DOGER, KETUK TILU DAN LONGSER

Teman teater saya Agus Injuk menulis di akun facebooknya:

Ketika Doger dan ketuk tilu mulai tenggelam digantikan oleh longser. Kelebihan longser dari Doger dan ketuk tilu adalah adanya bodor/lawakan.

Saya cuma tergelitik untuk ngedumel juga. Namanya juga ngedumel:

Sebenarnya doger dan ketuk tilu tidak perlu disebut hilang, ketika proses penradisian juga berarti perkembangan, termasuk penyempalan kreatif di dalamnya. Persoalannya justru Tatar Sunda, ini otokritik pada kampung saya sendiri, sudah lama meninggalkan tari yang dianggap agak erotis dengan alasan paham agama dan alasan permisi malu jojogedan. Sehingga daya malu menari dan malu menonton tari, yang pada waktu yang sama masih di-ikonkan dalam kontek senibudaya dan pariwisata, malah memunculkan aksi dan lomba tari yang sekadar unjuk kamonesan (keluculuguan) anak-anak. Yang dalam bahasa pariwisata, moal laku. Tidak mengisyaratkan apa-apa, kecuali latihan berani tampil di depan publik.

Kalo tidak segera ditolong, ini sudah mendesak, tari tradisi Jawa Barat saya pastikan hancur. Kebanggaan pariwisata hanya akan mengandalkan obyek wisata alam, kuliner, dan belanja pakaian. Tanpa ucapan selamat  datang berupa eksotika goyang, gitek, geol dan gilang itu. Ini serius. Bukan paradigma ecek-ecek. Kecuali di mata intelektual dan budayawan pecundang. Pengarah yang dungu dan super bodoh. Konsep wisata religi pun gagap. Tidak terbuka.

Adapun longser, itu menarik sebagai aksi panggung. Selayaknya teater pada umumnya, sebagai media penyampai pesan. Ruang demonstrasi yang aman. Tidak harus komersil. Mempersoalkan sisi  komersil butuh persyaratan khusus. Mendasar. Seperti sholat butuh wudu.

Kita tidak boleh bohong dalam bersenibudaya. Itu menyakitkan. Lautan airmata. Kalau suka tampil karena merasa wajib, itu cukup. Itu jihad budaya. Komersil itu soal lain. Tapi kalau komersialisasi bisa digarap sekaligus, kenapa tidak?  Yang jelas jangan bohong secara konsep. Itu pecundang juga. Saya sendiri pernah bikin pentas teater hanya untuk tujuan, ingin menangis bersama. Itu tujuan puncaknya. Selesai! Uang dapur saya dapat dari kerja rutin. Bukan dari tangisan itu.

Tarian selamat datang yang menyertai wisata alam, wisata kuliner, wisata belanja pakaian, bahkan wisata religi, tidak harus diartikan pertunjukan tarian di gerbang Tangkuban Parahu, di tengah pasar kuliner, di depan pusat pertokoan dan di depan makam keramat, tetapi ikon tarian itu masih orisinil dan faktual menggaung secara imajiner menjadi panggilan yang eksotik untuk datang. Tapi tariannya sendiri masih hidup dan banyak manggungnya. Komersil atau sosial.

Terlepas dari pro-kontranya, sebagai peristiwa sosial sektoral, terutama berkaitan dengan teknis pertunjukannya misalnya, tari Hawaian sudah menjadi citra Hawai, meskipun ketika kita ke sana kita malah wisata ke tempat yang tidak ada tariannya. Tapi kita masih bisa puas. Karena Hawaian sudah menjadi ikon. Pohon nyiur dan perahu pun sudah tarian itu. Begitupun ketika kita wisata ke negri Tari Perut, negri Salsa, dlsb.

Dalam obrolan facebook itu senior tari, Mas Nanu Muda menulis:

Lepat, ... dina ibing Ketuk Tilu aya ibing bodor Gondang Solor, Langlayangan.... Mangga ameng ka Karawang... Jreknong.

Agus Injuk mengomentari komentar saya itu: Tenggelam bukan berarti hilang...kelahiran longser didasari  dua kesenian ini....pada saat itu....

Sayapun berkomentar ngedumel lagi: Bagus. Artinya LONGSER malah menghidupkan ikon ketuk tilu versi lain. Ntar aku perlu bikin analisa singkat yang bersifat khusus. Memang harus begitu. Berarti teater bisa menyelamatkan ikon tari tradisi itu. Terakhir saya juga melihat postingan Hermana HMT yang memgekpose foto tarian dalam longser.

Tapi tetap saya dalam keyakinan amatan saya, insya Allah ilmiah, tari tradisi Jawa Barat sangat lambat bergerak, setelah melewati era booming Jaipong tahun 90-an, karena gempuran cara pandang yang menjatuhkannya. Bahkan kalaupun kelak naik lagi, itu karena orang yang serupa saya, tukang marah dan mengingatkan.

Dari dulu pun tiap kali saya bikin pentas kabaret, selalu ada jaipongnya.

Gilang Teguh Pambudi 

Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG