HINDUISASI DI PURWAKARTA?

-----
SEBAB SUTRADARA

sebab kata-kataku 
pernah petir
menyelami mendung gunung:
main teater terus!
sampai mampus!
jangan putus!
sebab kita terikat kontrak 
dengan malaikat

tapi kalian
harus kerja
sebab aku
gak bisa kasih sejahtera

anggaran percuma
jangan diterima
itu jelas merusak tema

Kemayoran, 2012-2017
#puisipendekindonesia
-----

Ini tulisan saya di media sosial Facebook pada 11 Desember 2015. Lalu saya bagikan ke grup, 7 Meter Dari Dedi Mulyadi. Kali ini saya muat di cannadrama.blogspot.com dengan menambahi puisi pendek. Sebagai kritik sosial, kesetiakawanan, konsistensi proses kreatif, dan pencerahan hidup.

Yang jelas isu Hinduisasi tidak enak. Karena orang Islam dan Hindu Bali baik-baik saja. Sentimen negatif bisa muncul di tengah-tengah kata Hinduisasi.

Yang jelas, harus ada analisa kritis, "Purwakarta ala Dedi Mulyadi" sibuk memcari-cari bentuk, atau sedang mengajak masyarakat menikmati kearifan dalam kekayaan tradisi Sunda? Ini sikap normal.

Bahkan eksistensi LEMHANAS semestinya bisa menafsirkan, normal kebijakan para kepala daerah yang semestinya putra-putra terbaik bangsa dalam mengarahkan masyarakatnya.

Mentri Dalam Negri gak bisa tutup mata atas isu-isu apapun di seluruh daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Kalau analisanya dipercayakan kepada Amerika, apa beres?

Satu ilustrasi. Sejak tahun 2000-an saya sudah membahas seni dan falsafah  barongsai, dan topeng Kalijaga, di radio-radio di Purwakarta. Bahkan sejak dari Bandung (1994). Saya bilang, presiden, mentri, gubernur, bupati bertopeng apa?  Apakah benar ada yang bertopeng Siliwangi, Arjuna, petani, nelayan, buruh dst? Maka ketika Dedi Mulyadi mengadakan arak-arakan budaya topeng, saya langsung ngucapin selamat via media sosial dan sms teman-teman. Meskipun saya sempat ngakak, di medsos kok anak-anak muda pake topeng wajah Dedi Mulyadi? Bahkan catatan saya tentang khazanah topeng saya sisipkan dalam buku cannadrama yang terbit di Purwakarta tahun 2009.

Tapi soal memaksakan tradisi Hinduisme yang konon dilabeli Sunda Wiwitan, wah saya tidak tahu-menahu. Meskipun saya kerap menggunakan sebutan Ki Sunda sebagai kesadaran spiritual dan sosial manusia universal di muka bumi ini. Dalam buku yang sama dan di radio-radio saya juga membahas idiom-idiom takir mulud, gunungan saji, dupa, kembang tujuh rupa, boneka dalam pelukan anak, pohon terang, obor muharom, dll dalam berbudaya untuk istokomah mencimtai Allah.

Soal kain (sarung) kotak-kotak hitam putih, memang banyak yang kaget. Pohon dan beberapa acara tiba-tiba didandani itu di Purwakarta. Padahal, kalaupun sebagai otokritik, sarung sekarang tidak terlalu 'laku' dipakai dalam seni dan pariwisata, juga dalam pawai budaya, toh masih bisa dipakai sebagai kalung selempang tari-tarian tertentu. Selain sarung, Sunda juga masih punya celana pangsi hitam, kebaya, dan batik yang eksotik.

Sesungguhnya ada satu teori matematis yang masuk akal. Mengambil sugesti kekuatan pariwisata melalui garis yang masuk akal, Sunda Wiwitan. Tanpa frase itu, pintu masuknya pelik. Rumit.

Meskipun menjadi seperti memindahkan Bali. Padahal Sunda Wiwitan sudah biasa begitu dulu.

Wayang Bima yang dipakai para wali pun kodenya begitu. Kotak-kotak. Tetapi konon keresahannya bukan di situ saja. Lebih lebar dari sekadar itu. Bahkan wacana yang dibuka, soal spiritualitas Sunda Wiwitan dan Kejawen malah kurang mencerahkan maksud-maksudnya yang sederhana itu.

Istilah kejawen sendiri bukan representasi sepenuhnya perjalanan tanah Jawa. Itu istilah yang muncul belakangan, untuk menyebut orang-orang yang masih menjaga adat lama. Disebut, cenderung pada adat Jawa, kejawen. Kakek saya dari ibu tiri kalau selametan pake pewangi menyan, kembang, bucu (tumpeng), takir (nasi dan lauk pada wadah daun pisang), dll. Kakek saya dari bapak juga ngoleksi keris. Tapi mereka gak pernah mengaku-ngaku kejawen. Mereka muslim yang taat. Bahkan di daerah Jawa sana, perayaan Agustusan dirasa-rasa seperti lebaran kedua setelah idul fitri. Lebih karena rasa, beragustusan adalah doa gembira bersama.

Istilah kejawen, taat pada adat Jawa, lebih populer ketika para peneliti asing menggunakan sebutan itu juga. Tanpa kontribusi apa-apa untuk mengangkat pakem itu. Kadang terpotong uraiannya. Seperti ketika membahas ajaran wayang yang katanya mengandung unsur poliandri, padahal bukan itu maksud pesan wayangnya. Nah, beberapa pihak yang sensitif mudah terpengaruh dan semakin anti-wayang.

Lebih gak enak lagi. Ketika Pak Harto dan yang seperti dia disebut Islam kejawen, tapi maksudnya ber-Islam abangan. Abangan dalam pengertian, orang-orang yang gak konsisten dengan Islamnya. Wah, gundul pecah!

Diskusi semisal, soal kain kebaya pada berbagai tari Sunda yang ketat sehingga nampak sensual, sebagai pembelajaran eksotika panggung, malah lebih mudah dicerna. Termasuk dalam paradigma senibudaya dan pariwisata itu. Yang penting aktivisnya soleh-solehah. Memegang pakem kasundaan (Ki Sunda) yang plural-universal. Juga yang Islami, menurut sudut pandang orang baik. Sangat relijius kata orang-orang yang berprikemanusiaan yang berketuhanan YME. Anti maksiat! Daripada terlalu jauh.

Sebagai orang muslim, saya bangga punya tafsir yang baik dalam bersenibudaya. Misalnya ketika menafsirkan boneka kucing yang mengangkat dan menggerakkan tangan kiri.  Bahkan tafsir ini bisa lebih dasyat dari 'sebagian' orang Cina yang ngaku memilikinya. Betapa tidak, gerakan tangan kucing itu ditinjau dari prinsip kesejahteraan, berpesan: ambillah karunia Allah tidak hanya dari pintu-pintu yang umum saja, bisa dari tempat yang husus, rahasia, bahkan 'hina'. Padahal itu halal. Itu kucing namanya. Maka akan kuat, cerdas, survife. Tetapi orang-orang kaya yang kalah, kafir, menafsirkan: halalkan segala cara! Bahasa premannya (yang sering dipake orang-orang sekarang), kalau kamu preman, aku lebih preman! Sama-sama preman mau apa? Padahal agama tidak mengajarkan premanisme.

Juga tafsir lampion. Bupati/walikota/gubernur jangan pasang lampion sekadar lips service, menghormati sisi kulit orang Cina. Biar terlihat pluralis dan uangnya ngalir. Padahal lampion lambang cahaya bagi siapapun. Seumpama lilin atau pelita. Keharmonisan itu butuh kejujuran. Itu yang diajarkan di pesantren dan majlis taklim.

Maka berbanyak-banyak lampion di jalan-jalan tanpa menyemarakkan majlis taklim, kegiatan remaja dan pemuda mesjid, tanpa kunjungan pesantren, pembangunan sarana ibadah, tanpa semarak dan vestifal pekan muharom, tanpa tablig akbar, dst, di mana cahayanya?

Tentu tidak cukup pada ruang ketentraman spiritual, disertai juga cahaya pembangunan di segala bidang. Jangan sampai hari ulang tahun daerah, pameran pembangunan yang merupakan pesta panen itu, tidak melambangkan panen apa-apa bagi pengangguran dan kaum duafa. Sedangkan yang kaya tapi tidak kuat imannya, dia malah panen api neraka.

Bisa jadi ironi, ketika si miskin tak ditolong, daerah "kering tanpa air kehidupan", malah membuat patung terlalu banyak. Misalnya. Padahal sebagai hiasan taman kota, seperlunya saja. Lebih utama lagi satu-dua patung yang monumental saja, sehingga panjang umur.

Meskipun tidak mudah juga bikin patung panjang umur. Yang kelak dipugar terus-menerus. Sebab tidak sedikit patung taman kota yang dipertahankan cuma sampai batas waktu pembongkarannya tiba. Setelah dianggap tidak layak dipertahankan. Dan itu tidak melanggar Perda. Bahkan sekalipun diganti atau dibongkar ketika kondisinya masih bagus. Karena tata kota bisa dianggap memiliki kebutuhan khusus sesuai situasi dan kondisinya.

Tapi salah juga kalau menggampangkan membangun patung dan membongkar patung cuma untuk buang-buang biaya, meskipun disebut angka kecil. Nanti ada kritikan, mendingan anggarannya buat bikin MCK atau tempat wudu.

Atau ada lagi kritikan yang lebih keras meskipun tidak tepat jika dipaksakan. Yaitu yang menyebut, membuat patung-patung ditengah kondisi perut rakyat yang kelaparan, yang hakekatnya Allah-lah yang lapar, maka itu seperti mendirikan togut. Patung sesembahan.

Meskipun kritik keras itu bisa dijawab lugas, "Pembangunan untuk kebutuhan pokok masyarakat miskin sudah dijalankan dan terus di perhatikan", tetapi Arif juga untuk menyelami sisi kehati-hatiannya. Sebab masyarakat juga banyak cerdas, kadang pembuatan patung tertentu bisa mendongkrak animo masyarakst untuk berkunjung. Karena itu eksotik. Apalagi bernilai kode, lambang, khas daerah.

Jangan pula argumentasi, masyarakat miskin sudah diatasi, ternyata dibalas oleh ketidakpercayan masyarakat yang punya data-data. Karena dinilai tidak seberapa, atau baru semacam simbolik pada beberapa keluarga miskin yang disorot media.

Ini wacana umum untuk daerah manapun. Tidak cuma Purwakarta.

(Lanjut)

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG