen ini, tulisanku di Pameran Buku Jakarta. Berjudul: Tari Pergaulan &  Pesta Panen. Bahkan patung dan tembok (juga gedung wakil rakyat dan fasilitas dinasnya) dibuat berlebihan, mengingkari perut lapar yang meneriakan satu frase, "Pertolongan Allah!" Akibatnya, orang-orang curiga, ada yang menyembah togut (benda mati).

Benar, hidup ini mesti seimbang. Ada sibuk kerja, sibuk cari duit, dan upaya mempertahankan ajaran mulia, menyelamatkan anak-cucu, serta menikmati keindahan hidup (lewat senibudaya). Tetapi bagaimana mungkin hidup terdidik dan hidup dalam kegelapan dibuat seimbang? Ukuran apa yang dipakai? Apa ukuran seseorang tua yang pernah teriak kepada saya di pinggir jalan dulu, "Ini jaman edan, kalo gak edan gak kebagian!" Aku lewati saja, kufikir dia orang gila.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG