SEKEJAP MENGENAL MANDOR SPIDERMAN

Pemahaman saya tentang Spiderman pasti beda dengan kebanyakan orang sejak beberapa tahun silam. Mungkin karena saya seorang penghayal. Meskipun kata yang mengaku sidik, justru saya terlalu logika.

Spiderman itu adalah saya, begitu argumentasi beberapa tahun lalu. Di sekolah saya merasa pelajar di antara semua pelajar di Indonesia dan dunia. Pergerakan dan kemajuan para pelajar itu bisa dimulai dari saya. Itu sebabnya saya tidak pernah minder. Bisa dibuktikan kepada teman-teman saya sekelas yang masih hidup hari ini. Karena itu saya harus menginspirasi. Sebab saya adalah titik peta. Yang akan memulai simpul-anyaman, memulai jaring laba-laba ke mana saja, sekehendak Tuhan.

Minimal saya menempatkan diri saya sebagai inspirasi karena pribadi itu selalu khas. Sebagai perintah Allah. Sebab kedatangan setiap pribadi sudah lengkap dengan visi-misi langitnya.

Rasa yang sama juga saya nikmati ketika saya aktif di OSIS, Pramuka, Remaja Mesjid, Karang Taruna, Penggembira Partai Politik, Orang Radio Indonesia, penyair, jurnalis, budayawan, dll. Sebagai pribadi khas halal saya menunaikan titah sebagai sentrum kemajuan dan perubahan dari situ.

Kata orang Sunda, Spiderman itu tukang tataekan, teterekelan. Tukang naik sana-sini. Persis seperti saya, naik sana naik sini. Tidak harus selalu dalam pengertian memimpin. Tetapi bisa cukup menaiki sesuatu yang baik sebagai area perjuangan dan menjadi manfaat di situ. Itu sudah teterekelan.

Saya juga telah merasa berdiam di banyak komunitas seni, setidaknya menemani, untuk sekaligus menjadi narasumber senibudaya di radio-radio. Saya tahu keadaan semuanya. Segaris dengan saya tahu teori-teori. Maka di situ saya menjadi sesuatu. Spiderman. Dari tangannya bisa keluar tali perekat yang bisa membuat jaring laba-laba. Kakinya bisa berpijak di atap dan di dinding gedung dan gunung. Wajahnya bertopeng. Topeng Kyai, topeng penari, topeng Kalijaga, topeng Semar, topeng petani dan nelayan, topeng guru, topeng tentara, pedagang, dll.

Begitulah awalnya saya memahami diri sebagai Spiderman. Kadang merasa juga sebagai Kuda Liar Kian Santang.

Tetapi belakangan ini saya punya kesibukan yang unik selama 6 tahun terakhir. Di antara kesibukan lainnya tentu saja. Pagi hari mengulur kabel power dan tambang car mantel dari lantai 13. Lalu agak siang seperti mencumbu matahari, melayang di dinding tinggi Jakarta, menggunakan pesawat gondola atau tanpa pesawat. Bagi kami itu sama saja. Tugasnya bermacam-macam, mulai dari yang rutin, memelihara kebersihan gedung sampai membantu melayani perawatan gedung.

Kalau pun tidak naik melayang di udara, tugas saya mengawasi tim yang bekerja. Persis seperti yang saya lakukan juga. Menjadi Spiderman dengan alat pengaman di badan. Maka semua, kami, masing-masing mesti memegang SIO (Surat Izin Operator) dari Dinas/ Kementrian tenaga Kerja.

Menjadi mandor Spiderman itu dimulai dari kemampuan diri dulu. Lalu menularkan kemampuan itu kepada tim Spiderman. Mereka harus sehat lahir dan batin. Tidak takut ketinggian. Menyenangi dunia melayang, rappling (climbing), dan tantangan kerja Gondola. Mau berhati-hati. Menguasai cara kerja operator. Dan kerja tim.

Tantangan terberat pekerjaan ini adalah iseng dan bercanda. Selain kondisi gedung atau ketinggian yang Sulit.  Itu sama sekali tidak boleh dianggap remeh. Tetapi harus dihadapi dengan fokus, serius, tetapi rileks. Tanpa rileks berarti dia manusia tegang yang semestinya bekerja di belakang kertas atau tidur-tiduran di tempat tidur paling empuk.

Pekerjaan ini menjelma secara alamiah. Buah kesadaran berdirinya kota-kota dengan gedung tinggi. Minimal 4 lantai. Sebab tanpa pekerjaan Spiderman (Gondola-man atau Ahli Rappling) maka sebuah gedung sudah bisa dipastikan mengkhianati Perda K3. Kebersihsn, Keindahan dan Ketertiban. Karena kalau dalam kurun minimal 3 bulan, sebuah gedung tinggi tidak dibersihkan, maka ia akan nampak sangat kusam dan jorok. Seperti gedung-gedung terkutuk saja. Sarang syetan. Maka di mana aroma keindahan kotanya? Maka di mana letak kerjasama K3 antara pemerintah dan masyarakat atau antara pemerintah dengan swasta?

Cara kerja Spiderman bisa menetap di satu gedung saja. Baik menetap dengan kerja rutin setiap hari di satu gedung, maupun kerja rutin tetapi per-sekian bulan sekali. Tetapi bisa juga tidak menetap di satu gedung. Alias berpindah-pindah. Nomaden. Minggu-minggu ini mengerjakan gedung di suatu titik dengan ketinggian 33 lantai, tetapi beberapa Minggu kemudian pindah mengerjakan gedung lain yang ketinggiannya cuma 9-10 lantai. Dst.

Di tilik dari sisi keindahan dan kesenian, maka kerja Gondola adalah kerja yang berat, penuh tantangan, tetapi memiliki eksotika ketinggian yang menyatu dengan alam bebas. Membuat cemerlang Sang Pencakar Langit. Meskipun terikat dengan jadwal, jam dan aturan kerja.

Para pekerja seni pun bisa menikmati pekerjaan ini sebagai sumber periuk nasinya. Terutama bagi para pekerja seni yang waktu pentasnya jarang-jarang, apalagi yang bersifat kerja sosial, bukan komersil. Tak ada pertentangan sama sekali dengan rasa seni di sini. Sama halnya ketika sebagian seniman juga seorang petani dan nelayan, pedagang, atau pekerja ojek on line.

Kelemahan pekerjaan ini adalah sedikitnya jumlah gedung tinggi dan masih lemahnya kesadaran pengelolanya untuk menggunakan jasa Spiderman. Meskipun belakangan inj, bahkan di kabupaten-kabupaten terpencil pun mulai bermunculan gedung setinggi minimal 3-4 lantai. Dengan kondisi ini, jumlah pekerja yang tertampung pun sedikit.

Kembali ke soal jaring laba-laba. Maka semestinya setiap titik Gondola di suatu gedung, merasa tampil menjadi yang terbaik. Supaya kompetitif dan inspiratif. Satu sama lain jadilah titik sentrum yang has.

Kalau sudah menjadi tim yang terbaik, maka melayanglah gondolaman se-Indonesia setiap pagi. Di bawah langit luas yang terbentang. Di atas ketinggian bumi. Spiderman menemani angin dan matahari.

Dan hal yang paling memukau adalah azan Asar di setiap bulan romadon yang terdengar menggema indah, teduh dan mendegupkan jabtung dari atas car gondola. Kita serasa selalu sehati menemani matahari yang menggelincir dalam kemenangan-kemenangan.

Dari atas ketinggian itu kita juga menggambar wajah anak dan istri kita di langit luas dan awan putih.

Saya jadi tiba-tiba teringat, dalam paradigma Islam Nusantara, semestinya setiap mesjid merasa menjadi bagian dari jaring laba-laba raksasa yang bersentrum di Istiqlal, misalnya. Atau semua titik menjadi sentrum kemajuan dan perubahan. Menyelamatkan lahir batin masyarakat luas. Menyelamatkan Indonesia. Menjadi pancang, simbul ketentraman dan peradaban dunia.

Indonesia, bulat bola dunia.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG