KAMPUNG BUDAYA KEMAYORAN

Ibu saya memang dari tahun 70-an sudah jadi warga DKI Jakarta. Sebagai pendatang dari Jogja, ibu terpanggil oleh dunia Majlis Taklim untuk sibuk di ibu kota. Tinggal di Kemayoran bersama suaminya, bapak tiri saya, yang seorang Ahli Sumur. Dia tidak terkena hukum, "Siapa suruh datang ke Jakarta?" Kenapa? Karena justru ibu merasa dipanggil Jakarta. Jawabannya ada pada ibu-ibu aktivis Majlis Taklim. Panggilan ini mungkin proses alami sebuah ibu kota yang multi kultur, multi asal. Jadi status kebudayaan ibu saya, asli Jakarta asal Jogja.

Tapi tentu bukan karena hal itu saya ingin menurunkan tulisan pendek ini tentang Kampung Budaya Kemayoran Jakarta.

Sewaktu saya tinggal di Kota Sukabumi, saya sudah biasa bolak-balik ke Jakarta. Rasa kampung Jakarta tentu membumi di hati saya ketika itu. Sebab bukan cuma ke Jakarta untuk suatu seremoni atau belanja saja. Tetapi mengunjungi ibu dan menikmati kehidupan di sekelilingnya.

Ketika mulai  tahun 1994 tinggal dan beranak istri di Bandung, tidak cuma soal bolak balik Jakarta. Saya punya program acara rutin di radio, Legenda Koes dan Apresiasi Senibudaya. Di kedua acara ini satu hal prinsip yang sering dibahas atau minimal 'diceletukkan' sebagai propaganda on air adalah lagu KEMBALI KE JAKARTA (Koes Plus). Lagu ini mengisyaratkan spirit nasionalisme untuk Jakarta oriented. Di pelosok manapun tinggalnya ada rasa Jakarta, rasa ibu kota, atau bersentrum pada supremasi Jakarta. Sentrum Ke Indonesiaan. Merasa tinggal di samping istana presiden. Kisah nyata on air ini juga trus berlanjut ketika saya memimpin Radio dan siaran di Purwakarta.

Justru pada bagian inilah yang menjadi besar menurut saya. Besar untuk Jakarta, besar untuk Indonesia. Besar untuk siapapun yang tentram nyaman di mana saja. Di seluruh penjuru tanah air. Sabang-Merauke.

Bahkan seperti terpaksa mengambil momen. Ketika di sebuah Pesta Buku Lapangan Banteng ada lomba menulis untuk peserta umum (mahasiswa, masyarakat umum dan bahkan ada siswa SMA) saya nyemplung dengan mengangkat tema AHOK (Aku Hapuskan Orang-Orang Korupsi). Sebab yang selalu terpikirkan, jika Jakarta bebas korupsi, maka sebagai titik penglihatan Nusantara ia akan punya pengaruh. Tentu ini cara menularkan berfikir yang strategis dan sederhana. Apalagi banyak pusat pemberitaan berkantor di Jakarta. Yang akan ditangkap informasinya oleh lembaga informasi di seluruh daerah.

Pendeknya Jakarta adalah kita. Yang di Jakarta. Yang di seluruh Indonesia. Ini paradigma yang nyaman dan cerdas karena tidak terselip paksaan untuk tinggal dan hanya bangga berdomisili di Jakarta. Tidak demikian. Ini juga konsep universal yang akan dibawa-bawa ketika kita mulai bicara kemungkinan kota lain di Indonesia ini diangkat menjadi ibukota negara.

------

Kemayoran adalah satu titik dari banyak kebanggaan di Jakarta. Di antara semuanya tentu saling mengangkat citra Jakarta. Berbagai destinasi pariwisata, kampung kenangan Jakarta, dan kantor-kantor penting tersebar di seluruh kota Jakarta, termasuk sebagian di Kemayoran. Sebuah kecamatan yang sangat populer di Indonesia tentu saja. Apalagi bagi para penggila Sepakbola yang biasa menyebut klub Persija dengan julukan, Macan Kemayoran. Atau bagi pencinta lagu Indonesia yang mengenal istilah, Keroncong Kemayoran. Ada yang mengenang, Bandar Udara Kemayoran. Ada yang mencatat alamat, Pekan Raya Jakarta, PRJ Kemayoran. Dan satu lagi, ketika mengenang yang belum terlalu lama berpulang, Si legenda, Si tukang ngarak ondel-ondel, Benyamin anak Kemayoran.

Itulah nama. Betapapun ada yang bilang apalah arti sebuah nama. Tetapi ketika sebuah nama yang baik terjaga dengan baik, termasuk untuk suatu daerah, ketika nama itu naik populer karena memiliki persyaratan untuk itu, maka naiknya juga menjadi daerah populer yang dirindukan. Atau setidaknya, dicari tahu rahasia baik dan rahasia populernya.

Maka pada hari Sabtu malam Minggu, 23 September 2017 saya yang mengendarai sepeda motor ihlas berdesakan-desakan di Kemayoran. Setelah parkir, ikut empet-empetan, berdesakan-desakan di area Jalan H. Benyamin Sueb. Mau apa? Tertarik oleh sebuah acara pagelaran budaya Betawi.

Di acara itu saya bisa menyaksikan para pedagang yang banyak menjual makanan khas Betawi. Bisa menyaksikan monumen ondel-ondel yang di sekelilingnya dipadati para pengunjung yang terutama datang dari seluruh penjuru Kemayoran. Juga beruntung bisa menyaksikan lagu-lagu Betawi di panggung rakyat yang dinyanyikan oleh anak Benyamin Sueb dan penyiar Ben Radio. Lumayan membakar adrenalin sebagai anak Betawi, saksi Kemayoran. Bahkan di hari kedua saya datang lagi, bersama istri yang penasaran. Di panggung disuguhi tarian populer, tari Selamat Datang, Ronggeng Blantek.

Kemayoran dikenal juga sebagai pusat pembuatan ondel-ondel. Sekaligus penyuplai ondel-ondel baik untuk aksi seni ondel-ondel, sebagai pajangan di berbagai event, sampai menjadi suvenir. Yang kesemuanya itu kita sebut ngarak ondel-ondel. Sebab terlalu sempit ketika ngarak ondel-indel hanya diartikan memainkan ondel-ondel keliling kampung diiringi musik tradisional. Lalu apakah maskot ondel-ondel di berbagai bus pariwisata, taksi, spanduk pusat perbelanjaan dan pameran, di pusat-pusat hunian modern, bahkan di kedutaan-kedutaan besar, dll bukan ngarak ondel-ondel? Ya, semuanya itu ngarak ondel-ondel tentu saja.

Ondel-ondel itu harus kawin. Pesan moralnya, minimal bagi yang tidak mau atau belum berkesempatan kawin, tetap harus berparadigma kawin. Sebab dengan kawin (nikah sah) akan berketurunan. Maka ondel-ondel selalu dilambangkan sebagai pasangan suami istri. Yang umum, prianya berwajah merah, sedangkan wanitanya berwajah putih. Mengapa? Karena merah putih itu satu kesatuan Indonesia. Bahkan negara kita ini negara merah, ketika putihnya ada pada merahnya. Begitupun sebaliknya. Negara ini negara putih ketika merahnya ada pada putihnya. Ini prinsip kesetaraan pria-wanita itu. Emansipasi itu. Bukan dalam salah paham, wanita mesti menaklukkan laki-laki dst. Itu malah namanya tidak akur. Bukan kesatuan dalam damai.

Kalaupun tidak digambarkan berjilbab, wanita ondel-ondel itu berkerudung. Prinsipnya sama. Wanita itu mesti terikat atau dikerudungi kemuliaan lahir batin. Ini pesan kesalehan sosial. Termasuk pada prianya yang berpeci dan bersarung.

Saya adalah orang yang senang berlama-lama di atas jok motor atau sepeda memandangi monumen ondel-ondel Kemayoran. Siang ataupun malam. Ya, seperti orang gila saja. Sebab di situ sebagai penyair, seniman dan budayawan, saya membaca Kemayoran, membaca Jakarta, menemui Indonesia. Merasakan kehadiran diri di bumi.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG