SUMPAH SENIBUDAYA DALAM SUMPAH PEMUDA
Hari ini Sumpah Pemuda. 28 Oktober. Lalu setelah bertanah air, berbangsa dan berbahasa yang satu, apa sumpah kita untuk kebudayaan Indonesia, lebih khusus lagi untuk senibudaya kita?
Tentu. Yang kita cari bukan sumpah keempat. Sebab dari ketiga sumpah dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 itu sudah sangatlah cukup. Bahkan tidak terlalu perlu untuk mencari dalih, misalnya untuk memangkas hingga sisa dua atau satu sumpah saja. Misalnya dengan satu sumpah, berbangsa dan bertanah air Indonesia.
Yang kita cari hanyalah mengenali identitas di dalam sumpah itu.
Budaya kita tentu saja budaya Indonesia. Seluruh ekspresi gerak berbudi dan berdayanya bangsa ini. Pun demikian khusus soal senibudayanya. Tetapi pernahkah kita merenungkan ini hingga menemui bentuknya sesadar-sadarnya?
Bahkan untuk meyakini, bahwa prinsip menolak tradisi (tertentu) yang sudah kadung tumbuh di tengah masyarakat kita adalah juga budaya kita, adalah sikap yang sulit.
Begitupun untuk menikmati bahwa suatu pengaruh 'asing' yang positif, yang sudah nyata-nyata diterima dan tumbuh kembang di negri kita, kita masih doyan menyebutnya sebagai pengaruh luar, daripada menyebut sudah aset budaya sendiri. Giliran sekalinya menerima, malah sebagai sikap tidak doyan tradisi sendiri yang disebutnya tidak mencerminkan masyarakat maju. Alih-alih paham budaya, malah terjebak arogansi dalam berbudaya. Sebut saja, merasa Amerika itu lebih intelek daripada merasa Indonesia. Apalagi merasa Bandung, Samarinda, atau Semarang.
Ditambah lagi, kita juga masih terbebani oleh sulitnya berkomunikasi secara lentur soal senibudaya dengan menggunakan bahasa agama. Padahal para soleh sudah meyakini, kearifan-kearifan yang menyelamatkan, yang santun dalam berbudaya, itu justru melalui pintu agama, atau melalui keyakinan adanya kekuasaan tunggal oleh Yang Maha Mulia. Yang Maha Cinta dan Menyelamatkan.
Ini mestinya lebih menjamin hak komunikasi yang merdeka dalam bahasa cinta yang agung. Bagaimana mungkin kita secara tidak sengaja dengan berbahagia merencanakan masa depan untuk menghiba kepada negara tetangga? Terlebih-lebih yang dipersepsikan sebagai negara maju?
Apa yang saya tulis ini justru inti persoalannya. Semisal dokter menyebut suatu penyakit dan sumber penyakitnya, sekaligus inti obat penyembuhnya. Tinggal kita ihlas atau tidak bersumpah budaya Indonesia.
Sekali lagi ada kelokalan dalam ruang besar ke Nusantaraan. Ada pengaruh positif putaran roda dunia. Dan ada kearifan ajaran Tuhan yang sangat mencintai hamba-hambanya. Ya, sekali lagi, yang sangat mencintai hamba-hamba nya.
Kalau bagi seorang muslim, sumpah yang didudukkan sebagai kesetiaan di jalan lurus, karena haram kalau kita asal bersumpah, tentu saja dimulai dengan bismillah dan syahadat. Merasa lahir dan tinggal di tanah air yang dirahmati Allah, yang di situ ada sebuah bangsa, bangsa Indonesia yang dicintai dan dilindungi Allah. Maka pada kehidupan di situ, senibudaya Indonesia bagian dari kecerahan kesejahteraan lahir dan batinnya. Keselamatan dunia akhirat.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar