CARA AWAM CINTA PRESIDEN

Akhirnya ketahuan juga. Aku bukan orang hebat. Apalagi huebat. Aku gak tahu apakah kata yang terakhir sudah dibahas tuntas di jurusan bahasa dan sastra. Bahwa telah terjadi perbedaan antara kata hebat dan huebat, ganteng dan guanteng, heboh dan hueboh, keren jadi kueren. Walah menjadi wualah. Maaf, bahkan kata gob ... menjadi guobl ...".

Apa pasal tidak hebat? Ternyata aku cuma pengagum semua presiden. Waktu Pak Harto disebut-sebut akan 'digulingkan', aku keras berfikir antara 1997-1998. Jangan begitu. Tapi reformasi damai. Bisa dalam bentuk menyudahi periodenya sebagai periode terakhir, atau setidaknya kalau lengser pun harus aman-nyaman. Karena itu aku jadi pro-Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra.

Ketika Habibie jadi presiden. Semua panggung menyebut dia 'antek' atau 'kroni' Soeharto, bukan bagian dari reformasi. Harus segera dibuat turun! Aku sedih di bawah panggung demonstrasi. Meskipun aku mengerti semangat perubahan para seniman dan demonstran di situ.

Sampai nyerempet peta politik. Ketika keliling Bandung untuk meliput Pemilu, di jalan-jalan terjadi aksi pawai bubarkan Golkar. Jangan pilih Golkar. Aku bilang dalam hati, bukan itu. Meskipun di tahun 1997, sebelum era reformasi, ketika ada seorang teman penyiar dengan angkuh berkata, "Golkar tidak akan kalah sampai kapanpun". Aku timpali, "Bisa kalah". Aku hanya menggunakan rasa yang jujur.

Waktu masih melalui pemilu tidak langsung Megawati Soekarnoputri yang partainya menang pemilu, kalah di  gedung DPR-MPR. Aku yang sedih melihat kubu Mega di TV, toh 100% menyukai pelantikan Presiden Gus Dur. Mendukung semangat kubu Amin Rais dan Yusril dalam mendukung 'Gus Dur Presiden'.

Bahkan aku menulis antologi puisi khusus di hari wafat Gus Dur karena terinspirasi oleh semangatnya membangun Indonesia.

Begitu waktu berlalu, dan Ibu Mega naik jadi presiden menggantikan Gus Dur, aku sangat senang kalau ada teman menyebut, "Ini dia, Mega datang". Waktu itu aku Kepala Studio/Programmer. Sebab ketika partainya memang pemilu dulu pun aku pernah berfikir, dia layak dilantik. Tapi kan gak mungkin vokal soal itu. Maklum ketika itu aku PAN. Meskipun suara PAN tidak menjadikan 'Amin Presiden'.

Sentuhan mencintai era Ibu Mega, mengingatkan romantisme Orde Baru. Jadi sedih sendiri. Di satu RW, paling-paling PPP-nya cuma 3 orang, PDI-nya 1 orang. Atau sebaliknya. Kalau aku jadi ketua panitia mesjid, posternya disobek, dicoplok-coplokin, entah oleh siapa. Bahkan seorang guru berkata, guru kok ijo. Ada juga yang melempar poster PPP ke pintu luar saat aku ngajar di kelas VI.  Romantisme itu menjadikan aku merasa paling PDI-P. Begitulah.

Waktu Mega bersaing di era kedua, aku yang pro-Mega tapi background-nya PAN pasti bisa tidak terlalu disukai. Nasib. Seperti penghianat, merasa untung Amin Rais kalah. Akhirnya bisa berada di kubu Mega vs SBY. Tapi sayang, SBY yang menang.

Tapi juga, untungnya ada seorang teman datang dan berkata, "Tenang, SBY itu Imam Mahdi". Aku tidak tertarik dengan kalimatnya itu. Itu soal lain. Aku hanya berfikir, dari awal aku konsisten dengan konstitusi. Mau apa lagi? Kedua, SBY punya figur kebapakan yang pantas. SBY malah mengingatkan pada sisi baik Pak Harto. SBY yang latar belakangnya TNI, secara khusus juga membuat sukacita, karena sejak SD hatiku memang militer. Aku merasa Jendral Soedirman. Umur kelas 3 SD di Curug Sewu, Kendal aku pernah ditandu dalam suatu permainan malam-malam di bawah bulan, dan diteriaki, "Hidup Pak Dirman, Merdeka!" 

Benar-benar teruji ketidak hebatanku. Malah asyik sama kenangan kanak-kanak. Mbokya naik jadi orang, kata yang sudah merasa orang. Barangkali gitu.

Sayangnya ketika SBY dilantik dengan dukungan sukacitaku, aku masih berharap pada Ibu Mega. Malah berfikir lain, Pak Amin sudah kehabisan peluang. Jadi mendua, mencintai dan mendukung presiden yang lagi kerja, tetapi hati kecil berkata, "Beri Mega waktu sekali lagi".

Lagi-lagi SBY memenangkan 5 tahun kedua. Menjadi figur yang saya cintai, tapi hati saya masih ada untuk Megawati. Untungnya waktu SBY Presiden, kala itu Bupati Purwakarta masih dari PDI-P. Lumayan menghibur.

Ketika wacananya Mega sudah tidak mungkin jadi presiden lagi, sebagai awam saya bersikap awam juga. Kecintaan pada PKS mirip ketika di era Orde Baru aku jadi penggembira PPP. Bedanya, iklimnya lebih terbuka. Dulu terasa sumpek. Maka jangan heran dari 'bawah' aku dukung capres dari PKS. Ketika kalah, aku otomatis dukung capres yang didukung kubu PKS, Prabowo. Apalagi di situ ada PAN, partai lama yang tak bisa hilang. Apalagi anakku juga sekolah di Muhammadiyah. Bahkan aku dulu dapat kehormatan jadi peserta terbaik Diklat Jurnalistik Nasional FP2M (1991) di gedung dakwah Muhammadiyah Jakarta.

Ah, sial aku, Prabowo kalah!

Lalu bagaimana dengan Presiden Joko Widodo. Jujur, selama itu aku sama sekali tidak kenal. Tapi ini yang menarik. Unik. Orang tidak dikenal kok bisa jadi. Ini pasti inspirasi. Menjelang hari-hari pelantikannya aku mulai banyak tertarik sosok ini.

Tiba-tiba teringat satu hal. Waktu aku kampanye PKS untuk cagub Fauzi Bowo ada tokoh undangan yang berorasi gak menentramkan hati, intinya, "Kita jangan pilih non muslim, 'jangan pilih kafir yang tidak seiman', haram". Ternyata sasarannya adalah cawagub Ahok, meskipun cagubnya Jokowi yang seorang muslim. Aku sedih dengan cara begitu. Dan menurutku, ini satu peristiwa dari banyak peristiwa.

Ya ya ya. Aku menyukai Jokowi karena banyak hal. Apalagi sekaligus mengingatkan juga pada era cinta-Mega.

Kalau semua itu dibolak-balik, gak perlu ngomongin soal proses berpolitikku  yang khas dan pribadi, itu gak penting. Sebagai awam itu lazim. Tetapi yang menarik adalah suatu hal. Yaitu, aku cinta sikap konstitusional di NKRI tercinta ini. Dan aku mencintai dan sangat menghormati presiden. Karena tidak akan pernah mengganggu sikap kritis selaku jurnalis, penyair dan pawang senibudaya.

Maka inisiatif Presiden Jokowi untuk berpakaian adat dan berkumpul dengan semua mantan presiden di momen HUT RI, 17 Agustus 2017 adalah hiburan jantung.  Huebat Jokowi!

Anakku pernah bertanya, "Papa dukung siapa?" Kujawab, "Dukung orang yang dulu pasangan Jokowi, Ahok. Yang duet dengan Djarot". Anakku bertanya lagi, "Berarti PDI-P ya? Karena PKS bukan Ahok". Aku jawab, "Meskipun teman-teman masih ada yang bakal menganggap papa ini PKS yang Ahok, terutama setelah baca tulisan pro-Ahok di media sosial, tapi gak apa-apa juga di era-Jokowi ini merasa PDI-P lagi seperti dulu juga PDI-P".

Alinea terakhir meskipun soal Ahok. Saya seperti ditarik oleh magnet, ke masa-masa Jokowi pamit kepada Ahok dulu untuk maju memenuhi panggilan kursi RI-1. Padahal kemenangan keduanya di DKI bukan perkara mudah. Begitupun kemenangan Jokowi menjadi presiden. Masih ada PR yang mengganjal. Seperti ketika Mega nyalon presiden dulu, tudingan haram presiden perempuan masih cukup keras.

Maka di radio dan di berbagai forum, termasuk di medsos aku menulis satu hal soal Bangga Mega, dia presiden wanita pertama Indonesia.

Ah, dasar awam yang tidak hebat. Lagaknya aja pencinta presiden. Lebih gila lagi, gak kebayang kalau saja ada yang nyeletuk, "Gak pantes berlagak PDI-P". Tapi untungnya aku masih bisa senyum.

Tulisan ini kubuat, juga dengan alasan komandan upacara HUT RI 2017  di istana negara adalah kelahiran tahun 1972 (seusia) dan 1974 (adikku). Maka aku tiba-tiba merasa tua. Setidaknya bagi mereka yang seusia adik-adik paskibraka, polisi dan tentara muda. Tentu harus semakin polos-polos saja.

Ini lebih baik. Dulu aku malah disebut tua sebelum waktunya. Tamat SPG (SLTA) langsung ngajar. Semua orang manggil Pak Guru. Kegiatannya ngasuh Remaja Mesjid dan Karang Taruna. Bikin acara tablig. Baju Pramukanya ada tempelan, Saka Kencana. Blum kawin sudah ngomongin alat kontrasepsi di situ. Karya ilmiah dan lomba pidatonya juga soal, memahami program KB. Nulis cerpen dan artikel di koran banyak nasehatnya. Di aula radio selain acara muda juga ngadain acara keroncong bersama ibu-ibu tua. Bikin Koes Fans Club dan rutin bikin pertunjukan seni tradisi, termasuk wayang. Bacaannya banyak bau filsafatnya. Ngajinya, tafsir Al-Qur'an dan makrifatullah. Ya, teman muda bilang, itu ternasuk tua sebelum waktunya. Tapi kok aman ya? Haha. Tetapi sekali waktu di acara musik jazz ada yang nyindir, "Ini panggung jazz. Intelek. Tidak seperti musik radio!". Wualah. Aku dipentung, gak intelek. Benar-benar gak hebat.

Merdeka!

Gilang Teguh Pambudi

Cannadrama.blogspot.com 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG