PANGGUNG AGUSTUSAN, PANGGUNG MERDEKA

Ini impian saya. Saya rasa impian semua. Karena gak berguna mimpi sendiri. Setelah panggung diisi lagu-lagu pemanggil. Atau biasanya diisi hiburan apa saja bersama MC sebelum acara utama. Lalu dibukalah acara utama itu sesuai rundown acara dengan satu dua tari tradisional.

Untuk panggung Agustusan di Jawa Barat, saya kasih saran, bukalah dengan jaipong atau tari tradisional Sunda lain yang paling representatif. Mewakili rasa dan pesan progresifitas hidup, membangun masa depan. Bagian dari transformasi nilai, spirit mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Sekali lagi, jangan disimpan di depan sekedar 'telah tunai' apalagi paling belakang ketika penonton muai habis. Tetaplah paling depan, tetapi setelah jam panggung utama dikondisikan. Sehingga sudah memiliki penonton yang banyak dan fokus.

Selanjutnya, sisipan tari tradisional di panggung Agustusan juga bisa disimpan di tengah-tengah acara. Tetapi hindari kesan tari tradisi itu hanya milik 'kamonesan' (kelucu-luguan) kanak-kanak. Itu malah menjatuhkan balon lingkaran kaca. Lalu hilanglah tempat berdandan. Maka sebaiknya  biarkan saja yang menari itu anak-anak, remaja dan dewasa. Kecuali khusus di panggung kanak-kanak.

Ini penting. Setidaknya 30 tahun saya punya pengalaman MC dan Ketua Panitia di berbagai panggung. Jauh sebelum jadi Orang Radio Indonesia. Tentu, dimulai dari panggung Agustusan dan acara Remaja Mesjid.

Kita ini mau menghidupkan daerah. Kampung, kita buat lestari dan punya daya tarik wisata dll. Tapi jaipongan dan tari tradisinya saja sulit ditemui di panggung Agustusan. Mau dibawa ke mana imaji dan 'bahagia hati' kita? Padahal sering dimaskotkan tapi kosong. Padahal, minimal bisa dipahami sebagai permainan atau 'politik' panggung. Diada-adakan untuk menunjukkan ada.

Atau kita sebut saja hampir semua kepala daerah dan dinas pariwisata daerah gagal? Bahkan media masa semisal Radio dan tv lokal pun gagal mengapresiasi seni tradisi? Pelajaran senibudaya di sekolah cuma diam di atas kertas, tidak punya pengaruh menggerakkan komunitas. Sementara posisi eksotisitas dangdut dll pun di ranah pariwisata masih abu-abu. Itulah. Semua terjebak pada seremoni, asalkan satu-dua kali pernah menyelenggarakan dalam setahun berarti sudah menradisikan. Padahal sukses pentradisian itu melalui peristiwa paham dan penerimaan pertunjukan. Bukan, pernah ada satu-dua pertunjukan tapi tidak dimengerti. Tidak diterima hati.

Tari-tarian di situ adalah kalimat bicara. Pembiasaan kesepahaman. Yang kemudian akan mencair dan mengurai ke ruang penerimaan segala panggung. Bisa dimengerti? Yang disebut ada komunikasi sosial. Mengertos?

Oke, dangdutan itu juga merakyat. Memang. Namanya juga musik rakyat. Tetapi momen acaranya juga momen acara rakyat yamg plural. Bahkan tari tradisi asal Minang atau Irian saja boleh tampil di panggung Agustusan Bandung, masa jaipongan sendiri gak boleh? Bahkan untuk tari tradisi sendiri parameternya bukan lagi soal boleh-tidak boleh, tetapi harus sudah memasuki, semacam syarat pertunjukkan.

Boleh tidak boleh itu kan ukuran dasar, standar, melanggar atau tidak. Itu saja.

Bahkan kalau saya Gubernur atau Bupati di Jawa Barat, salahsatu pesan pidato saya, selalu sisipkan tari tradisi di multi event seni. Kecuali  acara-acara yang mustahil untuk itu.

Itu sebabnya motto yang saya sukai, hirup teh ngagambar jeung ngigel. Hidup ini menggambar dan menari. Artinya menggurat dan memainkan. Bersaksi dengan perbuatan. Pendeknya, menulis sejarah.

Ketika masuk finalis nulis di Lapangan Banteng Jakarta, tulisan saya berjudul, Tari Pergaulan Nusantara*). Saya pertegas, ada dua tari pergaulan itu. Pertama, memang suatu tari yang dinamai tari pergaulan. Kedua, tari tradisi apa saja yang dipertunjukkan dan difungsikan sebagai tari pergaulan. Begitupun tari pesta panen. Ada yang bersifat khusus, turun-temurun, tetapi bisa juga berupa tari tradisi apa saja, asalkan dipanggung atau di ruang hajat pesta panen.

Dalam sebuah puisi pendek, Traditional Dance, saya menulis,

bahkan daun gugur menari angin

Puisi ini penegas, ketika seorang mujahid mati, siapapun, dalam profesi apapun, ia menari bersama waktu, bersama zikir abadi. Bukan sedang menangis dipenjara sepi, lalu pergi ke tempat yang tak berarti. Apalagi ke tempat siksa.

Juga dalam puisi pendek lain saya menulis,

goyang
gitek
geol dan
gilang

Gilang adalah Apresiasi Seni. Gilang adalah batu rimba. Batu duduk raja wayang. Batu hitam.

Selain itu, saya sampai juga berfikir qosidahan. Seni ini tidak pernah kaku. Yang kaku itu orang-orangnya yang tidak berjiwa seni. Aktivis qosidah yang gak makan zaman. Termasuk dalam hal pilihan lagu. Banyak lagu pop, dangdut, daerah, nasyid, pop reliji dan dangdut religi, dll yang bisa diqosidahkan. Bukankah ini artinya air qosidah itu masih bisa mengalir bersama waktu?

Sekarang kalau di ruang-ruang tertentu, setidaknya qosidahan masih bagian dari Agustusan, saya sebagai PAWANG PENJAGA SENIBUDAYA INDONESIA mendukung dan merestui itu dengan sukacita.

Bahkan ketika tahun 1999 saya mendirikan Yayasan Seni Cannadrama, niatnya sederhana. Bisa diterka. Semacam orasi budaya jadinya. Motto-nya, menuju masyarakat seni Indonesia apresiatif.

Saya menulis puisi pendek tentang Qosidah,

QOSIDAHAN

boleh goyang
tapi malaikat
seksi
berisi
kuterima sebagai
hadiah pesantren

Kita juga akan mengenang kembali semua permainan rakyat Nusantara selama Agustus ini. Semoga semarak dan semangat. Manfaatkan juga momen senam masal, pawai kemerdekaan, rally motor, malam puisi, arak-arakan teater, dll untuk gairah pembangunan yang sama. Merdeka!

Kemayoran, 11082017

*) Dalam Tulisan Di Lapangan Banteng. Memasuki semi final tulisan saya dengan tema Indonesia berjudul, Tari Pergaulan Nusantara. Tetapi di final dengan tema Jakarta, pemenangnya tulisan saya berjudul, AHOK.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG