TRAGEDI TURUN MINUM

Pribadi Nusantara, kita sampai tidak ingat, sejak kapan mengenal istilah turun minum. Biasanya istilah itu dipakai untuk menyebut petani yang istirahat dari kerja sawah atau kebun untuk makan minum sejenak sebelum kerja lagi. Begitu pula berlaku pada pemain sepakbola ketika merehat babak pertama sebelum masuk babak kedua. Atau tentara yang menyudahi latihan rutin yang selalu berat.

Ya. Turun minum diartikan waktu jeda. Baik di tengah kesibukan atau melunasi kerja harian dengan pulang, sebelum besok sibuk lagi. Seolah-olah hidup ini memang definisinya kerja. Turun minum hanya istilah untuk recovery. Pemulihan enerji sejenak. Sebab kunciannya justru sibuk itu. Betapapun orang bijak terpaksa berwasiat, nikmatilah sibuk harian itu sebagai wisata yang tak pernah selesai.

Dalam lagu Jawa karya Ki Narto Sabdo, Prau Layar. Anggap saja kesibukan itu seperti wisata liburan di pantai yang indah, bergoyang bersama riak ombak berkilau di atas perahu, tetapi nyiur hijau selalu mengingatkan hari sore dan kesemestian pulang. Ya, pulang kepadaNya. Maksudnya biar eling. Jangan mabuk dunia.

Pribadi Indonesia, istilah turun minum adalah kearifan lokal kita. Kecerdasan lokal Indonesia yang universal. Betapa tidak? Dalam spirit relijiusitas yang tinggi, seperti garis tegas ajaran para wali, kita telah berani menyebut bahwa makan-minum itu perbuatan turun, bukan perbuatan naik.

Lalu apa yang disebut perbuatan naik? Menemui Allah. Tentu saja untuk menemui potensi yang Allah berikan kepada kita, tiap pribadi, dan potensi manusia pada umumnya. Lalu dengan segenap potensi yang lengkap itu, berbuat apa saja, bekerja apa saja. Menjaga keselamatan tiap diri, keluarga-keluarga, dan keselamatan manusia semua di muka bumi. Siaga! Yang biasa kita sebut, dengan semangat rahmatan lil alamin. Hasil ngaji Asmaul Husna. Terutama hal Allah Maha Rahman, Maha Rahim.

Yang namanya segala potensi di depan segala penjagaan, maka satu yang mutlak tidak boleh diingkari adalah menjaga fitrah setiap pribadi manusia. Kita semua harus bertanggungjawab. Melalui fardu ain dan fardu kifayah itu. Misalnya menjaga setiap pribadi manusia untuk bisa makan minum setiap hari, harus hidup aman, sehat, berpendidikan, menjadi masyarakat yang tahu bukan masyarakat yang bodoh, dan berada dalam lingkaran keadilan yang dirahmati Allah Swt. Itulah tertolongnya fitrah. Yang diawali dengan suritauladan: fitrah bayi rapuh ditolong ibu bapak dan familinya. Lalu kelak bayi yang tumbuh dewasa itu menolong fitrah dirinya. Lalu para-manusia yang telah dewasa, siapapun itu, bertanggungjawab atas kebutuhan fitrah masyarakatnya.

Sekali lagi, jangan sampai ada manusia yang tidak makan, meskipun cuma sehari. Karena itu, masyarakat dewasa sebagai bapak dari para pemimpin berpesan, negara mesti maju progresif menyejahterakan masyarakatnya. Itu amanah namanya. Maka kita benci koruptor yang hanya mengenyangkan perutnya sendiri atau perut kelompoknya dengan uang haram.

Pribadi muslim yang dirahmati Allah, di Indonesia tercinta ini kita tidak boleh cukup merasa bangga hanya dengan menjadi bangsa mayoritas pada kisaran 80-90%. Sebab Allah pasti akan selalu menagih potensi besarnya. Termasuk potensi menjadi bapak atau ibu, bagi kelahiran suatu sistem bernegara yang beradab, berkeadilan dan berkesejahteraan. Sehingga ketika garis-garisnya telah kita buat, buah dari ngaji suci itu, kita harus komit. Jangan mengganjal kaki sendiri. Sistem yang kita bangun adalah persembahan di depan Allah, sebagai ibadah dan pahala semua. Kalau ada kurangnya kita titi melalui prosedur-prosedur yang menentramkan dan meyakinkan, untuk kembali kepada Allah, menggapai ridonya. Sehingga tidak ada dosa kolektif yang disyukuri. Dosa biarlah dipertanggungjawabkan oleh pelaku-pelakunya di hadapan Allah.

Pribadi daerah-daerah Nusantara, sangat banyak pesan lokal kita yang menyadarkan akan budaya turun minum itu. Satu contohnya melalui  tradisi yang kadang dianggap kontroversial, menjaga keris. Meskipun keris telah diakui dunia sebagai buah senibudaya tinggi di Indonesia, terutama di tanah Jawa. Benda bertuah.

Begini singkat runtutnya. Dibuang sayang, tentu saja. Seorang tokoh masyarakat Jawa biasanya memiliki satu keris. Dulu. Sekarang mulai tidak. Karena keris itu perlambang dirinya. Kalau kerisnya ada kode lima atau tujuh, atau ada tulisan Arabnya, itu pertanda pemiliknya seorang muslim. Ia berpribadi muslim. Lalu keris itu diletakkan ditempat yang nyaman dan terhormat, karena Sang Pemilik juga sedang berdoa hidup di tempat yang nyaman dan terhormat. Berdoa kepada Allah. Bukan malah memohon kepada keris. Itu sebabnya Jendral Soedirman, Pangeran Diponegoro dan Bung Karno, bahkan kakek saya, Marto Mirejo berkeris.

Silokanya, keris itu bisa diberi pewangi sejum'at sekali, atau beberapa Minggu sekali, atau beberapa bulan sekali. Karena bukan maksud boros minyak wangi. Bukan itu. Ini bukan cerita hedon. Bukan nyembah materi dunia. Tetapi maksudnya, pesan moralnya, meminyaki diri, mengurapi diri, membaiat diri, dengan wangi-suciNya setiap hari. Sepanjang tahun. Sepanjang hidup. Jangan memelihara dosa-celaka. Harus jadi rahmat-kasih bagi sesama, jangan jadi bahaya bagi orang lain.

Sekali setahun, misalnya di bulan Mulud. Kita memandikannya. Maksudnya, segaris dengan peristiwa lahirnya Rosulullah SAW, kita mensyukuri kelahirannya sebagai kelahiran bersama, kelahiran kita, manusia beradab, yang selalu bersih diri menjauhkan diri dari segala kotor dosa. Maka ujub, ria, takabur manusia yang malah petentengan dengan menggenggam keris yang katanya keramat, jumawa, yang malah ingkar sunah dari pribadi yang mandi-suci. Yang teduh, ruku dan sujud.

Ada juga yang menyimpan beberapa keris, karena masing-masing punya nama dan punya pesan. Ada isinya. Untuk menunjukkan Sang Pemilik itu siapa dan menjaga apa hidupnya. Tetapi tidak boleh, bahkan dosa, yang ukuran hisabnya Allah yang tahu, ketika seseorang tertentu malah hanya punya kesukaan atau kebiasaan menumpuk keris dengan tujuan yang salah. 

Kembali kepada kearifan istilah turun minum. Keris itu butuhnya ternyata cuma terjaga bersih dirinya, wangi dirinya, bermanfaat eksistensinya di tempat nyaman itu. Seperti Begitulah seorang mukmin-muslim. Di tempat tinggi ia adalah pusaka. Bersih, wangi, dan bermanfaat. Sebagai ummat yang berjamaah, ia pusaka benilai besar. Berwujud super raksasa. Tidak bergerak sendirian. Ketika Jendral Soedirman memegang gagang keris dan menariknya sedikit saja, seluruh ummat terus bergerak maju. Jihad untuk Allah, bangsa dan negaranya. Padahal belum sampai ia mencabut dan mengacungkan ke langit.

Begitulah. Pribadi muslim itu dahsyat! Semisal pusaka, ia makan-minum dengan kebutuhan dunia yang sedikit saja, secukupnya, itupun yang terpilih, selebihnya untuk manfaat yang banyak. Pada waktunya segenap potensi, harta, ilmu dan pengaruhnya, akan berguna untuk perjuangan yang besar. Untuk menolong tegaknya keadilan dan kesejahteraan, kalimat Allah.

Kadang kita jadi malu. Kita ini boros untuk segala kepuasan diri yang gak ada gunanya. Keramat macam apa yang model begitu? Segala pingin dimiliki, segala pingin dibeli, segala mau dimakan habis. Padahal siloka perut buncit Wayang Semar yang pandai menelan gunung itu, yang biasa dipakai dakwah oleh para wali itu, artinya Kyai Semar pandai menabung untuk segala manfaat di jalan Allah.

Maka puasa sunah dan wajib itu menjadi pengingat dan penanda yang mendesak. Jangankan lagi untuk yang haram, yang sudah pasti kita tolak, bahkan untuk yang serba halal pun harus kita tahan-tahan. Demi menggapai kulminasi kemenangan akhirat yang lebih utama. Tetapi jangan juga karena argumentasi yang berbeda, atas dasar jangan mengambil segala halal kecuali seperlunya saja, maka kita mematikan suatu budaya halal, yang merupakan bagian dari khas dan kearifan di situ.

Pribadi bijak, manusia-manusia kelahiran di rumah cinta, sampai-sampai saya salut pada tokoh berilmu yang memiliki burung perkutut. Selain kalimat, burung saja dicintai, apalagi anak istri dan masyarakat? Dia juga bisa menengok burung perkutut itu. Hidupnya kuat. Tidak ringkih. Penampilannya sederhana dan tenang. Kecuali menjadi giras kalau diganggu. Tetapi suaranya emas menggemaskan. Senang pada ketinggian, perlambang suritauladan alif tegak terdepan yang siap memimpin. Makan minumnya sedikit dan tidak minta neko-neko. Buang kotorannya juga sedikit.

Saya sendiri senang memasang dua tangkringan di kandang burung. Biar ada kesan, kalau dia sedang gagah di tangkringan teratas, ada gerakan turun untuk minum. Istirahat sejenak itu. Lalu beraksi lagi. Sibuk lagi. Untuk manfaat lagi.

Hamba Allah yang merindui hari-hari Romadon, inilah catatan pendek soal kearifan turun minum. Bukan naik minum. Kita mesti jauhi bahaya turun minum ini. Apalagi untuk foya-foya dan maksiat- jahat. Apalagi untuk miras, narkoba, pelacuran, kriminal, tawuran, korupsi, perusakan fasilitas umum, perusakan alam, dan seterusnya.

Salam cinta.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG