ASAL JEPLAK PINDAH IBU KOTA NEGARA?

Sebenarnya kalau ada wacana ibukota negara mau pindah dari DKI Jakarta ke suatu tempat tertentu di Nusantara tercinta ini, termasuk yang santer diberitakan belakangan ini, ke Palangkaraya Kalimantan Tengah, tentu tidak masalah. Masalahnya apa? Itu memang boleh dan memungkinkan.

Sebuah ibukota yang dinilai sangat strategis pun dari banyak pertimbangan, masih punya peluang untuk dipindahkan atas dasar argumentasi yang kuat dan cermat. Termasuk jika 'Jakarta' mau dipindahkan ke manapun. Tidak masalah. Sama saja. Bisa jadi malah lebih vital dan strategis jika ketemu teorinya. Tetapi argumentasi ini juga berarti berlaku untuk Jakarta. Kalau di seluruh tempat boleh dan benar, maka memilih tetap di Jakarta bukanlah sebuah kekeliruan. Malah harus dianggap tepat oleh siapapun yang di Aceh, Medan, Lampung, Palangkaraya, Sulawesi Utara, Ambon, Papua, Bali, Surabaya dst.

Pendek kata, Jakarta sudah tepat!

Pindah ke Palangkaraya? Kenapa tidak? Konon Bung Karno pernah punya gagasan itu. Tetapi terlepas dari teori atau strategi pindah ibukota negara, sebenarnya penting juga posisi istana negara di tiap pulau besar yang strategis. Selama ini masyarakat kalau ditanya soal istana negara atau istana presiden, pasti jawabnya dua, di Jakarta dan di Bogor. Padahal semestinya tidak masalah kalau populer juga istana presiden di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll. Fungsinya banyak. Salahsatunya, sekadar contoh, menyambut tamu penting semisal Barack Obama atau yang lainnya memang bisa di istana presiden di pulau mana saja. Setidaknya untuk menunjukkan itu masih di Indonesia juga.

Selain itu dalam pengertian tidak mesti pindah, kita juga mafhum, Indonesia memang mesti punya '1000' titik daerah untuk memindahkan ibukota Negara jika dianggap penting, apalagi dalam keadaan  darurat. Otomatis di daerah-daerah itu sudah serba siap standar minimalnya. Sebagian daerah bisa disebut dan dipromosikan untuk mendongkrak kemajuannya, diberi fasilitas khusus yang mencolok yang mendatangkan rasa bangga, sebagian bisa tetap dirahasiakan.

Ketika seorang teman bertanya, "Benar Pak, ibukota negara mau dipindahkan?" Saya jawab sebagai orang awan, "Menurut berita ada daerah yang sedang dipersiapkan jika ibukota harus pindah dari Jakarta". Dia bertanya lagi, "Apa presiden sekarang sudah merencanakan pindah?" Saya jawab, "Tentu ada prosedurnya. Ada pertimbangan berbagai pihak yang kuat. Klimaksnya ya ada pada presiden yang sedang berkuasa. Mungkin presiden hari ini berada pada posisi, setuju jika pada saatnya mesti pindah ke suatu tempat dengan pertimbangan yang kuat, apalagi mendesak. Bukan berarti hari ini sudah memastikan bakal pindah". Dengan jawaban awam ini saya berharap teman duduk saya di warung bisa mengangguk-angguk.

"Kalau pindah, Jakarta gimana?" Saya gak terlalu ngerti arah pertanyaannya. Tapi saya jawab juga, "Ya gak gimana-gimana. Presiden kan bisa memimpin dari Bogor kalau mau. Begitupun kalau pusat pemerintahan di Kalimantan atau Sumatra atau Irian, misalnya, Jakarta masih bisa beroperasi seperti biasanya. Kantor-kantornya juga. Bahkan Jakarta bisa tetap seperti takdirnya, metropolitan atau megapolitan".

Tiba-tiba terpikirkan oleh saya, Jika presiden Jokowi sampai terpilih dua periode, apa perlu dia mencoba sedikitnya satu-dua tahun mencoba memimpin pemerintahan dengan memindahkan ibukota negara ke tempat yang dianggap tepat itu? Apa kalau pindah harus selalu sekaligus?

Wacana ini sebenarnya sebuah wacana soal keutuhan dan nilai romantis-strategis NKRI. Tanpa keputusan pindah sekalipun.

Saya jadi teringat lembar uang 5000-an yang baru. Tahun 2016. Tetap warna coklat, yang kode BI-nya sempat dihebohkan sebagai palu arit itu. Di situ ada gambar tari gambyong, ya, tentu penarinya gak wajib pakai jilbab meskipun dicetak tahun mutahir. Kebayanya di atas panggung tentu sangat eksotis, bahkan bisa berkesan seksi. Memang begitu tradisinya. Sudah memasyarakat kearifannya. Meskipun dicetak gambar sebuah tari gambyong tetapi kita mesti membacanya, tarian Indonesia. Gambar Gunung Bromo kita baca, gunung-gunung Indonesia. Pada lembar uang itu juga bergambar pula peta Indonesia dengan bertuliskan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini serba biasa kan harusnya? Pada lembar uang sebelumnya kita juga sudah sangat biasa, wellcome, memegang lembar uang bergambar pahlawan yang seorang Kyai Bersorban atau berpeci. Semua sukacita menerima. Bahkan tangan orang-orang Cina yang biasa disebut non-muslim itu.

Kesimpulannya, ini-itu Indonesia. Ini itu NKRI. Disebut NKRI harga mati, karena Allah yang memberkati.

Sekadar pengingat. Saya memang pernah bilang di acara Apresiasi Seni di radio. Tafsir dari ramalan, pulau Jawa akan tenggelam, tidak harus dalam pengertian pulaunya yang tenggelam, karena kalau tanpa bukti, Allah akan murka. Sebab begitu juga prinsip sejarah ramalan Yusuf. Tetapi kerajaan pulau Jawa (kekuasaan Tanah Jawa) beralih menjadi nasionalisme-patriotisme Indonesia. Sangat ksatria. Sebenarnya bisa dibilang, pulau Jawa berkorban menenggelamkan diri untuk NKRI, tetapi istilah 'menenggelamkan diri' konotasinya buruk sekali. Sehingga tanpa pindah ibukota ke luar Jawa sekalipun, ketepatan ramalan itu sudah terjadi, pulau Jawa bersalam pulau-pulau lain, melahirkan Indonesia. Menenggelamkan diri untuk NKRI. Negara gotong-royong.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG