DI DEPAN BAHASAMU

GAYA BAHASA

soal gaya bahasa ya?
             
Kemayoran, 13092017
-----

MADAH YANG MEMBELAH

membuncah madah yang kalah
kembang api naik tinggi
membelah-belah
------

TEMPAT TIDUR

beri tempat tidur
kaki dan langit
------

JAM TERBANG

sayap burung
menulis jam terbangnya
------

DI SEBUAH LADANG

di sebuah ladang
kakek memandangiku
takut dan iba
lalu menjejalkan asap
jagung bakar itu
sampai 40 tahun wanginya
------

PILIH SATU

seribu penyair
pilih satu

Kemayoran, 13092017
------

PADA WAKTUNYA 

kau akan mengerti 
juga Rendra 
juga Chairil         

Kemayoran, 1709201
#puisipendekindonesia
-----

Teman-teman penyair, saya ada di depan. Tetapi tidak meminta-paksa  disebut terdepan. Kebetulan saja duduk dan berdiri di situ. Seperti pohon depan rumah itu, cuma bilang, aku di sini menunggu mati. Yang naluriahnya justru meminta umur panjang dengan segala manfaat dan terkabulnya permohonan bahagia sejahtera. Meskipun tempat hidup cobaan melulu. Bahkan ketika disebut, puisi tak akan lahir dan berguna tanpa persoalan-persoalan, tanpa penindasan dan perang, puisi sendiri adalah persoalan, kesaksian dan pencerarahan. Bukan hal sepele.

Maka di depan puisi kalian, para penulis puisi yang bahasaya muluk. Saya tertegun. Sering tidak mengerti, memgapa banjir begitu. Ini bukan otokritik, lebih tepat soal rasa. Maka biarkan saja. Karena saya di depan seperti mobil parkir sisi jalan, maka siapa di dalam rumah dan yang lalu-lalang bisa melihatnya. Bahwa saya nyengir depan syair-syair. Karena saya cuma bisa bilang:

beri tempat tidur
kaki dan langit

Ini apa artinya? Menurut saya, hal penting. Tuhan kasih jatah bersikap rahasia yang terbuka. Bahwa puisi akan bekerja dengan caranya. Seperti halnya puisi-puisi kalian yang ihlas bekerja apa saja. Banyak yang indah-indah ketika dibaca pada kedalaman percintaan, bahkan pada kesadaran kedukaan. Termasuk yang secara awam bahasanya terlalu gelap sekalipun. Ketika segala celuk menjadi seperti asal tangkai menyuarakan gemeretaknya, asal air berkecipak ikan. Tentu ada maknanya. Dan dia akan sampai karena nermaksud sampai, kepada orang yang memahami terang pada gelapnya.

Wow. Lautan-lautan. Samudra dan lembayung senja. Dan saya tidak tersisih, sebagai pribadi yang jamak di tepi pantai. Nyiur yang satu dahannya menunjuk karang itu, tidak pada yang lain. Sebuah kebetulan. Dengan akar yang marah-marah karena kondisi lingkungan moderennya.

Saya melihat juga yang mirip dengan posisi dan cara saya. Meskipun memiliki khas yang beda. Tentu ini semakin menunjukkan saya kuat, percaya diri, karena khas dan daya tawarnya itu. Meskipun kuping sudah dengar, pragmatisme politik dan dangkalnya kedalaman dunia telah merobek-robek puisi saya berulang kali. Setiap hari. Sebab pasti selalu ada yang diuntungkan oleh tulisan-tulisan saya. Dan ketika kubu yang diuntungkan merasa tidak butuh membalas budi, setidaknya yang merasa dirugikan membawa bahasa dendam yang tidak punya dalil suci.

sayap burung
menulis jam terbangnya

Tetapi di depan puisi kalian yang menerbangi segala selat, teluk, penjuru-penjuru, saya tetap di sini saja, dekat kebun orang, menikmati teduh pohonnya. Membikin puisi-puisi. Yang kalau dimintai imbalan jasa dari teduh pohon itu oleh pemiliknya, saya cuma bilang, "Ini puisi-puisi sudah berisi hebatnya pohon-pohon. Ini kabar buat anak cucu". Lalu nafsu saya pasti ingin berkata juga, "Ada honor untuk ini?" Dan pemiliki kebun itu saya duga bakal memberikan teduh pohon itu sampai umur ditebang atau matinya. Ihlas 100%.

Tentu saja sebagai inspirasi puisi saya juga terbang. Buktinya Jalak pun hidup dan terbang dari tubuh saya. Tapi kan saya malu mengatakan, Jalak bumi ini milik langit. Nanti sayap kalian milik siapa?

Tapi jujur kadang saya sedih. Kesedihan yang bengal dan minta dimaklumi. Saya sering menemukan sajak-sajak 'kalian' ----kalian yang merasa tentu saja---, terlalu dibikin-bikin. Bahasa model begitu terlalu main-main. Mengakali kalimat. Berandai-andai dengan kata-kata. Gak lucunya, tidak cuma menjauhkan dari inti yang serius, bahkan ingkar dari garis lurus. Dan pada poin garis lurus ini saya harus merasa selalu siap kalau ada yang menuding 'syetan laknatullah'  sekalipun. Meskipun saya sudah bicara daun itu langit, langit itu perkalian, dan perkalian itu cinta, dan cinta itu kematian yang suci, dan kematian yang suci itu keinginan umur panjang, dan panjang umur itu film kartun, dan film kertun itu sajadah, sajadah itu lipstk, lipstik itu kulkas, kulkas itu akalbudi, akalbudi itu akhirat, akhirat itu kitab suci, kitab suci itu bahasa guru, bahasa guru itu bahasa daun-daun, daun itu Indonesia, Indonesia itu Amerika, Amerika itu kamar mandi, kamar mandi itu bawang putih, bawang putih itu kuda-kudaan, kuda-kudaan itu padang pasir, padang pasir itu seribu penyair, dst. Tanpa batas. Sebab, bersikap politik lengkap dengan bismillahnya pun saya pernah disebut kafir, murtad, dan komunis.

Wah, tidak terbayang, ini perumpamaan, apa yang akan ditulis penyair ini jika ada orang bekharisma Kyai, banyak ditunggui orang baik, gaulnya surga sekali, tetapi meninggal tabrak lari lalu dari tasnya terlempar satu-dua keping VCD porno. Padahal polisi kepada orang yang hidup, pernah berkesimpulan dari sederet pertanyaan-pertanyaan: "Ternyata kau tukang kayu, pantas saja bawa gergaji besi, linggis dan palu. Kukira mau tawuran". Kita juga melihat kegagapan kolektif dalam memahami dan membahasakan, mana video dewasa dan mana video porno. Video dewasa adalah video halal, tapi khusus bagi pengetahuan dewasa, sedangkan video porno berisi tawaran kemesuman. Coba renungkan.

Padahal puisi itu dibuat oleh yang disebut senior dan tua. Liku-liku puisinya sudah sangat panjang. Spasi tiap kata menunjukkan kepayahan yang serius. Tetapi masih saja jauh dari berkah. Hanya

membuncah madah yang kalah kembang api naik tinggi 
membelah-belah

Demikanlah mengumpulkan takjub, sebelum memberi cape dan tidur, membawa mimpi-mimpi. Lalu anak-anak tidak pernah dibangunkan. Kesaksian ditimbun salju, juga dari dunia mimpi. Kecerdasan itu pandai berolok-olok. Pencerahan itu pengarahan. Remaja-remaja menjadi seperti digiring, seperti bebek yang dilatih tinju dan gulat, memasuki kesiapan bersaing, sikut-sikutan, tipu-menipu dalam ketertindasan.

Tentu catatan ini akan terus marah-marah kepada saya sendiri, seperti cemeti yang siap melecut setiap detik. Malaikat yang memegangnya tidak sedang duduk di atas bunga, tetapi lebih dari bunga. Harumnya mendatangkan rasa takut yang dalam. Luka-luka yang diakibatkan cambukannyapun  mendalam. Sebab saya memang telah dendam kepada yang tidak menyelamatkan, tetapi malah menertawakan. Padahal saya juga pernah penasaran seperti Musa.

di sebuah ladang
kakek memandangiku
takut dan iba
lalu menjejalkan asap
jagung bakar itu
sampai 40 tahun wanginya

Sebagai manusia biasa, ya saya tentu bisa mencintai yang pantas saya cintai. Maka saya terinspirasi kakek saya dari ibu tiri. Seorang guru ngaji yang pada hari meninggalnya, tubuhnya seperti turun dari langit, masuk ke tubuh saya. Pada suatu mimpi. Sampai saya terbangun dan bilang,

seribu penyair
pilih satu

Teman-teman penyair, apakah hati kalian pasti tentram, sebab saya nampak marah-marah tdak jelas. Seperti kepiting bikin cerita tuyul demi popularitasnya. Padahal ini serius tentang penyair.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG