LOGIKA WARDAN (Warung Ramadan)

Logika Warung Ramadan. Ini sebenarnya matematika yang coba dibuka banyak orang selama ini.

Kenyataan menunjukkan, yang mencari rumus logika itu justru hamba Allah yang soleh. Muslimin wal muslimat yang taat. Jamaah yang istikomah. Sebab di luar mereka Logika Iman tidak penting. Yang penting duit.

Gini.

Kalau selama bulan suci Ramadan semua warung yang menyediakan jualan makanan (termasuk cemilan/jajanan), termasuk makanan ringan dan 'jajanan anak-anak balita yang tidak puasa itu' tutup sama sekali, jika tidak mustahil, rasanya terdengar baik sekali. Kita khusyuk tanpa nengok makanan di tiap titik manapun. Bahkan mulai balita pun sudah didekatkan pada ruang kosong tanpa warung makan di bulan suci.

Tapi anak-anak balita itu dalam hal pertumbuhan dan perkembangannya, termasuk dalam keistimewaan pendidikan karakternya, kan butuh pendekatan edukatif. Bukan kekakuan-kekakuan. Butuh bimbingan untuk paham bukan pemaksaan, apalagi kekerasan psikologis. Apalagi terlalu banyak menakut-nakuti dengan hal-hal yang tidak ketemu prinsipnya.

Anak-anak balita itu tentu biarlah mendapati kemudahan untuk konsumsi makanan pokoknya. Mereka belum kena syariat wajib puasa. Sehingga kalau ada anak-anak pra-remaja (usia awal SD, 7-10 tahun) berpuasa dan selalu tamat, sesungguhnya pahalanya ada pada orang tuanya, sebagai imbalan jasa keberhasilan mendidik, jika arahannya benar. Sedangkan bagi anak-anak itu yang masih cenderung cuma nahan lapar dan haus, tanpa pengajian yang jauh, tentu akan menuai manfaat maksimal di kelak kemudian hari.

Fenomena anak kecil puasa memang banyak mendatangkan belas. Apalagi kalau saya ingat pernah mendengar perkataan tetangga non-muslim yang berkata, "Yesus telah berpuasa untuk kami. Karena itu kami cinta. Kami tidak wajib puasa, tetapi boleh berpuasa. Kami mengikuti dia". Kata-kata terakhir itu semacam penjelas, bahwa tidak kena wajib puasa, menahan makan minum, bukan berarti tidak mengikuti ajarannya. Pendeknya, ia ingin menyampaikan kepada saya, kepada orang-orang yang setuju dengan puasa Isa Al-Masih untuk semua, atau sebagai puasa semua itu, masih boleh melakukan puasa tidak makan minum. Tetap banyak manfaatnya. Sedangkan pada anak-anak, masih dalam proses bertahap untuk mengerti semua hal.

Di masyarakat Islam Nusantara ada budaya unik. Yaitu latihan puasa buat anak-anak. Mulai dari puasa semampunya, trus puasa setengah hari, sampai azan asar, dan akhirnya bisa tamat sehari. Entah kapan budaya masyarakat itu dimulai. Tapi itu tradisi.

Kalau melihat garis umumnya, latihan puasa jelang puasa sebulan penuh di bulan suci Ramadan, sesungguhnya Islam sudah punya beberapa puasa. Yaitu puasa sunah. Yang dilakukan sebagai pilihan cara mencinta, dengan ihlas, untuk meraih sebesar-besarnya Rido Allah. Puasa-puasa itu misalnya, puasa Senin-Kamis, puasa Daud, puasa Sya'ban, puasa mutlak, dll. Dengan melakukan puasa-puasa itu seorang mukmin-muslim akan terbiasa menahan lapar dan haus sekaligus menemui makna-makna dan manfaatnya.

Saya perlu pertegas. Soal puasa mutlak. Karena kadang pada puasa mutlak ini menjadi sedikit rumit. Puasa mutlak boleh dilakukan kapan saja,  kecuali di hari-hari haram puasa. Boleh dilakukan satu hari. Tiga hari sekaligus. Tujuh hari berturut-turut. Atau sembilan hari. Sehingga tidak boleh kita dengan mudah menganggap haram kepada mereka yang berpuasa sunah mutlak tujuh atau sembilan hari.

Kadang puasa mutlak ini dalam tradisi masyarakat tertentu ditambahi latihan lain. Misalnya puasa sehari tetapi buka puasanya lewat isya atau bahkan tengah malam. Ada pula puasanya disertai puasa diam (tidak bicara selama satu hari penuh) untuk melatih kearifan bicara dan memahami manfaat bicara. Ada juga yang langsung puasa diam sehari meskipun masih makan dan minum. Apakah tarekat ini berpahala? Sesungguhnya semua yang baik dan halal itu ada pahalanya. Tergantung niat perbuatan apapun. Kecuali yang menyiksa diri, berlebih-lebihan, merubah 'kalimat' Allah, sebagai segala perbuatan dosa. Bahkan ada juga yang disebut puasa mutih. Hanya makan nasi saja. Ini semacam melatih keprihatinan untuk tujuan yang besar. Bagian dari tradisi lokal. Kearifan dan kecerdasan lokal. Tidak harus karena faktor kemiskinan. Itu satu paket dengan tradisi-tradisi lainnya.

Dengan mengaji kebutuhan makan balita dan anak-anak yang latihan puasa semampunya itu, kita sudah bisa membaca. Ada kebutuhan makanan tertentu di warung, tidak hanya mulai tengah hari tetapi bahkan sejak pagi hari.

Ditambah lagi, kita harus melihat hamba Allah yang uzur, sakit, atau dalam perjalanan yang parah. Mereka ini juga butuh makanan yang bisa mendesak. Sehingga tidak perlu kita gegabah menuding, warung Ramadan yang buka itu hanya untuk kepentingan non-muslim. Bahkan para pekerja pabrik, kuli-kuli kasar, supir-supir dengan rute dan beban yang tinggi dll, yang sedang berjihad demi keluarga, demi Allah itu, mereka bisa menghadapi dilema yang berat karena pekerjaannya terlalu berat untuk berpuasa. Mereka menghiba-hiba meminta keringanan dari Allah SWT. Bukan menolak puasa. Belum tentu tidak ngerti guna puasa.

Maka kalau warung-warung itu mulai membuka diri pada jelang buka puasa, sedangkan dari pagi lebih tertutup, kecuali penampakan tulisan 'warung makanan', maka kita nampaknya mulai mengerti. Cara mereka ini demi menghargai Ramadan. Atau disebutnya, ala Warung Ramadan (WARDAN). Sehingga para turis yang sedang berwisata tanpa menjalani hari-hari puasa pun bisa mengangguk-angguk mengerti dan menghormati, ini bulan suci Ramadan.

Warung yang tidak terlalu terbuka, kecuali setelah jelang berbuka puasa, ini sesungguhnya tradisi masyarakat muslim juga. Kehangatan dan keakraban sosial juga. Meskipun mereka ini tetap hormat pada keyakinan sebagian pedagang yang hanya mau buka jelang berbuka saja.

Dari sini kita mulai empatik, merasa-rasa, menimbang tradisi soal eksistensi WARDAN. Dan yang utama, tidak mau menyalahi memahami dan menjalani ibadah Ramadan.

Tidak benar keberadaan warung-warung itu, sekali lagi, untuk konsumsi non-muslim, atau yang sudah terpengaruh kebiasaan non-muslim. Jangan mudah mengambinghitamkan mereka. Kearifan itu hilang karena tidak Arif lagi.

Sekarang kita tengok fenomena WARDAN versi jelang Ramadan.

Ada yang memahami, makanan persiapan buka puasa, atau makanan warung untuk keperluan jelang buka itu, artinya boleh dijual ba'da azan asar. Seiring tergelincirnya matahari ke arah senja sampai awal malam.

Tetapi banyak juga yang memahaminya, mulai azan zuhur. Alasannya, para karyawan dan pegawai itu biasanya istirahat siang pada pukul 12:00. Mereka sholat dan merasa punya waktu cukup buat beli makanan, buat dibawa pulang, untuk berbuka puasa  bersama keluarga. Maka di pinggir kantor-kantor dan pabrik-pabrik, warung selepas zuhur sangat marak sekali.

Fenomena jualan makanan mencegat pekerja yang  istirahat siang di bulan suci Ramadan, untuk persiapan buka puasa, mungkin termasuk sudah lebih biasa dimaklumi. Sebab apa? Sebab puasanya pun sudah berjalan separuh waktu. Tinggal perjalanan menyudahi. Yang unik lagi di pasar-pasar.

Di pasar-pasar tradisional bahkan modern, mereka yang sedang berbelanja sejak pagi hari tentu akan sekaligus dicegat dengan dagangan berupa makanan jadi, makanan siap santap. Karena tidak mungkin para pembeli itu punya kesempatan bolak-balik ke pasar, beli bahan mentah pada pagi hari dan jelang sore baru beli makanan jadi. Itu tidak efisien waktu.

Di akhir tulisan ini saya mengucapkan selamat menikmati indahnya berpuasa di bulan suci Ramadan. Tetap khidmad dan sebanyak mungkin memetik manfaat untuk keselamatan dunia wal akhirat.

Buka puasa itu mensyukuri  halal. Bahkan memilih prioritas yang halal. Yang haram, .... jauh! Luar biasa!

Tadarus itu menemui kebenaran Wahyu Illahi. Atau lebih tinggi dari itu, merasa sebagai penerima Wahyu itu.

I'tikaf itu, merasalah 24 selalu berada di dalam khazanah mesjid. Tidak hanya pada saat berdiam berzikir di atas sajadah mesjid saja.

Tarawih itu justru bersukacita dengan rutinitas hidup di jalan Allah. Kerja keras yang penuh cobaan seperti apapun, dirasakan sebagai peristiwa atau istirah  rebah di dalam jalinan rasa cinta yang kuat.

Lailatul qodar itu kita yang menjemputnya. Memenuhi hidayah dan anugrah Allah.

Malam seribu bulan itu karena terlalu terang harga manfaat dan pahalanya.

Dzikrullah itu semata-mata Allah. Semata-mata Allah. Allah semata-mata.

Bersholawat Nabi SAW itu juga memahami, merasa-rasa dan menempatkan diri sebagai Ummat Muhammad SAW. Pihak-pihak yang membenarkan kedatangan yang paling akhir dan abadi. Menjadikan segenap sempurna. Tidak tercecer dan tercerai berai. Rahmatan lil alamin. Subhanallah.

Tidak perlu kita terjebak kegiatan salah. Melakukan sweeping secara tidak benar terhadap warung-warung yang menjual makanan itu. Semua ada cara-cara benar dan etisnya.

Salam cinta.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG