DANGDUT AGUSTUSAN (NASIONALSME DANGDUT)

Apa yang Anda pikirkan jika di seluruh kedutaan Indonesia di seantero dunia membuat pertunjukkan panggung dangdut yang familiar itu di dalam rangka HUT RI, 17 Agustusan?

Tentu. Tentu tidak mengherankan. Dan itu sudah sering kita dengar melalui berbagai pemberitaan, meskipun miskin ekspose yang semarak dari negara ke negara. Yang semestinya digarap untuk tahun-tahun ke depan. Saya sendiri pingin menyebut, harus disambut Presiden Jokowi sebagai upaya menampung aspirasi spirit nasionalisme dari seluruh penjuru dunia. Setidaknya berbentuk himbauan kepada seluruh kedutaan dan seluruh media. Termasuk media sosial. Tentu bagi presiden, bukan pada dangdutnya, tetapi pada inti fokusnya, Agustusannya.

Kembali ke soal dangdutan di kedutaan. Setahu saya, para TKI di berbagai negara juga sangat antusias jika diberi ruang Agustusan dengan dangdutan. Mereka akan merasa seolah-olah di Indonesia, atau setidaknya itu menjadi obat rindu kampung halaman. Pendek kata, dangdut adalah pernyataan cinta dan kata pulang. Dangdut adalah nasionalisme. Dangdut adalah rakyat Indonesia.

Sesuai banyak informasi. Panggung Agustusan di berbagai negara sering membuat formulasi, upacara bendera, semarak lagu daerah, pakaian adat atau pakaian khas tradisi Indonesia, tari-tarian Nusantara, dan yang tak ketinggalan, dangdutan. Minimal berbentuk karaokean dangdut. Di YouTube juga bisa dilihat beberapa contohnya.

Bagaimana dengan dangdut Agustusan di seantero Indonesia? Tentu. Tentu lebih semarak lagi. Tetapi ketika masih teraba sisi abu-abunya, antara sekadar hiburan rakyat dan terpeliharanya nasionalisme di situ, saya sering bilang, harus dipadukan dengan aksen kuat sebagai pengingat. Misalnya panggung itu juga sebaiknya bernuansa tradisi Indonesia. Sesuai daerah masing-masing, serta ditambahi kode kenusantaraan.  Apapun formulasinya. Termasuk dengan menyisipkan tari tradisi, selain yang pokok sebagai simbul, adanya kibaran bendera dan backdrop merah putih.

Ketika muncul seorang penyanyi Jawa Timur membawakan lagu dangdut berbahasa Indonesia. Ia tiba-tiba menjadi kebanggan Jawa Timur tetapi menjadi aset bagi nasionalisme. Dangdutnya menjadi penghubung para pencinta dangdut dari berbagai suku bangsa. Itulah kesatuan dan persatuan ala dangdut. Sehingga tidak boleh main-main dengan lirik dangdut di ranah ini. Itu sebabnya ketika saya Programmer saya perintahkan tim produksi menyeleksi seluruh lagu, termasuk dangdut. Karena ada yang tidak layak putar. Salahsatunya adalah tema 'halal dan bangga selingkuh' yang sangat rendah dan tidak edukatif itu.

Begitupun ketika muncul penyanyi dangdut keturunan atau asal Aceh, Sunda, Papua, Manado, Kalimantan, dst. Artis dan keartisannya pasti dibanggakan oleh daerahnya, tetapi lagu-lagunya jadi pemersatu Ke-Indonesiaan. Membina prinsip bhineka tunggal Ika.

Maka berterimakasihlah Agustusan kepada dangdut. Sehingga semarak dan merakyat. Menjadi magnet yang hangat. Pemersatu. Tetapi lebih utama dari itu, masyarakat dangdut mesti berterimakasih kepada arti kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Sebab tanpa kemerdekaan, jangankan menyanyikan lagu dangdut yang menunjukkan kesukacitaan bangsa Indonesia, bahkan menyanyikan sepenggal lagu Indonesia Raya pun bisa dipenjara, bahkan ditembak mati.

Oleh karena itu melalui tulisan ini saya berulang kali mengajak, marilah kita menjaga dan menyelamatkan musik dangdut tanah air. Musik rakyat. Musik Agustusan itu.

Saya juga teringat peristiwa suatu ketika. Saat itu sekitar tahun 2003-2004. Saya harus menggelar Panggung Semarak Dangdut Pasar di lima titik pasar. Saya sangat antusias. Bahkan kalaupun kelima panggung dangdut itu harus dilaksanakan pada menit yang sama, saya menyanggupinya. Sampai saya ilustrasikan kepada crew Radio. Lima orang yang saya tunjuk mesti siap memimpin acara itu di lima titik sekaligus. Juklak dan juknisnya sudah oke. Bahkan saya nyatakan, siap dengan 1000 panggung sekalipun. Rapat yang antusias. Tetapi setelah rapat bubar, saya kembali ke ruang kerja saya. Sendirian merenung lagi di situ. Mengapa dangdut? Ada apa dengan dangdut?

Lalu saya mengingat peristiwa tahun 1999/2000. Ketika melalui program radio saya ikut mengawal perubahan Kotip Cimahi menjadi kota seperti sekarang ini. Lalu di Pameran Pembangunan Pertama ketika itu, kami bikin lomba joget dan nyanyi dangdut berhari-hari sampai menuju puncak final di panggung utama. Hal itu terfikir kembali. Kenapa dangdut? Ada apa dengan dangdut?

Pun di Purwakarta. Dalam suatu Pameran Pembangunan, tiap hari saya adakan lomba dangdut. Puncaknya, final, live show dangdut, dan penggalangan dana untuk Tragedi Tsunami. Ya, fenomena dangdut lagi. Bahkan dangdut untuk bencana.

Bahkan ketika di banyak Radio acara puisi biasanya cuma diselingi musik instrumental atau musik 'pop', sejak awal tahun 90-an saya membawakan acara puisi diselingi lagu-lagu dangdut. Enak juga. Saya merasa sedang ngomong dengan orang-orang yang mesti banyak tahu. Tidak seperti layaknya, cuma sebentuk tukar fikiran antar pencinta sastra. Sebab dangdut lebih merakyat, bahkan menembus ruang-ruang 'terendah' di masyarakat. Saya bersyukur.

Maka menurut saya, pawang senibudaya indonesia, yang juga sebagai Ketua Yayasan Seni Cannadrama, dangdut mesti tetap lestari sebagai bagian dari Politik Kebudayaan atau Politik Senibudaya Indonesia. Pembiaran proses kreatifnya pun tetap harus dalam kerangka itu. Pun pencegahannya atas sesuatunya.

Memalukan kalau dangdut cuma dimain-mainkan di panggung kampanye partai. Untuk kamuflase. Menipu hati rakyat. Pragmatis. Bukanembamgkit kesadaran kerakyatan dan nasionalisme.

Memalukan kalau banyak event pemerintah, dari berbagai pintu dinas, selalu dibumbui semarak dangdut, tetapi hanya untuk membujuk, agar masyarakat bisa bergoyang dan bernyanyi sambil tetap saja menangis, menjadi tidak berani kritis.

Meskipun itu menuju pada titik kesimpulan. Bagi Indonesia, dangdut benar-benar gila.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG