VERSI JUALAN BUKU PUISI
Saya sebut saja ini versi saya. Versi Orang Radio Indonesia atau Seniman Radio Indonesia. Versi jualan buku puisi di radio. Tapi bukan sebagai iklan khusus. Lebih mirip informasi pustaka saja.
Sejak awal tahun 90-an, setiap mau siaran Apresiasi Sastra selalu tas saya penuh buku. Sebab di acara itu saya selalu membaca puisi saya, biasanya untuk pembukaan dan penutupan acara. Membaca puisi-puisi dari buku. Dan tentu saja membacakan puisi masyarakat (pendengar) yang dikirim via surat, belakangan menyusul juga via SMS. Yang via SMS ini saya sebut puisi pendek. Waktu itu masyarakat umum gak kenal email dan Facebook. SMS pun mulai marak awal tahun 2000-an.
Setiap saya membahas puisi seorang penyair dengan menyebutkan sumber bukunya, sudah pasti masyarakat dapat informasi pustaka. Lebih dari itu, dengan gaya penyampaian yang sangat apresiatif, masyarakat seakan digiring-paksa untuk suka buku sastra, khususnya antologi puisi. Yang tidak mustahil berujung pada minat baca buku, bahkan bahkan minat beli buku.
Tidak jauh beda kalau saya habis baca resensi buku di koran, besok-besoknya pasti sangat ingin membeli buku-buku tertentu. Pendengar radio pun semacam dihipnotis dengan sadar, bukan dengan tidak sadar, untuk melek buku puisi.
Bayangkan lebih dua puluh tahun saya melakukan itu. Entah seperti apa hati dan jantung pendengar didesir-degupkan oleh posisi puisi yang sangat utama.
Maka kalau para penerbit buku sastra tidak tertolong, itu lucu. Maka kalau para guru tidak ditemani dalam meyakinkan keutamaan sastra kepada murid-muridnya, itu lucu. Juga kalau para pencinta sastra tidak merasa dihantarkan untuk dewasa dan intelek di depan buku puisi, itu celaka.
Dan kalau para penyair tidak dibuat lebih percaya diri dan lebih populer, pohon pisang pun bisa tiba-tiba berdaun sirih.
Bagi saya itu adalah pekerjaan, sekaligus panggilan. Kalau saya sebagai pribadi penyair mau dihargai, maka masyarakat harus masuk ke dalam wacana memahami sastra, guna sastra, posisi strategis kesusastraan, dan fungsi puisi bagi proses berfikir manusia secara umum. Tidak khusus untuk kalangan penyair dan yang mengaku komunitas pencinta sastra saja.
Dengan begitu yang muncul adalah bayangan dan kesadaran kolektif. Humanisme-universal. Bahwa bahasa telah menjadi alat komunikasi efektif antar manusia sebangsa, dan antar bangsa sedunia, tidak hanya melalui percakapan sehari-hari dan bahasa formal, tetapi juga melalui karya sastra.
Semua hal yang lebih tajam dan efektif disampaikan melalui syair tentu akan lahir berwujud syair dari para penyair yang hamil kata-kata.
Apa yang saya (cannadrama) lakukan adalah membawa kepada kesepahaman membangun masyarakat pembaca. Minimal akan terus tumbuh kesadaran atas budaya baca itu. Tidak penting berapa penyair yang akan lahir. Tetapi yang utama, sastra yang ada mesti besar manfaatnya karena sebenar-benarnya dibaca.
Cannadrama juga merangsang para penyair muda/ remaja untuk semangat menulis, yang sebagian dari mereka bisa terus menguat menjadi penyair sejati. Misalnya dengan menerbitkan antologi puisi, Situ Kata (puisi-puisi cinta alam), Narkobrut (puisi anti narkoba), dan Suara Hati (multi tema).
Selain puisinya dibacakan di radio dan program Wisata Sastra Mingguan, nama para penyairnya pun sering disebut-sebut. Sehingga gairah sastra pun menggeliat dahsyat.
Bahkan khusus untuk buku-buku remaja ini, saya juga mengalami door to door menjual buku secara langsung ke sekolah-sekolah, terutama di sekolah yang ada penulisnya di dalam buku itu. Sambil bicara-bicara dengan para guru, kalau di koran-koran mulai dikritisi kemampuan menulis para sarjana dan dosen yang lemah, para remaja mesti mulai dimajukan kemampuan nulisnya. Setidaknya mereka harus berani memulai. Selanjutnya akan lentur mengikuti hukum alam.
Dalam antologi itu ada pengelompokan. Puisi-puisi karya penyair umum dan karya remaja.
Melalui tulisan singkat ini saya coba menarik kesimpulan. Ternyata kita bisa menjual buku secara tidak langsung melalui radio. Yaitu membawa masyarakat sadar akan pentingnya buku sastra. Dan kita bisa menjual buku secara langsung. Meskipun mesti dibedakan antara jualan langsung untuk keperluan komersil dan jualan untuk Apresiasi Sastra. Untuk hal kedua biasa berlaku hukum sosial, yang penting asal balik modal, tergantikan ongkos cetaknya.
Ingin saya sampaikan dengan tegas. Panggung-panggung lomba baca-tulis puisi pun selain memiliki dua fungsi utama juga bisa dipakai untuk ajang menciptakan pasar buku.
Dua fungsi utama itu, pertama adalah, peserta dirangsang untuk berekspresi sesuai bakatnya sekaligus meningkatkan kualitas puisinya. Dan kedua, fungsi sesuai tema kegiatannya. Kalau tema kegiatannya Hari Lingkungan Hidup, maka otomatis sekaligus mencetak aktivis lingkungan. Kalau temanya anti narkoba, maka berarti mencetak aktivis anti narkoba.
Adapun yang saya maksud sebagai ajang menciptakan pasar buku, adalah ketika semua peserta yang jumlahnya ratusan itu notabene adalah para pencinta sastra yang akan memenuhi rak buku di rumahnya dengan buku-buku puisi yang mereka beli. Dan mereka akan menularkan virus positif itu kepada masyarakat luas.
Dengan berbagai alasan, termasuk karena menyadari ruang pasar buku itu, setiap menjadi panitia atau juri baca puisi saya selalu berorasi tentang banyak hal. Tentang sastra, masyarakat sastra, buku sastra, dan tentang gemar membaca dan membeli buku sastra.
Semakin banyak kantong-kantong sastra lahir. Semakin banyak kepanitiaan kegiatan sastra bergerak. Semakin sungguh-sungguh ajaran sastra sekolah. Dll. Maka pasar buku sastra semakin besar.
Perlu diingat. Keberadaan komunitas sastra tidak selalu untuk mencetak sastrawan atau penyair. Kegiatan mingguan Wisata Sastra juga bukan untuk bikin inflasi penyair. Memang benar dalam forum-forum itu bisa lahir penyair hebat bahkan populer. Tetapi yang paling penting, melek sastra. Masyarakat mau membaca dan mengerti sastra. Karena gagap sastra sangatlah menyedihkan. Bahkan bisa disebut kegagalan dalam kebudayaan. Tafsir-tafsir atas bahasa menjadi gelap gulita. Padahal berkaca pada keberhasilan masyarakat tradisional masa lampau, tutur-tinular sastra lisan menunjukkan keberhasilannya, karena masyarakat saat itu pun mesti sadar sastra. Syair-syair tertentu dan penceritaan wayang dihafal oleh mereka. Pantun pun menjadi salahsatu pilihan bersastra spontan, untuk bernasehat, bercanda dan seterusnya.
Saya wajib ingatkan. Kita harus saling mengingatkan. Bahwa untuk membaca tafsir kitab suci, kita harus paham tafsir bahasa.
Para penulis pemula, bahkan yang karyanya ikut diterbitkan, termasuk yang dimuat koran, itupun belum tentu mewajibkan mereka jadi penyair. Kita tentu masih ingat majalah dan koran yang memuat puisi percintaan di tahun 80-90an? Minimal mereka punya kemampuan menulis, memahami sastra, dan menularkan cinta sastranya itu. Mereka adalah masyarakat sastra, para pencinta sastra. Duta sastra. Karena kalau untuk kepenyairan yang kuat tentu punya syarat-syarat, salahsatunya adalah keseriusan penyairnya memahami potensi dan apa-apa yang wajib dilakukannya. Semacam penerimaan di depan Allah, "Dengan ini saya telah menerima kewajiban saya".
Satu lagi. Musikalisasi puisi adalah panggung musik paling spesial untuk jualan buku puisi. Bayangkan, selain puisi-puisi itu dibacakan, pada suatu panggung puisi-puisi itu pun bisa dinyanyikan. Alhasil, para penikmat jadi tambah antusias pada beberapa puisi yang dinyanyikan dan ingin memiliki bukunya. Atau, tiket tanda masuknya kalau tidak diiming-imingi CD, bisa juga ditambahi buku antologinya.
Salam sastra Indonesia.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar