ERA ISTIMEWA PUISI

SISTEM KARAKTER

depan sistem yang congkak
kita selalu teriak
pendidikan karakter tanggungjawab siapa?

Kemayoran, 31082017

----

SEBUAH PR0GRAM UNTUK MASYARAKAT

memalukan      
                               
Kemayoran, 20082017
#puisipendekindonesia
-----

Saya memang menyebut suatu era baru perpuisian Indonesia dalam beberapa tulisan di cannadrama.blogspot.com karena alasan yang kuat. Yaitu era panggung puisi, buku puisi, ditambah internet puisi. Mengapa?

Pertama, sudah lama koran dan majalah terbit tanpa ruang puisi, atau menghilangkan ruang puisi. Padahal ketika masih marak ruang puisi di situ, itupun masih merupakan ruang yang sangat sempit bagi jumlah penyair se Indonesia. Meskipun saat itu adalah era keemasannya.

Saya bisa membuka satu rahasia redaksi dan marketing, di luar alasan kesadaran memberi ruang publik di halaman koran dan majalah.

Rahasia itu adalah, kalaupun tidak ada rubrik atau ruang khusus puisi, bukan berarti puisi tidak bisa naik. Masih ada ruang opini dan pemberitaan atau ruang apresiasi senibudaya. Di situ puisi-puisi siapapun bisa dibahas, diberitakan, termasuk sensasi panggungnya. Dan ini lebih menjual koran dan majalah. Sebab apa? Opini itu dimuat karena dipilih. Pemberitaan memilih panggung. Nama-nama penyair yang disorot dan diberitakan wartawan adalah yang bisa menaikkan minat baca masyarakat. Kalau perlu aksi baca puisi seseorang penyair dipajang di halaman muka, tapi jelas siapa saja penyairnya? Itulah jualan koran dan majalah.

Memberi ruang publik sastra, berupa sebuah halaman khusus, meskipun cuma seperenam atau seperdelapan halaman, itu memang mengandung pemerataan kesempatan pada proses pemuatan karya berkualitas dari penyair-penyair. Meskipun ada oto-kritik di situ, seperti terbentuk sebuah komunitas khusus, berputar-putar pada sejumlah penyair tertentu di situ saja. Kelemahan ruang ini sudah pasti, kualitas karya seorang penyair tertentu ---apalagi yang belum populer--- belum tentu meningkatkan minat baca masyarakat, apalagi meningkatkan penjualan koran dan majalah.

Tapi sebagai masyarakat sastra, kita tetap menyayangkan hilangnya ruang puisi di situ. Meskipun ketika diadakan tidak akan pernah memberi kesempatan yang cukup bagi semaraknya sajak-sajak berkualitas dari mana-mana. Belum lagi selama ini masih ada pendapat miring yang patut diluruskan, yaitu majalah dan koran jadi legitimasi kepenyairan. Ini jelas tidak sehat. Padahal yang benar adalah sebagai wadah kerja puisi, rumah sosialisasi sebagian sastra yang berkualitas. Serta media yang mampu memopulerkan seorang penyair.

Kedua. Buku, panggung dan internet, saya sebut istimewa karena ruangnya lebih terbuka, seperti udara bebas. Asal tidak tercemar. Atau ada aturan, 'dilarang menghirup udara yang dihembus angin dari sini'. Tidak seperti ranah publik yang terbatas dan mudah habis. Tidak seperti ketersediaan tanah di muka bumi, tidak seperti halaman koran yang terbatas itu.  Tidak seperti frekuensi yang terpaksa harus dibagi-bagi secara teliti dan teratur.

Panggung. Bagi penyair dimaknai secara gila. Yaitu ruang baca dan diskusi puisi. Ada titik pusat perhatian dan ada tempat duduk menonton. Atau bahkan cukup duduk melingkar. Itu kalau masih butuh penonton. Kalau bentuknya direkam untuk ditonton videonya di internet, baca puisi sendiri di atas batu pun sudah panggung. Jadi mbeling dari pakem panggung secara umum. Meskipun sastrawan juga punya istilah Malam Puisi yang lazim pakai panggung selayaknya hajatan. Tapi acara ini pun kadang cukup 'ngampar samak' (menggelar tikar) di lapangan bulu tangkis.

Panggung-panggung sosial yang rutin atau setidaknya sering diselenggarakan itu, meskipun tidak komersil bagi para pembaca sajaknya, ---kalaupun ada uangnya, angkanya sosial juga---, tetapi sangat mendatangkan antusias yang tinggi. Sebab hadir dan baca puisi adalah fardu kifayah yang utama. Sebab kalau pembacaannya digilir, harus mengikuti jadwal itu.

Pengalaman naik panggung puisi adalah kepuasan dan prestasi. Walaupun tugas penyair yang lebih utama adalah membuat puisi dan berargumentasi atas karyanya itu. Sementara soal baca puisi bisa menjadi tugas para pembaca yang biasa tampil dan yang biasa menang lomba. Tapi nyatanya, tidak sedikit penyair yang sekaligus hebat baca puisinya. Karena memang, dalam urusan baca puisi, minimal penyair bisa mengomunikan puisinya kepada penonton.

Saya ilustrasikan. Ketika suatu waktu saya mendatangkan atau kedatangan seorang penyair yang berkualitas dan populer, maka saya akan menyambutnya sukacita. Senang diskusi panjang lebar. Tetapi soal dia baca puisi, saya atau panitia tidak membebaninya. Kecuali ketika dia memang dikenal sebagai pembaca yang menonjol. Tetapi meskipun demikian, tepuk tangan saya sangat bernilai tinggi untuk penyair siapa saja yang baca puisi. Tanpa terkecuali. Sebab saya salut pada ritual kerja puisi yang sudah terjadi.

Selanjutnya buku. Sesungguhnya urutan buku bisa di awal. Sebab ketika penyair didefinisikan pencipta syair, maka buku adalah alamat untuk menyimpan tulisan itu. Tetapi kenyataannya, setidaknya sastra Indonesia punya cerita khas, panggung atau arena puisi itu adalah tempat ziarah yang terlalu penting. Memasyarakat. Familiar.

Membaca puisi di situ berarti sudah membuat puisinya bekerja. Setelah diteriakkan, dilontarkan, dibisikkan, atau didiskusikan. Membuat 'para manusia' menemui kesadaran yang tercerahkan. Setidaknya saling mengingatkan akan rahasia-rahasia.

Itulah yang membuat saya berani jamin. Pada seseorang penyair yang sudah khas di panggung-panggung puisi, menonjol, apalagi aktif dalam kegiatan sosial, buku hanyalah vital kata kunci, harus dibuat, bahwa dia punya bukti kepenyairan yang telah dibukukan. Maka saya bilang, punya satu antologi puisi sendiri atau satu antologi puisi bersama pun sudah lumayan. Bahkan bisa menemui ketercukupannya.

Saya ilustrasikan lagi. Kalau saya di suatu kedutaan di luar negri, misalnya, mau bikin antologi penyair-penyair Indonesia yang pantas diperkenalkan di sana, maka saya bisa mengambil satu-dua puisi dari 40-50 penyair berkualitas yang dikenal masyarakat sastra. Ukurannya tentu saja tidak harus mencari penyair yang sudah punya 5-10 buku. Tidak wajib begitu. Apa undang-undangnya? Penyair yang cuma punya beberapa puisi dalam antologi bersama pun bisa saya pilih kalau dianggap layak. Padahal dia bisa punya puluhan-ratusan puisi yang sudah naik panggung. Itulah. Ini logika.

Begitupun ketika saya bersama panitia atau tim khusus, mau menerbitkan buku daftar para penyair Indonesia, maka tidak mustahil akan menyertakan juga beberapa penyair yang baru punya 1-2 antologi puisi sendiri atau antologi puisi bersama. Tetapi masyarakat sastra sudah mengenal eksistensi kepenyairannya.

Kalaupun di balik ratusan nama yang terdata itu ada belasan atau puluhan nama yang dianggap sangat menonjol, selayaknya penyanyi dangdut atau rocker, itu normal saja. Hal biasa. Chairil dan Rendra kan di situ posisinya.

Sangat sinergis hubungan panggung puisi dan buku puisi itu. Dan buku, adalah ruang terbuka yang halamannya terserak tanpa batas. Tentu Anda tahu maksudnya. Selain penerbit ada di mana-mana, banyak komunitas sastra yang juga bekerja mulia untuk mengarsipkan karya penyair dengan cara membukukannya. Menerbitkannya.

Khusus soal halaman tanpa batas ini sama seperti ketika saya mengamini komen Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi tentang Radio Mobil Panjang. Saat itu saya kerja di Radio Berita Lemozin, yang oleh dia Lemozin diterjemahkan, mobil panjang. Sedangkan bagi saya, Orang Radio Indonesia, Radio memang mobil panjang. Semua frekuensi adalah keberdayaan Radio. Atau, seluruh frekuensi itu hakekatnya satu lingkaran saja. Apalagi kalau saya penanggungjawab INFOKOM, semua frekuensi jadi milik saya. Semua itu berarti panjang tanpa batas. Kalau saya siarkan suatu Iklan Layanan Masyarakat di Radio Jakarta, dan ternyata tidak nembus Purwakarta, maka saya akan putar juga iklan itu di Radio Purwakarta. Ketika Radio Purwakarta tidak nembus Bandung, maka iklan itu saya bawa ke Radio Bandung. Kalau Radio Bandung tidak nembus Cirebon, iklan itu saya bawa ke Radio Cirebon. Kan namanya juga mobil panjang tanpa ujung. Semua frekuensi di mana-mana, saya yang menaikinya.  Pengalaman saya menjalani kewajiban siaran Apresiasi Seni pun begitu. Beberapa tahun di Radio Menara FM, beberapa tahun di Radio LITA FM, beberapa tahun di Radio Populer FM, dan terus berlanjut ke radio Trend FM dan Pro-89 FM. Sambung menyambung. 

Pun internet. Sejak menjelang tahun 2000-an kita mengenal istilah, menyampah di internet. Itu istilah mbeling yang cerdas. Apa sebab? Disebut menyampah karena perbuatan kita di situ memang akan membuat maraknya tulisan di internet. Bagai sampah kata-kata saja. Tetapi, kualitas tulisan akan muncul di tengah pergumulan itu. Terbukti, website, blog, dan berbagai media sosial pun bisa memunculkan nama-nama dan karya menonjol hasil seleksi alam.

Konotasi menyampah jangan dilarikan ke arah hoak dan pornografi yang marak, itu di luar pakem kemanusiaan. Menyampah di internet bagi para penyair dan penulis punya 'arti gaul' tersendiri. Tidak sama.

Bagi penulis pemula yang belum punya pengalaman banyak, menyampah berarti juga, waktunya karya-karyanya 'dibantai' oleh perjalanan proses kreatifnya. Sehingga semakin dewasa, penuh kesaksian dan penyadaran, serta bertanggungjawab.

Saya sendiri juga menggunakan istilah yang tidak umum semodel itu ketika menyosialisasikan Puisi Pendek Indonesia sejak awal tahun 2000-an. Saya menyebut, 'memulung' khazanah sastra Indonesia. Sebab saya bukan yang pertama kali menulis puisi pendek. Cuma memulung yang ada. Chairil, Tarji, Sapardi, Taufiq, Bisri, Budianta, dll sudah mendahuluinya. Meskipun saya termasuk yang lebih sering menulis dan membacakan puisi pendek.

Kalau dibilang internet itu merusak, berarti seseorang itu salah baca guna internet. Yang disebut guna internet itu, jika internet itu berguna. Maka mestinya bacalah yang berguna saja. Yang tidak berguna di situ, bukan guna internet.

Nah selamat menikmati era istimewa.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG