MENCINTAI BIRAHI CINTAKU

Tulisan pendek ini nyelip di emailku. Tulisan lamaku. Kufikir perlu.

Pria bisa birahi melihat wanita, disebut pembawaan normal, karena ia mencintai dirinya, tubuhnya, kebutuhannya, harga diri, kecantikan dan wanginya.

Hidup berorientasi pada komitmen cinta, perkawinan dan kelahiran. Meskipun tidak semua pasangan bisa punya anak, atau tidak mau punya anak karena kondisi tertentu.

Ada juga yang takdirnya belum nikah atau bahkan tidak nikah seumur hidup, tetapi jiwanya mendukung cinta, pernikahan dan beranak cucu. Secara humanisme-universal (rahmatan lil alamin) mereka inilah para moyang, ruh cinta dan penciptaan, karuhun, yang melahirkan para nabi, para wali, ulama-ulama soleh, pribadi-pribadi penuh manfaat.

Sebagai (masyarakat) orang tua, ibu atau ayah masa depan. Penyelamat kehidupan. Sebab tak ada manusia yang tidak dilahirkan. Adam sekalipun.

Adam artinya awal manusia. Sebab. Ketiadaan yang mulia adanya, alamat manusia, mewujud, menjadi ada. Sekali lagi, menjadi ada. Tapi siapa dia? Yang hadir membawa cinta, perkawinan dan kelahiran itu. Apakah hukum kehadiran Adam berlaku pada semua manusia mulia yang secara tradisi disebut anak-cucu Adam? Sehingga adanya mesti berjuluk, Manusia Tak Ada?

Di depan kaum protes, apa Adam-Hawa menikah sesuai syariat Agama? Apa saya mesti fulgar? Padahal saya takut, hanya satu-dua  orang yang bisa sebenar-benarnya memahami dan amanah atas  ilmunya. Yang jelas ketika Adam dan Hawa berdiri sebagai hakekat yang dinikahkan Allah, peristiwanya mengisyaratkan kelengkapan syaratnya. Pada Adam, pada Hawa, pada keduanya ada mereka, 'eksistensi manusia', yang berhak menjadi wali nikah. Sehingga menikah itu wajib berwali. Wali pada wanita menjadi jauh lebih utama dengan sebab, wanitalah yang paling nampak eksistensinya, pada prinsip cinta, nikah dan kelahiran. Lalu siapa yang akan zalim, ingkar dari agama yang lurus, yang menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita? Yang menomor satukan wanita? Tak ada sebutan manusia kedua!

Pernikahan mereka ada dua mempelai. Yang satu sama lain saling cinta. Saling membutuhkan. Ada yang berpeluang menghamili dan menjadi hamil dan melahirkan.

Pada pernikahan Adam-Hawa ada para saksi selain malaikat Allah. Di depan Adam ada Adam dan Hawa. Di depan Hawa ada Hawa dan Adam. Pada keduanya, masing-masing ada dua orang saksi. Dua orang saksi itu manusia nyata. Bukan khayali. Sungguhpun demikian saksi pada wanita lebih utama dan lebih tinggi. Karena akan bersaksi tentang cinta, nikah dan kelahiran. Sekali lagi, saya sebut hal ke tiga, ada kelahiran. Maka syariat agama yang lurus mana yang  lalai dari saksi-saksi utama.

Pada pernikahan Adam-Hawa ada wajib ijab-kabul. Ada cinta dan niat nikah secara sempurna dan mulia. Ada tanggungjawab sebagai bentuk kesiapan lahir batin. Ada kalimat, "Saya nikahkan". Ada kalimat, "Saya terima nikahnya". Ada keyakinan sejak awal, "Saya siap dinikahi". Dan seterusnya. Apakah syariat agamamu tidak lurus?

Pada pernikahan karena cinta antara Adam dan Hawa ada bukti jadi. Tanda menikahi. Setidaknya berupa, kalimat suci. Kalam illahi. Yang selanjutnya berbuah kewajiban suami menafkahi keluarganya. Semampu-mampunya. Sementara istri dan anak sebagai pihak yang dinafkahi, memiliki hak untuk membantu  suami/ayah dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Selanjutnya dalam hukum kehidupan sosial terpahami, bahwa pengajian atas cinta dan nikah (suami-istri), pastilah disambut dengan hati bahagia ketika disebutkan, mereka yang menikah sesungguhnya telah menyatukan pula tali cinta dari dua keluarga besar. Ini sebuah dasar mengapa syariat nikah itu juga wajib dibaca dari dua mempelai dan dari dua keluarganya. Masing-masing orang tuanya.

Maka masihkah kau berfikir, hidup ini mesti ingkar dari cinta, nikah dan berketurunan? Setidaknya ingkar dari merestui hukum alam  itu? Yang artinya harus ada peristiwa pertemuan, yang menjadi penyebab kelahiran dan yang melahirkan. Sehingga ketika ada suami istri tak punya anak maka mesti kembali kepada hakekat, sesungguhnya semua anak manusia adalah anak-anak mereka.

Sehingga pada pasangan yang tak juga punya keturunan ada tradisi di masyarakat Nusantara, pancingan. Yaitu mengangkat atau mengadopsi anak. Siapa tahu setelah itu  Allah menganugerahi kehamilan dan kelahiran. Sesunguhnya hakekat yang lurus itu, anak yang diadopsi itulah anaknya yang nyata. Bukankah anak yang kita angkat atau adopsi itu telah juga melewati cinta, kehamilan dan kelahiran? Sedangkan kemungkinan-kemungkinan itu wajib kita ihlaskan kepada Allah.

Gilang Teguh Pambudi  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG