PENYAIR TIBA-TIBA

Kalau hari ini saya bilang, sudah cape dan malas jadi penyair. Pasti teman sebangku saya waktu sekolah, yang sekarang Wakil Kepala Sekolah SMA, Chaisar Baskara, pasti bilang, "Itu sombong. Menolak diri sendiri. Menolak kuasa Allah".

Teman lain yang juga Kepala Sekolah, Yusa Sumarna pasti menimpali, "Sahabat yang baik itu yang tidak pelit bertobat. Kembalilah ke jalan lurusmu yang khas, Penyair".

Lalu seorang penyair Bandung yang pernah berduet tahunan di acara radio, Apresiasi Sastra, Ahda Imran, pasti akan mengulang tulisannya di halaman dalam bukunya yang dihadiahkan kepada saya dulu, Dunia Perkawinan, "Buku ini untuk Gilang, penyair potensial".

Nyamuk di depan mikrofon terkekeh-kekeh.

Pemerintah pusat melalui jaringan pusatnya sudah lama sadar, tidak mungkin mengundang seseorang yang jelas-jelas penyair, 100% penyair, tetapi tidak dikenal.

Lalu saya pasti tidak akan pernah mengucapkan, sudah cape dan malas jadi penyair.

Bahwa jadi penyair itu cape, sesungguhnya bukan dalam persepsi umum yang menunjukkan rasa nelangsa. Maksud yang tepat adalah, jadi penyair itu bekerja untuk panggilan jiwa dengan seluruh rasa dan logika. Tanpa henti. Tanpa menyerah. Seumur hidup. Sehingga penyair tidak lembek. Masabodoh mukanya keras, giginya sebagian potong dan sebagian ompong. Sisa perang. Buktinya masih percaya diri pakai celana jeans dan jas. Penyair tidak perlu jadi ketupat lembek di hari ke tujuh lebaran. Sebab ia selalu mau Idul Fitri pertama dan kedua. Yang suci. Juga takbir pertama Idul Adha. Yang agung.

Kalaupun rambutnya ada yang gondrong, selain karena alasan gak ada waktu buat cukur, juga karena puisinya diyakini lebih hidup kalau dibaca oleh gemetar rambutnya.

Maka ini harus dipelajari oleh guru dan polisi. Dunia yang gila. Kata-kata paling makna.

Lalu siapa yang mau menjadi penyair tiba-tiba? Sedangkan saya tidak suka berambut gondrong.

Anak saya yang SMP, yang bernama Findra Adirama (Find=mencari/menemui, Indra=Anak laki-laki, Adi=Besar, Rama=Ayah), di depan buku Pendidikan Kewarganegaraan malam ini bertanya, "Ideologi itu dasar ya, Pa?"

Saya jawab, "Hidup ini keyakinan".

Kalau hidup artinya keselamatan, maka arti hidup seperti itu keyakinan. Selamat dunia. Selamat akhirat.

Saya tambahi dengan penjelasan singkat, "Pancasila itu ideologi, dasar negara yang tidak bertentangan dengan Islam".

Lalu tiba-tiba saya mengingat kembali puisi saya tadi siang:

KITA MENULIS APA

Mohammad Toha ditulis anakku
Depan rumah makan Sunda
Sebagai perlawanan yang siap meledak
Dengan bom di tangan

Menjadi kesejahteraan

Aku menulis apa dalam kesaksian yang tua?

Pintu-pintu kesejahteraan itu ditutup kembali
Lalu di ruang dalam
Kesejahteraan adalah tempat tidur
Bagi segelintir keras kepala dan hati api
Yang menimang serba  keuntungan sendiri
Dan sebagian pesta korupsi

Muntah daging ditulis anakku
Karena tragedi anak negri yang tidak bisa menelan tubuhnya sendiri 
Dengan ziarah kesalehan
Karena selalu berdarah kecelakaan sosial yang parah 
Tetapi engkau malah tokoh pribumi yang menjual narkoba kepada anak kandung sendiri

Aku harus menulis apa
Melawan bangsa sendiri?

Kemayoran, 01082017

MERDEKA!

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG