GENERASI GAGAP KITAB

Saya orang Islam. Biasa melihat dari sudut pandang Islam. Menemui pencerahan yang Islami. Dalam segenap hal. Meskipun saya juga mengritik para-pihak, kenapa mesti anti tafsir di dalam Islam? Menyebut sesat segala karena beda oendapat. Padahal sama-sama Islam. Itu malah disebut, berkitab tetapi menolak isi kitab. Jahat kepada Allah namanya. Bagaimana kalau yang gagap itu semisal aparat penegak hukum? Bisa-bisa ada yang akan jadi korban penerapan hukum secara tidak adil karena perbedaan sudut pandang.

Yang rancu pada pelantikan Kepala Daerah. Dilantiknya pakai Kitab Suci di atas kepala. Bukan hal sepele. Saksinya para malaikat Allah. Tetapi, ketika ada perbedaan tafsir kitab (tafsir agama) di tengah masyarakat tidak bisa menengahi. Hanya cenderung pada kecenderungannya sendiri saja. Itu namanya mengingkari sebagian isi kitab yang dipakai menyumpahnya.

Maka saya bilang, pimpinan masyarakat itu harus orang pinter. Jangan mahluk ecek-ecek. Bukan orang yang secara kulit dianggap relijius, padahal jauh dari relijius. Kalau muslim, apa gunanya pemimpin yang kelihatan selalu Islami padahal tidak Islami. Ngerti sejatinya agama saja tidak.

Sebagai hamba Allah di muka bumi, mahluk sosial yang rahmatan lil alamin, saya biasa berfikir keadilan dan kesejahteraan hidup berdasarkan sunatullah (hukum Allah). Maka wajar kalau pendapat-pendapat saya humanisme-universal.

Bahkan ketika bela negara dianggap membela kebendaan, membela dunia, bahkan membela thogut, saya bilang, bagaimana kalau prinsipnya perang di jalan Allah membela tegaknya kemuliaan Allah melalui tetap tegaknya suatu negara? Bukankah itu membela 'tanah suci'? Membela perjengkal tanah Tuhan?

Bahkan membela Pancasila, ketika Pancasila itu diumpamakan sebagai 'kalimat pernyataan' yang dibuat berdasarkan hasil ngaji suci para ulama, apakah Pancasila di situ merupakan tafsir yang zalim dari para ulama itu?

Bagaimana ini? Kalau ada bermilyar tafsir suci dari Kitab Suci, lalu para-pihak hanya membenarkan tujuh tafsir yang dianggap benar? Mengkafir-kafirkan yang tidak sama persis padahal benar?

Saya banyak beda pendapat dengan Habib Rizieq. Bahkan melalui media sosial dan diskusi-diskusi dengan seniman (aktivis sosial) yang menonjol kadang saya harus membela dia dengan cara menarik sikapnya ke garis lurus. Mengisi. Karena khawatir dia telah bertindak dan berargumentasi dengan logika iman yang keliru. Misalnya soal ribut-ribut 'patung thogut' di Purwakarta. Menurut saya patung hiasan taman itu bukan thogut. Meskipun mengandung pesan sosial dari dunia mitos sekalipun. Bukan thogut! Tetapi benar thogut kalau yang membangunnya lebih mengutamakan patung daripada perut masyarakat yang menangis. Karena ketika ada orang-orang miskin menangis kelaparan, sesungguhnya Allahlah yang menangis. Maka jika patung-patung itu mengingkari perut masyarakat, mengingkari Allah, itu thogut. Tetapi pelurusan persoalan adalah jalan keluarnya. Tidak selalu harus dengan perusakan. Bahkan saya harus mengingatkan seniman pembuat patung. Mereka harus cerdas. Ketika Bupati disalahkan karena membuat patung, itu belum tentu segaris lurus dengan kemarahan kepada senimannya. Sebab apa? Seniman cuma terima pesanan dengan argumentasi seni yang sudah cukup. Sementara kepala daerah yang mengeluarkan anggaran untuk pembuatan patung dikritik dari pintu yang lain. Artinya, senimannya malah sudah selamat. Bupatinya yang dianggap belum. Oleh karena itu harus ada titik temu.

Tetapi, begitu saya mendengar kasus pornografi yang konon melibatkan Si Habib, saya banyak diam dulu. Tidak cepat merespon. Saya gak punya data cukup.

Saya ingat pernah menulis komentar di media sosial, Facebook. Intinya begini, kalau kita melihat sepasang pria-wanita yang kita ketahui bukan suami-istri sedang bermesraan, lalu foto atau videonya yang diambil sembunyi-sembunyi disebarkan, maka Allah pasti murka dengan penyebaran itu. Kenapa? Karena zina itu butuh persyaratan. Sedangkan apa yang nyata di depan mata pun bisa menipu. Bukankah seseorang yang membawa kelapa dari perkebunan kelapa belum tentu mencuri? Siapa tahu ia dikasih oleh mandornya. Lalu bagaimana kalau kita foto diam-diam lalu diberi tulisan, orang ini baru saja mencuri kelapa. Lalu disebarkan.

Para penyebar video dan foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi itu bisa termasuk penyebar fitnah kalau tidak tahu persis inti persoalan dan argumentasi yang sesungguhnya. Termasuk menyebarkan percakapan pribadi 'tertentu', tertulis, antara dua orang, tetapi tidak memahami latar belakangnya. Ia hanya menduga-duga. Tetapi masyarakat bisa terprovokasi.

Maafkan saya. Saya juga tidak setuju ketika kasus Ahok disejajarkan dengan kasus Arswendo Atmowiloto, kasus Permadi, Lia Eden, dan kasus-kasus penistaan agama (Islam) yang lain. Saya tidak sependapat. Saya juga memandang keterlaluan ketika FPI membuat 'gubernur tandingan', gara-gara Ahok jadi gubernur.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG