LAGU PATUNG LAGI

LAGU PATUNG LAGI

Membuat patung bukan perkara mudah. Butuh keahlian khusus. Punya nilai seni tinggi. Bahkan berdampak pada sukacita sosial. Maka patung jangan dibawa-bawa untuk melukai rasa kemanusiaan.

Orang baik (termasuk para tokoh utama yang bukan pematung) tentu akan membuat patung yang bermanfaat. Minimal sebagai hiasan taman yang menyenangkan. Orang atau kepala daerah yang  stres akan membuat patung yang bermasalah. Pihak-pihak yang lebih stres lagi, yang gak bisa ngebedain mana patung bermasalah dan mana patung yang tidak bermasalah.

Pematung yang baik adalah yang sudah mengikhlaskan karyanya dibeli oleh pemesan atau pelanggan. Dia gak akan marah-marah kalau di Taman Saya suatu saat patungnya saya ganti dengan karya pematung yang lain, atau dihilangkan, dirubah jadi taman tanpa patung. Apalagi yang pesan sekelas presiden. Meskipun patungnya sudah tidak ada di lokasi pemesanan/pemasangan, yang penting kalimatnya: "Patung saya pernah dipesan presiden. Alhamdulillah. Duitnya sudah kepake".

Tapi bodoh juga kalau ada Bupati atau Raja yang main hilangkan patung. Selain itu sudah buang anggaran yang tidak sedikit, jangan diboros-boros, masyarakatpun sudah sukacita menerima. Meskipun belum tentu semua. Pohon beringin atau pohon kiara aja ada yang gak suka. Serem katanya. Tapi hak pimpinan dan jajarannya, menganggap suatu patung akan diganti atau dihilangkan. Asal tidak melanggar peraturan daerah. Sebab menghilangkan suatu patung biasa (bukan togut) dari tempat berdirinya belum tentu karena anti seni. Atau tidak ngerti seni.

Bagaimana kalau ada sekelompok seniman menolak perobohan patung secara resmi oleh Pemda? Bisa jadi karena mereka mencintai dan menghargai patung itu? Untuk itu harus ada jalan keluar yang jitu di antara dua pilihan. Ini logika. Antara halal menghilangkan dan halal mempertahankan.

Tapi kalau yang merobohkan adalah pihak yang tidak bertanggungjawab. Dengan sudut pandang sepihak. Itu bisa langsung dicurigai segaris dengan perbuatan merusak fasilitas umum. Melanggar aturan.

Kalau ada yang menduga-duga suatu patung terlalu seksi. Parameternya apa? Minimal untuk dua hal. Pertama parameter seksi yang melanggar etik-estetik dalam seni. Kedua, parameter seksi yang melanggar kenyamanan sosial (biasanya terkait keyakinan beragama)? Untuk hal pertama katanya terlalu longgar. Meskipun terpilah ada tiga ruang. Ruang kreatif khusus (pribadi), ruang publik terbatas, dan ruang umum. Sedangkan untuk hal kedua, ada multi tafsir soal seksi yang halal dan haram. Nah.

Tuduhan togut? Patung yang disembah? Ada dua sudut pandang. Pertama, menyebut semua patung-patung adalah togut, patung wali sekalipun. Atau lebih lentur lagi, cuma patung yang bernilai mitos (apalagi masih dianggap berasal dari agama tertentu) yang dianggap togut. Sedangkan patung pahlawan dan harimau bukan togut. Kedua, patung yang dibuat untuk sekadar menguras anggaran, sebagai benda mati yang tak berguna semata, padahal rakyat masih banyak yang miskin. Bahkan sampai ada yang mati kelaparan. Ini disebut-sebut melanggar hak perut Allah.

Terkait hal pertama, bagaimana mungkin seluruh patung dianggap togut. Di-Allah-kan. Yang disembah-sembah itu. Juga tidak semua mitos itu salah. Kadang rekaan mitos lahir untuk kesukacitaan manusia. Pengantar sukses berfikir dan berkeyakinan. Mitologi Islam pun ada. Bahkan ketika wayang dikaitkan dengan agama lain, identifikasi wayang wali justru merujuk pada apresiasi senibudaya Islam. Ini harus jelas. Biar terang.

Terkait hal kedua, menjaga perut miskin memang kuasa Allah. Tetapi demo mengkritisi pembuatan patung, yang katanya cuma benda mati yang tidak mengenyangkan itu, tidak berarti harus atau boleh menghalalkan segala cara. Malah kontra-agama. Apalagi di daerah wisata tertentu patung yang bukan togut bisa jadi daya tarik wisata, mendatangkan keuntungan ekonomi untuk Pemda dan masyarakat. Apalagi patung-patung yang sudah punya kenangan panjang. Yang sesekali saja butuh dipugar.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG