KAMU SIAPA?

KAMBING, MANUSIA DAN ANJING 

karena kambing
tanpa berubah fikiran
ia makan sayuran petani

karena manusia 
setelah berubah fikiran
ia habisi jatah siapa saja

sampai Rosul bilang,
jangan siksa anjing
yang menggigit ternak 
di ladang penggembalaan

Kemayoran, 07112017

-----

Melewati usia 40 tahun satu kalimat tanya yang sering menyesakkan hati saya adalah, "Siapa kamu?" Kalimat sinis yang dilontarkan secara langsung dalam bentuk beragam, atau berupa sindiran-sindiran. Datangnya bisa dari mereka yang merasa senior, merasa lebih ahli, merasa orang pemerintah yang punya negara (penguasa), dekat dengan penguasa, bahkan dari beberapa yang jauh lebih muda dari saya. Bahkan ada yang pernah satu komunitas seni dengan saya yang tiba-tiba berubah fikiran.

Pendeknya, saya pun dibuli. Dihina. Di sebuah negri yang dihuni oleh sejumlah orang yang juga mem-buli Allahnya. Dan saya sudah kenyang dengan sikap-sikapnya itu. Tetapi untungnya reaksi saya biasa saja. Diam saja. Tenang saja. Bahkan selalu optimis. Tidak doyan menyebut nama ini dan itu. Paling-paling, menyebut secara umum, ada yang tidak suka saya.

Introspeksi? Sebagai muslim itu makanan harian saya. Tanpa itu, saya tidak bisa hidup sama sekali. Bahkan istri saya pernah bilang, dalam banyak hal ia melihat, saya terlalu mendiamkan sikap-sikap sinis dan tidak bersahabat dari manapun. Disebut tidak mau menunjukkan sikap sedikit keras.

Meskipun demikian saya tidak usah terlalu menghiba. Orang-orang dekat dan yang sehati dengan saya masih cukup banyak. Seperti yang biasa terjadi dalam pergumulan bersama, dalam forum pertemanan suka-duka. Bahkan sangat banyak kalau saya mau mengambil sikap menggerakkan sesuatu. Masih menjadi tempat berhibur, minimal bisa tertawa bersama, berbagi pengalaman,  cerita macam-macam.

Tapi benar. Kalimat sinis yang lama menyerang saya itu adalah, "Siapa kamu?"

Padahal sudah sangat terbuka saya siapa. Seperti apa sikap-sikap saya. Yang diperbuatnya apa saja. Dengan siapa saja. Benar-benar terbuka. Bahkan di media sosial saya sangat jujur. Apa adanya. Sebab arti kata "status" adalah 'khas seseorang'.

Kalau pengalaman bisa disebut prestasi, mereka bisa membaca ukurannya. Bisa mengambil mistar dan mengukur jidat saya. Kalau sudut pandang dan ruang penyampaiannya disebut realitas kerja, maka siapapun bisa melihatnya, seperti melihat ikan dalam akuarium, atau buku puisi di sebuah toko. Tinggal ambil timbangan telur untuk menimbangnya.

Kalau keadaannya disebut sangat buruk, kampungan, kere, tidak makan bangku sekolah, rendahan, kecil, saya memamg terpaksa harus nrimo. Itu kan kata pihak tertentu yang matanya justru sedang tertuju kepada saya dengan suatu tanda. Apa adanya saja. Yang penting mestinya ada kejujuran dalam melihat dan menempatkan apapun.

Sebab cepat atau lambat, tanda atau kode yang dia lemparkan kepada saya akan jadi kenang-kenangan di sebuah ruang yang disebut, ruang kemanusiaan. Sementara kenangan itu hukum universalnya, bisa pahit atau manis.

Kalimat itu kadang terdengar dilanjutkan dengan kalimat selanjutnya, yang saya harus menebaknya dengan mudah, "Apa yang telah kamu perbuat? Tidak ada sama sekali. Bikin ketawa orang-orang penting di negri ini saja".

Cuma saya berfikir, bagaimana kalau suatu saat kalimat itu diambil alih oleh malaikat, dan berbalik bertanya kepada mereka, "Siapa kamu?"

Tetapi ada satu lagi, ini aneh tapi faktual. Jelas-jelas sebuah ketidak-jujuran. Bayangkan saja, kalimat tanya atau sindiran, "Kamu siapa?" Ternyata juga berarti, "Sekarang kamu dibuang. Sekarang tiba saatnya kamu tidak berguna. Sekarang kamu sudah bisa merasakan arti, bukan siapa-siapa. Sekarang, kamu siapa?"

Padahal di sela-sela ritual sholat Jum'at berturut-turut di 40 mesjid berbeda, suatu ketika saya pernah menyentuh mobil milik orang kaya yang punya banyak mobil. Lalu saya sambil bergumam geleng-geleng kepala, "Kosong!"

Dalam hal agama, keyakinan hidup, ada yang tidak suka saya karena dianggap terlalu liberal, liar. Padahal yang liberal malah tidak suka saya, karena pandangan saya dianggap terlalu menguntungkan dan menyelamatkan Islam. Padahal memang Islam menyelamatkan semuanya.

Perhatikan kalimat terakhir tersebut. Terlalu begitu. 

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG

TEU HONCEWANG