UMUR KEPENYAIRAN

Untungnya umur kepenyairan sejati itu gak punya pensiun. Bahkan melewati batas kematian penyairnya. Begitulah hukum alam. Bahkan ketika ada upaya sistematis untuk mematikan daya dan pengaruh kepenyairannya sekalipun.

Itu kalimat Allah. Ada dalam titik-titik peta Kitab Suci yang terserak. Sehingga sejarah selalu menemukan konsensus alamiah  kepenyairan itu, baik ketika Sang Penyair masih hidup, maupun setelah mati.

Kalau beberapa pihak menyebut, "Kamu habis! Tak ada lagi kepenyairannya! Tak ada logika untuk kesenimanmu. Hak hidup sudah mati". Maka kalimat itu justru akan menjadi peluru terbalik. Menembak para-pihak itu. Sebab pada waktunya, kepenyairan semaksimal mungkin bisa eksis setelah melewati pintu dengan senjata berpeluru sengit dan keji seperti itu.

Kepenyairan dan puisi tentu tidak melulu bahasa koran. Sebab di depan koran yang tidak punya rubrik puisi dan cerita pendek, mereka yang cenderung seperti itu mati kutu. Bahkan kalaupun ada satu-dua koran yang masih punya rubrik itu. Malah bisa dipakai sikut-sikutan tidak cerdas dan menjadi prosedur legitimasi yang tidak bijak.

Puisi itu pada awalnya adalah kehadiran penyair. Bulat utuh sebagai karunia Allah. Bersamaan dengan itu ada kelahirsn puisi. Melalui panggung, komunitas, aksi, koran, majalah, buletin, buku, radio, televisi, internet, dll.

Itu sebabnya kepada seorang Deddy Koral, entah dia kenal baik atau tidak kepada saya, saya sangat menghargainya sebagai Penyair Trotoar. Bahkan saya berkhidmad pada kata-katanya yang sederhana, terkesan sebagai bahasa obrolan sehari-hari, bahkan dicurigai sementara pihak sebagai bukan puisi. Asalkan punya misi kelahiran dan kesemestian hadirnya puisi-puisi itu. Sehingga setelah antologi pertamanya terbit, sambil masabodoh, meskipun cuma terbit 3 biji, misalnya, saya tetap bisa membuat forum diskusi untuk bukunya.

Saya sudah biasa dengan kalimat selamat datang seperti yang terjadi kepada Deddy Koral. Minimal saya menyapa secara apresiatif, sudi membaca karya seseorang.

Kepenyairan itu kuat karena dikuatkan Allah. Hadirnya dibutuhkan. Sekarang atau nanti. Sehingga menuntut konsistensi.

Seperti saya bilang, penyair tidak butuh pengakuan sebenarnya. Sebab yang dibutuhkannya sebuah peristiwa. Kenyataan. Yang bisa dihadapi oleh rasa sementara pihak, mengakui atau tidak. Bahkan di tidak sedikit negara, ada penyair yang pernah berada pada posisi tidak diakui sama sekali oleh negaranya. Apalagi ada sapaan dan undangan.

Umur penyair tidak hanya  bisa diartikan berapa tahun eksistensi dan proses kreatifnya? Tetapi berlaku untuk seluruh ukuran.

Begini. Ini analogi penting. Ketika sebuah beban kendaraan melintasi jembatan timbangan, betapapun sebuah jembatan timbangan yang sudah tidak berfungsi tidak akan pernah mengabarkan apa-apa, tetapi mari kita tanya benda apa saja di situ. Apakah sebuah beban baru saja melintas? Berapa berat bebannya? Melaju seberapa cepat? Pada jam berapa hari apa? Ketika angin berhembus seperti apa? Apa merek mobil itu? Produksi tahun kapan? Apakah di dalam mobil itu ada sendal.pemiliknya? Dst. Itulah kesaksian hidup yang melebihi 'alat timbang'.

Kepenyairan dengan segenap totalitasnya selalu berdiri di sentrum itu. Baik ketika penyairnya seorang kuli payah atau direktur kaya. Baik ketika sebagai pedagang pasar, atau pejabat basah. Seorang buruh atau pimpinan organisasi berpengaruh.

Kedalaman dan cairnya bahasa penyair pun bukti umurnya. Bahkan ketika banyak atau sedikit jumlah karyanya, buku yang diterbitkannya, tidak menjadi penanda keunggulannya; ternyata bisa juga kondisi demikian menjadi sumber kepercayaan yang besar.

Pendeknya, garis tangan penyair dan kepenyairan sudah ada yang menentukan dan menjaganya.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG