GURU-GURUAN

Kadang kita berfikir, pendidikan karakter tanggungjawab siapa? Bahkan begitulah pemikiranku ketika tahun 1994 mulai membina komunitas seni di Aula Radio Lita FM Bandung. Yang kemudian melintas berbagai Radio kusebut, Komunitas Aula. Komunitas sosial (seni) budaya.

Sebenarnya gagasan Komunitas Aula, multi seni, meskipun dalam penangananku, sastra, teater, gambar, siaran radio dan jurnalistik lebih menonjol, sudah dimulai dari Kota Sukabumi. Radio Menara FM. Malam, sekali seminggu siaran Apresiasi Puisi. Kopdarnya bersama PACINTRA, para pencinta sastra.

Sebagai pendukung pentas musikalisasi puisi, koordinator Koes Fans Club, penyelenggara berbagai aksi dan lomba nyanyi, dan penyiar acara multi-musik tentu aku gak bisa lepas dari musik.

Kalau dalam kelekatan dengan tari dan gambar, filosofi hidupku adalah, hidup ini menggambar dan menari. Itu sebabnya beberapa kali jadi juri tari dari sisi entertain (daya tarik pertunjukan panggung) dan artistik.

Sedangkan untuk teater sekolah, teater remaja mesjid dan karang taruna, jauh lebih awal lagi aku selami. 

Pertanyaan soal tanggungjawab pendidikan karakter itu menyadarkan kita bahwa di setiap gang, ujung kampung, belokan jalan, pinggir kali, dll kita bisa menemukan orang-orang yang berpengaruh secara intelektual dan kedewasaan sosial di situ. Termasuk melalui medium senibudaya.

Jenis kegiatan sosialnya beragam. Bisa melalui organisasi remaja dan kepemudaan, organisasi masyarakat, dan organisasi keagamaan yang sudah ada, atau membentuk organisasi dan komunitas-komunitas baru. Di dalam itu tumbuh juga beragam komunitas seni, olahraga dan berbagai komunitas hobi. Di situ bisa ada ketokohan orang-orang tertentu yang bisa mendewasakan lingkungan atau anggotanya.

Ya. Meskipun kegelisahan juga ada. Sekelompok pemuda yang mengaku sebagai kelompok sosial juga kadang muncul di situ dengan mabuk-mabukan dan tindak maksiatnya. Gank motor yang meresahkan juga.

Tapi kenyataan di tengah masyarakat yang serba positif dan menginspirasi, tidak bisa ditolak atau dikecilkan sebagai para pihak yang tidak turut menjadi pancang pembangunan karakter bangsa.

Butuh kearifan berbagai pihak, tokoh-tokoh pendidikan, tokoh-tokoh agama, aktivis sosial, dan pemerintah untuk mengakuinya. Tentu bukan sekadar mengakui. Karena itu selalu jadi santapan pragmatisme politik. Melainkan pengakuan atas bukti-bukti.

Memang sesungguhnya jalur pendidikan formal yang berjenjang itu sangat besar perannya menjadi sentrum pembentukan karakter anak bangsa. Memang begitu. Mesti begitu.

Tapi arogansi dunia pendidikan formal ini juga kadang berbenturan dengan kondisi karakter sosial anak didik dan out put-nya yang parah. Setidaknya itu selalu jadi otokritik yang kuat. Entah itu segera dilanjutkan dengan kebijakan yang signifikan atau terus terlupakan.

Idealnya lingkungan  pendidikan formal, dunia dakwah atau sosial-keagamaan, komunitas-komunitas sosial, dan lembaga-lembaga pemerintah, secara bersama-sama bergotong-royong membangun karakter manusia. Dari usia dini hingga tumbuh menjadi tokoh masyarkat.

Tapi. Alih-alih diakui, kadang para tokoh yang mempertaruhkan  intelektualitasnya, bahkan materinya dengan berbagai macam cara sejak usia remaja hingga beristri-beranak, bahkan bercucu itu, ujung-ujungnya cuma disebut 'guru-guruan'. Bukan guru sebenarnya. Tanpa legitimasi apapun. Bahkan tanpa sebutan pahlawan tanpa tanda jasa.

Kadang di depan institusi pendidikan dan lain-lain disindir sebagai, preman. Maksudnya manusia aktif kreatif dari dunia liar.

Kadang bisa menitikkan air mata, ketika di lapangan pendidikan formal, satu anak asuhnya di komunitas jadi juara. Mungkin terfikir, "Diasuh 'preman' kok lulus dapat piala". Atau ketika Teaternya pentas di suatu gedung sebelum buka puasa bersama di bulan Romadon, "Asuhan 'preman' ini sedang dakwah apa sih?"

Sebuah komunitas sastra tidak harus melahirkan sastrawan meskipun pembinanya seorang sastrawan. Komunitas ini bisa merasa cukup mengantarkan anggotanya memahami manfaat sastra. Mau membaca dan membeli buku sastra. Bangga dan bertanggungjawab ketika naik panggung baca puisi. Komunitas teater tidak harus merunduk gagal di depan sinetron dan film. Sebab gengsi anggotanya ada pada misi pertunjukan yang sudah tunai. Jelas bumi langit. Bukan palu dadu. Komunitas tari tidak mutlak wajib melahirkan penari profesional, meskipun sering ada yang jadi. Tetapi lebih sederhana dari itu, mendatangkan rasa penerimaan atas tari sebagai aset daerah. Aset seni dan wisata yang tak ubahnya menjadi lambang ucapan selamat datang. Menjadi bahasa sosial yang melahirkan jiwa terbuka. Bahkan Remaja Mesjid tidak identik dengan lembaga pencetak pendakwah sejak remaja. Meskipun ada yang fasih baca Al-Qur'an dan hatam berkali-kali. Lebih tepat sebagai pembentuk pribadi muslim yang bertakwa. Sanggar gambar memang minimal memberi pengalaman motorik dasar-dasar menggambar, selebihnya dari itu memahami posisi seni gambar di tengah masyarakat. Tidak terjebak fanatisme sempit di depan kertas dan kanvas. 

Tetapi ada juga komunitas pelukis yang seluruh anggotanya pelukis profesional. Kegiatan komunitas itu tak ubahnya sebagai forum silaturahmi dan komunikasi. Ada komunitas tanaman hias, isinya ternyata para penjual tanaman hias. Komunitas penyair tertentu misinya aktif membuat berbagai kegiatan para penyair. 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG