HARLINAS DAN HARKELIN

anak-anak
bukan
anak-anak

Kemayoran, 2011-2017
Judul Puisi: Anak Manusia 
#puisipendekindonesia 
-------

Hari libur Nasional (HARLINAS) adalah hari keluarga Indonesia (HARKELIN).

Kita mengenal beberapa jenis hari libur nasional. Tentu disebut hari libur nasional karena bersifat nasional, belum tentu berlaku di luar negri. Artinya, kebijakan setiap negara beda-beda.

Beberapa jenis hari libur nasional itu terklasifikan ke dalam, hari-hari besar nasional, hari-hari besar agama, dan hari-hari besar internasional yang diikuti dan diliburkan di Indonesia. Untuk poin yang ketiga menjadi bersifat nasional, karena selain peringatannya dilakukan oleh bangsa Indonesia, keputusan meliburkannya juga bagian dari sikap Indonesia.

Yang masuk katagori hari libur nasional pertama, yaitu hari besar nasional, misalnya, peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. Yang masuk katagori hari libur nasional kedua, hari besar agama misalnya, libur Natal dan idul Fitri. Dan yang masuk katagori hari libur nasional untuk peringatan hari besar internasional adalah, hari buruh sedunia, dan bahkan 'libur tahun baru Masehi'. Sebab libur tahun baru Masehi pada kenyataannya di Indonesia tidak diartikan sebagai perayaan hari libur agama tertentu. Semacam ada kesepakatan informal. Tahun baru bersama. Hal ini disebabkan oleh kebijakan resmi pemerintah, bahwa kalender formal di lembaga-lembaga resmi negara menggunakan kalender Masehi, dari bulan Januari hingga Desember.

Memang ada dalam kebiasaan Ummat Kristen, ucapan natal selalu bersamaan dengan ucapan selamat tahun baru. Merry Christmas And  Happy New Year. Sedangkan di kalangan muslim, sudah biasa mengucapkan, selamat tahun baru setiap tiba tanggal 1 Januari.

Ucapan selamat tahun baru tiap tanggal 1 Januari pada kaum muslim itu tidak melanggar hukum syar'i. Mengingat secara hakiki dan filosofis, setiap hari adalah pergantian tahun. Sebut saja, jika dimisalkan setahun itu 365 hari, maka setiap hari kita pasti meninggalkan 365 hari di masa lalu dan menuju 365 hari di masa depan. Maka ucapan selamat tahun baru adalah pemahaman dasar kemanusiaan. Sangat humanis-universal. Bahkan saya pribadi pernah mereka-reka, Tahun Baru Gilang Teguh Pambudi. Awal tahunnya memakai tanggal kelahiran saya, atau memakai 12 Rabiul Awal. Maju sampai 12 bulan ke depan. Begitulah panjang rentang 1 tahun.

Apa yang saya lakukan dengan reka-reka tahun Gilang Teguh Pambudi itu sekadar menghayati, pergantian tahun itu sangat menyentuh sisi pribadi dan menyentuh keumuman manusia tanpa kecuali. Sedangkan tafsir tahun Hijriah dalam Islam adalah pesan moral, buat apa ganti tahun kalau tanpa kesaksian dan kesadaran yang lebih baik. Ini prinsip yang humanis-universal alias Islami. Sebab Islami bisa diterjemahkan, selamat dunia wal akhirat.

Tahukah Anda, penyikapan seperti itu adalah khas budaya Indonesia. Apapun argumentasinya. Bagian dari kebijakan yang membaca kultur KeIndonesiaan.

Selain hari besar yang diliburkan itu kita juga mengenal banyak hari besar yang tidak diliburkan, mulai dari hari besar nasional semisal hari kebangkitan Nasional, hari pendidikan nasional, sampai hari besar internasional semisal, hari lingkungan hidup sedunia dan hari anak sedunia.

Coba bayangkan senyum bangsa ini. Semangat toleransinya. Persis seperti sisi benar dan mulia, Pendidikan Moral Pancasila. Yaitu ketika sebagian warga bangsa bersukacita dengan hari raya Idul Fitri, Ummat agama lain turut bersukacita menikmati hari libur. Bahkan menikmati wisata sama-sama. Sebelum itu para pedagang non-muslim turut sukacita menyediakan barang dagangan yang serba dibutuhkan untuk menyemarakkan Idul Fitri. Demikian pula sebaliknya. Banyak pedagang di pasar kita yang berjualan untuk kebutuhan Natal dan Imlek. Di hari-hari liburnya juga wisata bersama.

Itulah INDONESIA RAYA. Keutuhan NKRI. Yang mustahil hidup tanpa Kitab Langit melalui keadilan sosial undang-undangnya. Meskipun masih sangat dibutuhkan penyempurnaan pada bagian undang-undang atau peraturan-peraturan tertentu.

Setidaknya kita layak terus bersyukur. Sebab mustahil bersyukur tanpa perubahan. Mustahil tanpa hijrah itu, seperti pada tiap pesan universal pergantian tahun.

Hari libur nasional pada akhirnya adalah berkah, adalah kalimat besar kebersamaan, sekaligus hari yang tinggi, mulia dan khas bagi warga bangsa tertentu, meskipun tidak semua hari besar nasional mesti libur.

Hari libur nasional, mulai dari 17 Agustus, Idul Fitri, hingga Tahun Baru Masehi, adalah juga Hari Keluarga Indonesia.

Maka melalui tulisan ini saya juga ingin mengingatkan pihak-pihak terkait yang berkepentingan dengan masalah keluarga Indonesia, agar bisa memanfaatkan hari libur nasional sebagai hari keluarga Indonesia, untuk menyampaikan pesan-pesan, propaganda utama, atau program nyata, agar setiap warga bangsa memiliki keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Keluarga yang bahagia, penuh rasa syukur, damai sejahtera, selamat dunia wal akhirat. Tetapi dengan tidak picik menerjemahkan selamat dunia akhirat itu. Tidak mendistorsi keselamatan. Sebab saya kadang melihat pemerintah melalui lembaga negaranya sering gagap. Bahkan sangat gagap.

Kadang saya bahkan melihat, seorang menteri tertentu seperti anak-anak biasa. Seperti pemimpin organisasi biasa saja. Tidak terlalu ngerti apa-apa. Kadang begitu. Ini butuh reformasi.

Tulisan ini saya pungkas dengan sebuah puisi pendek:

ANAK KANDUNG

apakah puisimu
anak kandung?

Kemayoran, 2011-2017 

Boleh ditafsirkan, puisimu = hasil-hasil perbuatanmu. Lalu apakah hasil-hasil perbuatan itu berprikanusiaan untuk keluarga, masyarakat dan anak-cucu? 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG