SAYA PANCASILA

Semoga bukan kesombongan. Melainkan kebanggaan. Kalau saya menyatakan hal viral di tahun 2017, saya Pancasila. Pernyataan yang tiba-tiba menjadi urgen karena banyak cobaan telah dilalui bangsa Indonesia.

Mencintai Pancasila sejak masa sekolah, itu kenangan saya. Bahkan meskipun belakangan ada kritik tajam karena faktor tafsir tunggalnya yang justru bisa mengekang kebhinekaan, saya sesungguhnya sangat mencintai mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) semasa sekolah. Mengapa? Karena mata pelajaran itu yang mendetil bicara menjadi pribadi berpancasila. Eksistensi yang diakui oleh kaum terdidik.

Tentu selayaknya pelajar pada umumnya, saya menyukai beberapa pelajaran favorit. Bukan karena gurunya. Tetapi karena rasa untuk mengikutinya sangat cocok dengan hati. Beberapa pelajaran yang sangat saya sukai misalnya, matematika, bahasa dan sastra  Indonesia, Ilmu Keguruan, dan senibudaya. Bagaimana dengan Anda?

Bahkan kesukaan pada Pendidikan Moral Pancasila, terbawa secara formal ke tengah masyarakat. Di awal tahun 90-an, sebagai remaja warga kelurahan Cikole di Kota Sukabumi saya mengikuti Penataran P-4. Pesertanya banyak, ratusan. Dan di akhir acara saya sempat disebut sebagai peserta terbaik. Bahkan sempat dipaksa ikut tim cerdas cermat ke Kecamatan meskipun tidak menang. Namanya juga kenangan masa remaja, itu selalu menarik bahkan bagian dari romantisme sosial. Sebelum akhirnya saya akhif di Remaja Mesjid dan Karang Taruna.

Kenangan pribadi tiap orang tentu beda-beda. Tetapi bisa sama-sama membekas. Begitu pula kenangan saya itu, yang di hari ini, Kamis, 1 Juni (Di bulan Romadon) 2017, di hari lahir Pancasila menguatkan saya untuk menyatakan, saya Indonesia, saya Pancasila!

Ini benar-benar berkah Romadon juga.

Apalagi pernyataan dan tulisan ini mengalir seusai menyaksikan peristiwa sejarah, upacara bendera pertama kalinya dalam rangka Memperingati Hari Lahir Pancasila di depan Gedung Pancasila, yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Hari yang ditetapkan pula sebagai hari libur nasional.

Tantangan terbesar saya adalah ketika di tahun 90-an itu di sela-sela tumpukan buku saya banyak buku dan buletin yang bicara soal Pancasila dari berbagai sumber. Terutama berkaitan dengan Piagam Jakarta. Mestikah kita meminta sila pertama dikembalikan sesuai versi Piagam Jakarta? Karena katanya ada kata-kata yang dihilangkan, terutama yang menyebut syariat Islam. Bagaimana menurut Anda? Apalagi kalau anda sambil merasa-rasa harus bersikap di usia remaja seperti usia saya pada saat itu? Jangan pakai cara berfikir sekarang.

Selain tulisan-tulisan soal Piagam Jakarta, banyak juga ketika itu tulisan tentang anti Keluarga Berencana yang dianggap sebagai program yang merugikan ummat. Padahal di benak saya sebagai penulis karya ilmiah soal KB dan mengalami menang pidato soal NKKBS, KB itu bisa dijadikan solusi kependudukan. Tetap begitu. Tapi bukan alat paksa. Para pelakunya yang menjadi suritauladan juga wajar dapat perhatian dan penghargaan negara. Tetapi saya juga sekaligus ngerti, program KB jangan merugikan siapapun, termasuk ummat Islam di Indonesia.

Ketika itu saya orang yang sangat antusias membaca syariat Islam dari berbagai buku. Apalagi waktu SMA, ibu kandung saya sudah aktivis di Dewan Dakwah Jakarta. Bahkan sejak SMA itu saya bersikap beda dengan mayoritas remaja Indonesia di era Orde Baru, karena saya pro-partai bersemangat Islam (meskipun sesunguhnya berazas Pancasila) karena bermaksud memperjuangkan hak demokrasi Ummat Islam.

Sampai terkenal wacananya, saya tentu ada di dalamnya, "adalah sebuah logika normal ketika ummat Islam di Indonesia yang menjadi warga bangsa mayoritas menginginkan presiden Indonesia beragama Islam". Ini konstitusional. Karena  sikap ini beriringan juga dengan toleransi tetap memberi kesempatan siapapun yang disebut non-muslim bersikap secara konstitusional pula. Jadi gak ada sentimen negatif di situ.

Tapi namanya juga Orde Baru. Saya merasa asing meskipun bicara konstitusional soal syarat Islam dan kepemimpinan Islam. Padahal kalau dibilang anti-Soeharto, gak begitu juga. Saya biasa menghadiri tablig akbar Syukron Makmun, yang teriak-teriak, Soeharto itu muslim, selama dia bermanfaat bagi bangsa dan negara, kita harus dukung dia! Bahkan di era reformasi saya cenderung kepada pemikiran Amin Rais dan Yusril Ihza yang jauh-jauh hari mewacanakan REFORMASI DAMAI. Bukan gerakan keras apalagi banyak melahirkan korban, dengan semangat menggulingkan kekuasaan secara paksa dan seketika. Karena menurut saya, pada waktunya REFORMASI DAMAI pun bisa membuat sebuah kepemimpinan yang dinilai bermasalah mengundurkan diri sesuai dengan sistem yang berlaku. Apalagi sebagai pribadi yang seorang pemimpin bangsa, Pak Harto juga punya banyak keunggulan. Bahkan punya nilai-nilai kepahlawanan.

Kembali ke soal Pancasila kita. Sesungguhnya peringatan 1 Juni 2017 sebagai hari lahir Pancasila, ini bisa ditempatkan sebagai kemenangan semua Orde, yang berhasil dinyatakan dengan brilian oleh Presiden Joko Widodo.

Bahkan ketika menengok kembali wacana Pancasila versi Piagam Jakarta yang muncul menjelang hari kemerdekaan, lalu muncul kembali sebagai wacana yang kuat di era tahun 90-an. Sesungguhnya girohnya, mempersoalkan satu hal: tidak ada yang dibuang dari sesuatu yang baik dan bersejarah. Tidak ada kata-kata yang dibuang dan harus dikembalikan. Sila pertama sebagaimana yang kita kenal dalam pembukaan UUD 1945 itu saat ini, di dalamnya tetap mengakui syariat Islam bagi ummat Islam. Bahkan kalau mesti dikembalikan, apa yang harus dikembalikan kemana?

Perkara pernah muncul kata-kata ---yang sempat dianggap dibuang itu--- menjelang detik-detik kemerdekaan RI, itu semacam pernyataan semangat perjuangan. Bagian dari heroisme merebut kemerdekaan juga. Ummat Islam demikian bersungguh-sungguh 'sebagai Indonesia' dan menginginkan Indonesia seperti apa? Yang ujung-ujungnya seperti yang kita jalani kebaikan dan manfaatnya hingga sekarang ini. Tidak neko-neko. Bukan mengkhayalkan negri antah berantah. Bukan kontra-NKRI.

Salam Pancasila!
Salam kebhinekaan kita!

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG