PENYAIR MEDIA SOSIAL

WAKTU     

Waktu seperti bunyi pucuk cemeti pawang kuda lumping                     udara terluka di lapis pertama. 

Malam menuju dinihari yang dalam

Gerangan isakmukah yang  mendahului bunga belimbing warna marun berjatuhan ?             

Gerangan kilau  air matamukah di ujung  sajadah sebelum cahaya

Jakarta, 12/05/2013

Puisi Herman Syahara di media sosial facebook

Penyair Media Sosial (sebutan bagi penyair yang memanfaatkan ranah medsos untuk berekspresi dengan puisi-puisinya), Herman Syahara, yang puisinya saya lihat bertaburan di facebook menulis status: Saya faham sastra(wan) fb dinilai rendahan, karena "penyair benaran" hanya menjadikan fb untuk laporan puisi yg sudah dimuat koran.

Lalu saya komentar singkat: Penyair itu cuma titik arah telunjuk peristiwa kepenyairan, lain tidak.

Dia pun nampaknya tergelitik: Boleh sedikit elaborasi maksudna, Kang Gilang?

Begini saya noroweco (berucap spontan melalui tulisan): Singkatnya. Penyair sejati itu cuma hadir, atau terpaksa, atau wajib hadir sebagai peristiwa. Peristiwa kesaksian dan proses mencerahkan melalui medium sastra. Ia tiba-tiba menjadi sentrum. Hidup di tempat hidupnya. Tidak ada yang bisa memastikan koran dan majalah sebagai ukuran. Sebab yang model begitu, mati kutu di depan koran dan majalah yang membuat kebijakan redaksional 'membredel' rubrik puisinya. Sedangkan penyair sejati punya rimbanya sendiri. Koran hanya satu tempat singgah yang cuma kebetulan.

Satu lagi. Biarlah lahir sekalian Penyair Media Sosial. Tentu tidak cuma FB. Tetapi dari semua media sosial. Kalau perlu sekadar perwakilan, beberapa nama dan karya penyair di medsos bisa diangkat, dipaparkan juga melalui buku pelajaran Bahasa dan Sastra dari SD sampai SMA. Masa' kalah sama hobi filateli dll, semua sudah masuk buku pelajaran. Biar gak jadi remeh bakat seseorang itu. Bahkan berbalas pantun di medsos itu sumbernya juga dari buku pelajaran. Itu ujung-ujungnya, pengetahuan sastra secara umum, pengetahuan pantun secara khusus, dan pemanfaatan pantun atau yang serupa pantun  jika diperlukan. Tapi memang, pada gilirannya akan ada seleksi alam. Akan lahir penyair yang berangkat dari medsos atau memanfaatkan medsos, tetapi lumayan populer. Berpengaruh.

Soal penyair jadi. Ini memang 'mahluk aneh' . Ada yang 'pelit' masuk medsos. Kadang cuma muncul ngomongin karyanya yang dimuat atau terbit di sana-sini. Tapi ada yang royal karya di medsos. Ah, menurut saya sama saja. Biar saja. Para pengamat budaya juga ngomong di TV, kalo Wiji Thukul ngalamin booming medsos seperti saat ini, ia pun tidak mustahil akan orat-oret di medsos. Buktinya para pengagumnya juga begitu. Gak aneh.

Yang masalah, .... ada penulis yang kelewat sibuk ngejar-ngejar honor. Ngejarnya bahkan sampai ke ruang redaksi. Tahulah. Teman saya jurnalis/reporter yang rajin, selalu siaga, tapi nulisnya 'jelek'. Kaidah bahasanya kurang. Dibacanya gak enak. Tiap ngetik diralat dulu oleh redaksi. Tapi karena dimaklumi , lulus juga semua beritanya. Dapat gaji normal. Apalagi penyair yang dasarnya memang biasa (jago) nulis? Masa' gak dimuat? Kecuali kalo beda misi dengan korannya. Tapi kalo masalahnya antrian yang padat, terseleksi atau tercecer, bisa gak sih 'lebih dekat' dengan redaksinya? Ini soal.

Itulah nasib pengejar honor. Padahal para pengusaha bahkan Kyai Pesantren, kalo nerbitin buku, cuma dibagi-bagikan. Sosial. Bukunya bisa bikin populer. Gak ada royaltinya. Yang ada malah bayar penerbit dan percetakan.

Menulis puisi adalah kerja sosial, panggilan Allah. Potensi dasar penyair yang hidup dan bekerja. Tetapi kalau beruntung ada rejekinya langsung dari puisi. Banyak yang sudah menikmatinya. Memang. Tapi kalau tidak, penyairnya bisa dan biasa jadi kuli, dosen, wartawan, pedagang kaki lima, PNS, anggota dewan, penyanyi, petani, nelayan, pengusaha dll. Mereka ini gak terlalu butuh honor puisi sebenarnya. Dapat ucapan terimakasih sudah disyukuri. Apalagi habis naik panggung baca puisi, pulangnya dapat salam tempel buat ongkos pulang dan bikin rumah.  Yang lebih dibutuhkan justru butuh buku tetbit. Masabodoh disebut perjuangan sosial. Bukan bisnis buku. Selain tentu saja panggung-panggung puisi.

Salam.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG