HARPUIS HARKEM, MERDEKA!

Akronim yang terdengar gak enak tapi seru adalah HARPUIS dan HARKEM / HARKEMER. Maksudnya hari puisi dan hari kemerdekaan. Disebut jatuh pada bulan yang berhimpitan Juli dan Agustus. Meskipun saya berada di tengah-tengah ketika ada tarik menarik Hari Puisi Nasional, ke arah Chairil atau Rendra. Atau siapa? Atau dengan peristiwa apa, yang mana? Saya cuma setuju satu hal prinsip, sebuah Hari Puisi Nasional. Garisnya sama dengan Hari Puisi Dunia meskipun tidak harus bersamaan.  

Tentu kita jarang menemukan Akronim itu di spanduk. Yang lazim ada adalah HUT RI. Tapi kalau Anda maksain juga bikin, tentu siapa yang ngamuk? Nyaris gak ada, karena gak makan prinsip.

Justru lucunya, kedua akronim ini sama-sama gak enak. Gak tahu ya. Apa karena nasib penyair dan pahlawan kemerdekaan sama-sama gak enak? Selain memberi arti kemerdekaan sebuah negara, penyair berjuang untuk kemerdekaan hidup. Pahlawan kemerdekaan selain mengemban esensi juang yang sama, juga berjuang untuk menghabisi sejarah penjajahan di tanah Allah. Tanah rakyat berdaulat.

Merdeka!

Tapi kalau ada pertanyaan, apa hubungan integral antara hari puisi dan hari kemerdekaan? Ini yang utama dan istimewa. Kita pasti akan masuk ke dalan rimba telaah, puisi dan merdeka. Antara langit subuh dan laut senja. Sama-sama menakjubkan. Fajar dan kemenangan. Orang agama bilang, selamat dunia akhirat.

Merdeka!

Bagi penyair, puisi adalah proklamasi bertubi-tubi. Dan proklamasi yang dibacakan Bung Karno itu adalah bagian dari hakekat kerja puisi.

Bahkan siapa menolak, ingkar sunah namanya. Ini bahasa humanis-universal.  Sebab dalam 'bismillah', menyebut Nama Allah, sebuah negaranya telah didirikan dan dijanjikan kesejahteraan. Indonesia. NKRI itu.

Dalam semangat hijrah. Kemerdekaan membawa manusia, bangsa, suatu negara ke wilayah adil sejahtera dalam lindungan Allah. Dalam semangat munggah haji, ketinggian yang diraih itu keselamatan yang menyelamatkan. Bahu-membahu. Gotong-royong. Bhineka tunggal ika. Dalam bahasa fitrah, sejahtera lahir batin berprikemanusiaan yang beradab. Menurut teori dan prinsip puasa, serta propaganda Hari Kebangkitan Nasional, BANGKIT ITU ANTI. Anti segala dosa dan bahaya.

Dalam bahasa Nuzulul Qur'an. Setiap firman Allah bersemi di bumi lestari, selalu seperti harga turunnya ke bumi. Menjiwai ideologi, undang-undang dan aturan harian kita. Dalam bahasa maulid, lahir itu sholawat. Dengan MI'RAJ, kita mengakui eksistensi kerja Allah yang tidak pernah tidur, 24 jam sholat sehari semalam. Bahkan tidak tercuri waktu haram sholat, semisal ketika matahari pening di ubun-ubun.

Akhirnya kita punya budaya Nusantara yang khas. Halal bihalal. Sepanjang tahun. 12 bulan penuh hakekatnya. Sebagai halal yang menghalalkan halal. Meski pilihan peristiwa halalnya bisa beragam. Pendeknya, Indonesia bukan bangsa dan negara haram.

Tetapi bak negara Tanah Haram. Karena pantangannya, haram berperang melawan yang tidak layak diperangi. Dilarang berburu binatang. Malah mengakui ketelanjangan diri di padang luas kuasa Allah, sebagai hamba yang tak berdaya upaya di hadapan Yang Maha Segala-Gala.

Dalam prinsip rahmatan lil alamin / kasih untuk semesta (penyair yang muslim bisa menyebutnya sebagai tafsir bebas dari Islam), NKRI itu nubuatnya hadir untuk keselamatan dunia. Artinya, bangsa ini bangsa yang selamat di muka bumi. Artinya, ideologi Pancasila yang cikalnya sari kesadaran manusia (Nusantara) berabad-abad itu tidak menipu dunia.

Lalu penyair mau apa dengan hari puisi dan hari kemerdekaan itu?

Merdeka!

....

sekali berarti sudah itu mati 

(Chairil Anwar).

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG