SIAPA MERASA PENYAIR KESASAR?

Penyair itu diciptakan Tuhan dalam keadaan khas. Lahir sebagai kalam, lebih lengkap dari sekedar bahasa yang dikenal awam. Kalam itu persegi, rapat, menyambung titik dan dinding. Garis lengkungnya menarik titik tumpu ke titik lain. Kalau dia mengoak-ngoak sebagai bayi yang menangis pertama ketika lahir, Allah menyebut, semua pertanyaan, segala pernyataan, sepenuh harapan, segenap ketetapan dan ketepatan telah diselesaikan di situ. Di situlah bahasa Yang Maha Kasih disambut kumandang azan. Bagi yang alergi dengan istilah azan, bahasa syareat (hukum yang lurus) itu, karena kebodohannya, maka kusebut saja: rasa manusia memelas kasih. Dengan maksud yang sama. Selesai. Ok?

Penyair yang bekerja untuk hidup. Membawa kesaksian dan pemikiran langit, di sebuah negara beradab biasa didudukkan sebagai pawang pemegang kunci-kunci. Dihormati raja-raja. Satu kursi dengan para pangeran. Walaupun dalam sengketa politik, dia dipasung di dalam kamar kebencian, karena dianggap tidak berani menipu. Tidak mau otak-atik pragmatisme strategi. Keberpihakannya dianggap pecundang. Malah dianggap profokatif.  Hukumanya bisa sampai kurungan seumur hidup atau menenggak racun. Seperti pengalaman para intelektual. Cendekia. Yang paling murah, dirusak citra kepenyairannya. Dianggap menebar dalih palsu. Membawa dan membuka pintu-pintu celaka. Kalaupun bisa bangkit dari tekanan-tekanan, itu terlalu istimewa. Rata-rata segera miskin, tersisih dan teraniaya hidup.

Tapi gila. Begitu berat perjuangan penyair. Air matanya samudra. Meminyaki sayap-sayap malaikat. Berwasiat kepada para dewa. Membelah bulan bersama Rosulullah. Mengebalkan kulit arinya dari pedang kekafiran. Nyatanya telah membuat para penyair palsu di berbagai sudut bumi entah, berteriak lebih lantang. Pemberani. Keras. Tong kosong. Menghujat ketidak adilan dan kesewenang-wenangan versinya. Sehingga negara harus tiba-tiba berhutang budi. Berpura-pura terimakasih. Menyumpal. Padahal pejabat dan aparatnya tidak mengerti hakekat puisi. Yang penting aman seketika. Sementara mereka terus menghitung jumlah panggung pementasan, jumlah buku dan puisinya. Menghitung-hitung harga halaman koran. Bahkan mengukur tebal tipis dan halus tidaknya halaman sebagai bagian dari eksistensi, bonafiditas. Merasa paling penyair. Alih-alih humanis, ia mengumpulkan perasaan-perasaan manusia ke dalam kesepahaman nestapa, padahal menggiring ke dunia rendah dan celaka. Belakangan ini menggejala opini, buku tebal lebih mewah dan intelek, mencerminkan kesungguh-sungguhan. Padahal dari dulu tidak sedikit buku tebal yang cuma berpusar pada hal yang sedikit dan setengah matang. Kadang cuma strategi sah dagang buku. Padahal hari ini para 'misionaris' sosial, duta, sukarelawan dakwah masih menjaga benar sepotong sikat giginya yang patah, daripada terganggu kelancaran kerjanya, Al-Qur'an yang dipakainyapun sudah terkelupas kulitnya dengan beberapa lembar halamannya coplok, padahal orang-orang selalu sibuk membeli sikat gigi baru tanpa misi apapun.

Tentu saja, catatan ini wacana pengingat. Sebab betapapun normal keadaan di tengah masyarakat, seorang penyair malah butuh letupan sensasi, butuh 'pencitraan normal'. Butuh 'strategi promosi' agar dikenal. Alasannya, tak dikenal maka tak didengar teriakan kritisnya. Tak tercium tawaran indahnya. Tetapi kepalsuan bisa mendistorsi nilai-nilai kritis dan etika moral untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia; dengan menebar fitnah, berdalih tanpa argumen yang kuat, cenderung mengarus kepada emosi publik yang sedang tersulut api kemarahan, atau teorinya dibalik, menciptakan keadaan panas karena akan tidak jelas siapa memulai. Yang tentu saja kontra-kejujuran kreatif. Kontra keihlasan seorang penggembala, meskipun mengaku-ngaku lahir di 'kandang domba' sekalipun. Meskipun mengaku-ngaku seperti Ismail dari tangannya memancar zamzam. Meskipun mengaku-ngaku telapak tangannya bercahaya seperti Musa.

ILMU KALAM
Tahukah? Di sini saya, juga anda, mungkin pernah menangis terisak-isak, merinding, meremang, berkaca-kaca, lama, bahkan tiba-tiba menutup muka dengan telapak tangan sampai merunduk, lalu sujud kepada Allah demi mendengar atau mengalunkan kalimat. "Ya Rosul salam alaika". Mengapa? Sebelum tahu jawabannya, beberapa penyair dan pemikir memilih mundur karena alergi dengan kata Allah dan Rosulullah. Betapapun KTP-nya Islam. Betapapun agamanya menyebutkan, percaya kepada Tuhan Yang Esa. Padahal mitos-mitos di negara jauh sering ditarik ke dalam baris-baris puisinya. Betapapun mawar, tulip dan edelweis disebut-sebut dengan romantik.

Manusia mana yang tidak menemui utusan dan mengimani keberadaannya? Sedangkan matahari saja diutus untuk bersinar dan bermanfaat. Siapa yang tidak menemui nama kerasulan yang bersemayam di sanubari manusia, sebagai suritauladan, sang pencerah? Bahkan Nabi Muhammad SAW pun menemui, lalu menyatakan dan menerima dirinya sebagai rasul penutup. Tidak ada lagi rosul sesudahnya. Mustahil ada. Sebab nama kerasulan yang  terpilih dan dimuliakan itu terpatri di sanubarinya. Kabar gembira buat semesta. Siapa yang tidak perlu menyanjung dan memohon keselamatannya? Padahal dengan demikian hidup manusia berada dalam syafaatnya. Hidup tentram di jalan lurus yang terang.

Maka siapa yang tidak akan meratapi diri? Yang diminta Allah untuk hadir dalam sambutan dan pujian malaikat? Bahkan pohon, jalan raya dan lampu-lampu kota berucap, "Selamat datang penyair". Kira-kira pribadi penyair seperti apa yang ditangisi akar pohon, anak perempuan menggendong boneka, dan yatim-duafa?

Kelemahan dan ketidakmampuan telah membuat tangisan besar. Sehingga jiwa bersih itu perlu ditambatkan kepada keselamatan dan pertolongan Allah. Kepada Hidup (dengan 'h' besar), atau yang biasa kita sebut Yang Maha Hidup.

Ilmu kalam sepintas bisa dilihat sebagai ilmu kebahasaan, pembicaraan lisan dan tertulis, bahkan mengambil maksud di dalam bahasa isyarat, sebagai alat komunikasi antar manusia dengan menggunakan logika manusia. Tetapi kesepintasan itu tidak mewakili.

Kata Ya Rosul, menunjukkan kalimat sapaan, dan menunjukkan adanya Rosul. Ada yang mengutus, ada yang diutus, ada maksud mengutus. Sampai kapan adanya? Tentu abadi. Atau sejak kapan? Tentu sejak nubuat nur-Rosul. Di mana adanya? Tentu di tengah hidup manusia, dilihat oleh yang melihatnya. Kata salam menunjukkan manusia dengan kerasulan SAW, hadir karena selamat, bersyukur atas keselamatannya, dan membangun peradaban manusia selamat dan menyelamatkan. Bukan celaka dan mencelakai. Salam untuknya dari Allah, artinya keselamatan sudah tetap bagi Rosulullah. Dipuji-puji sampai menangis ihlas. Karena di sini kunci kemenangan abadi. Hidup menjadi peristiwa syahadat: beriman kepada Rosulullah (kerasulan suci) dan yang mengutusnya.

Ya rosul salam alaika. Ya, menunjukkan bahwa Rosul (kerasulan) bisa/wajib dijumpai dan disapa/menyapa. Dia beraktifitas/hidup. Untukmu menunjukkan, pribadi manusia dan Rosulullah (kerasulan) bisa berhadap-hadapan/menunjuk/menentukan. Tidak menipu/tertipu. Bisa dirasa-rasa dan difikirkan kebenarannya. Bisa berkomunikasi sangat efektif. Bisa mendatangkan hukum dan bukti-bukti. Sedangkan kata kunci Rosul dan salam menunjukkan kelengkapan harapan manusia, yaitu manusia dan keselamatannya (kesejahteraannya). Lalu bagaimana kita tidak menemui makna dan harapan hidup. Sesuatu yang diperjuangkan juga oleh para penyair? Begitulah sebuah kalam. Bahkan "ya" sudah menunjukkan hidup yang selamat. "Alaika" artinya, hidup manusia yang manusiawi. Persegi itu.

Kalau syahadat ini diterima sebagai peristiwa wajib. Suatu hal yang sering samar dan tertutup. Mengapa penyair yang KTP-nya Islam pobia dengan kata Islam. Demikian juga yang menyebut dirinya non-muslim? Mengapa takut dengan kewajiban syareat? Mengapa heran dengan sholat (mengingat Allah, memohon kepada Allah, menetapkan diri di tempat baik, bahkan selama di atas sajadah tidak ada tetangga yang dihina, terancam, apalagi di bunuh)? Bahkan ketika seorang pedagang meyakini bahwa pekerjaanya itu bagian dari pengamalan sholat, siapa yang dirugikan gara-gara dia berjualan?

PENYAIR DAN PUISI
Penyair adalah puisi yang ditulisnya. Betapaun aku lirik di dalam puisi belum tentu penyairnya, tetapi puisi itu lahir dari siapa, karena maksud apa? Keduanya satu belaka. Khas. Istimewa. Peristiwa kasih. Takdir. Hidup sampai matinya. Sampai meninggalkan kalimat kepada keselamatan anak cucu. Sebab menangisnya tidak egois. Anak cucunya harus bekesejahteraan, berkelapangan. Tidak menabur gelap. Tidak menyemai ancaman-ancaman masa depan. Tidak mencetak kaum pemberontak. Tetapi melahirkan generasi bijak yang tidak ragu dan putus asa berteriak dan bergerak. Berderak. Berdebum.

Penyair yang sudah lulus ujian kepenyairannya. Dalam bahasa lain, sudah ketemu dengan kerja dan wilayah kepenyairannya, yang telah diamanatkan Allah semenjak lahir. Tentu tidak gamang pada proses kreatif kepenyairannya. Tidak merasa salah bahasa, karena bahasanya  khas dan kuat, yang telah dipertaruhkan kepada hidup. Tidak lagi ribut soal bentuk dan pilihan kata. Apalagi selera.

Sekedar analogi. Suatu hari aku melihat buku bergambar untuk cerita anak. Tentang lingkungan hidup. Sepintas gambarnya yang natural itu tidak bagus dan indah jika memakai pendapat umum. Bahkan anak-anak bisa berkata, gambarnya tidak terlalu bagus. Tapi toh anak-anak tetap saja membacanya dan guru menjadikan buku itu sebagai panduan ketika bercerita kepada murid-muridnya. Pertanyaanya sederhana, mengapa penerbit yang mungkin bekerjasama dengan dinas lingkungan hidup tidak memakai juru gambar atau ilustrator lain? Tidak mustahil, manusia yang membuat cerita bergambar ini adalah seorang pelukis yang konsisten, mungkin juga pembina sanggar gambar anak-anak,  sekaligus aktifis lingkungan yang aktif. Coretan-coretannya adalah pergulatan nyata di tengah persoalan lingkungan. Ekspresi gambar sampai kapanpun relatif dan akan berbenturan dengan rasa suka dan tidak suka apresiatornya. Demikian pun puisi. Bahkan tidak sedikit pada awalnya orang-orang yang mencemooh bentuk puisi Gus Mus. Disebut-sebut, bukan puisi.

Ini bisa dipakai untuk memahami tolak-ukur. Karena seorang penyair adalah manusia, maka puisi-puisi baginya mestilah manusiawi. Habluminanas, dalam rangka habluminallah. Humanism-universal berketuhanan. Siapa mengingkarinya, maka ia kontra-prikemanusiaan. Bahkan ketika beberapa penyair dari komunitas yang sama menjadi aktivis partai politik yang berbeda mengapa harus gagap? Kalau kemudian, masing-masing punya komunitas seni, futsal, dan komunitas motor yang berbeda, kenapa mesti tak memahami hidup? Itulah sebabnya aku membuat simulasi,  99 - 1000 komunitas/kelompok dalam satu sekolah.

Bahkan aku terpaksa dalam beberapa forum menegaskan. Puisi itu bekerja untuk hidup, wajib. Yang disebut puisi kamar sekalipun. Bahkan puisi kamar dalam beberapa peristiwa, terbit juga akhirnya ke tengah publik. Tetapi sebagai manusia, penyair juga harus meluluskan fitrah bekerja untuk nafkah hidupnya. Untuk menyelamatkan fitrah kerajaan rumahtangganya. Untuk masa depan anak cucunya. Untuk pohon terang cicitnya yang ke 7000. Sebagai obor hijrah yang dijanjikan. Kalaupun hari ini kegelapan mengepung, bebaskanlah anak-anak kita dari itu. Bukan dengan uang yang bisa menghianati, tetapi dengan cahaya.

Kepada kaum atheis, kubilang, kalian membiarkan Sesuatu Yang Agung tetap bekerja dengan segenap keputusannya. Tidak dikenali atau ditinggalkan sekalipun. Aku bilang, titip renungkan masa depan anak-anak yang penuh kehangatan cinta.

Puisi adalah harga diri. Berapa seorang penyair memberi harga untuk dirinya melalui puisi yang ditulisnya? Bahkan puisi yang ditulis seseorang, scara sosial menyeret pula nama baik istri, anak dan keluarga besar penyairnya. Mungkin ini yang disebut-sebut konsekuensi berkeluarga. Konsekuensi ada yang mengenali. Bahkan sajak Chairil, menyeret penelusuran, siapa pacarnya?

Sampai suatu ketika aku bilang kepada aktor panggung Gusjur Mahesa, "Kalau aku menikahi 9 istri, lalu banyak yang marah dan menghujat, aku mau jawab, tidak ada syareat baru. Itu tafsir dari yang 4". Ya, meskipun cuma KALAU, ini prinsip.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com
#PuisiPendekIndonesia


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG