MABUK SEBELUM MANGGUNG?

MENULIS APA KITA

Mohammad Toha ditulis anakku
Depan rumah makan Sunda
Sebagai perlawanan yang siap meledak
Dengan bom di tangan

Menjadi kesejahteraan

Aku menulis apa dalam kesaksian yang tua?

Pintu-pintu kesejahteraan itu ditutup kembali
Lalu di ruang dalam

Kesejahteraan adalah tempat tidur
Bagi segelintir keras kepala dan hati api
Yang menimang serba  keuntungan sendiri
Dan sebagian pesta korupsi

Muntah daging ditulis anakku
Karena tragedi anak negri yang tidak bisa menelan tubuhnya sendiri 
Dengan ziarah kesalehan
Karena selalu berdarah kecelakaan sosial yang parah 
Tetapi engkau malah tokoh pribumi yang menjual narkoba kepada anak kandung sendiri

Aku harus menulis apa
Melawan bangsa sendiri?

Kemayoran,  01082017
-----

Puisi saya ini belum lama terbit di dalam antologi bersama, Kita Dijajah Lagi  (Penebar Madia Pustaka-Yogyakarta-2017). Tetapi saya terhenyak mendengar kabar dalam sebuah pesta ada seorang ayah di Bali yang memberi minuman keras kepada anak kandungnya sendiri yang masih balita. Otomatis videonya yang di-upload ke media sosial itu menjadi viral dan mendapatkan caci-maki masyarakat.

Sebagai sebuah puisi, MENULIS APA KITA itu tentu memiliki multi tafsir. Tetapi tetap berada dalam satu garis lurus. Misalnya pada kalimat: Tetapi engkau malah tokoh pribumi/ yang menjual narkoba kepada anak kandung sendiri.

Kata 'menjual' memiliki multi interpretasi. Misalnya ketika saya pakai baju batik atau gamis ketika sholat Jumat, tentu saya sedang menjual dengan sengaja kepada semua mata, termasuk kepada anak kandung saya, bahwa pakaian itu halal, rapih, menarik, dan sopan. Menjual secara selera dan argumentasi berpakaian.

Semua makanan yang saya makan, tentu seperti contoh saja buat anak cucu saya. Itu termasuk jualan selera makan, jenis makanan, dan kehalalan makanan-makanan menurut saya. Mau tak mau memang begitu.

Selama puluhan tahun saya jadi penyiar radio. Sering naik panggung off air radio dan aktif juga di panggung-panggung komunitas seni. Saya tentu merasa, segala kehadiran di event-event itu, apapun, punya banyak pengaruh kepada siapa saja.

Pada presiden, mentri, pejabat, gubernur, bupati dll, tentu cara berpakaian, cara berucap, dan selera makan mereka bisa menjadi pengaruh serius kepada masyarakat. Termasuk ketika ada berita dari dunia hitam, banyak pejabat yang korupsi, menggunakan narkoba, melacur, melakukan tindak kriminal, dll. Itu tentu bahaya bagi kelangsungan ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.

Begitulah makna 'menjual'.

Termasuk ketika seorang ayah menawari anaknya merokok. Itu menjual secara langsung. Menjual selera merokok kepada anaknya secara langsung. Termasuk ketika mengajak minum-minuman keras sampai mabuk bersama. Atau ketika seorang ayah mengonsumsi narkoba bersama anaknya.

Seorang ibu yang ketahuan berprofesi sebagai pelacur oleh anak-anaknya. Dia telah menjual profesinya sebagai sesuatu yang biasa. Kalaupun masih disebut 'profesi terpaksa', maka teori atau prinsip yang akan berkembang adalah: boleh dan halal melacur jika terpaksa.

Bentuk menjual yang lain, tentu saja seperti yang sering kita baca di koran-koran. Misalnya, dalam sindikat narkoba. Siapapun, sekelompok remaja, bisa diajak untuk merasakan 'sensasi' mengonsumsi narkoba. Setelah itu barulah diberitahu bagaimana cara-cara membelinya jika kita sangat menginginkannya.

Yang gila. Teryata ada seorang ayah yang berani menjual narkoba kepada teman-teman anak kandungnya. Ada oknum aparat hukum yang melanggar hukum menjadi penjual narkoba. Ada juga pejabat, anggota dewan dan tokoh masyarakat yang juga melakukan hal maksiat itu.

Semua itu menjadi jaring-jaring kegelapan sosial, atau lebih tepat disebut menjadi jebakan-jebakan kecelakaan sosial yang parah. Itulah sebagian tafsir dari kalimat pada puisi saya itu.

Maka begitu mendengar berita tivi, soal hal viral, seorang ayah memberi minuman keras kepada anak kandungnya. Sementara Sang  Anak yang polos itu cuma ketawa-ketawa saja. Hati saya merasa berjuta heran, seperti juga para ibu yang heran. Apa maunya generasi tua model begini?

Kalau yang viral seperti itu bentuknya, bagaimana dengan kasus-kasus di balik tembok yang tidak viral? Seperti apa nasib anak-anak kita di masa depan?

Atau jangan-jangan anda menduga, ada sistem yang sedang bekerja, di luar kontek bapak dan anak di Bali itu, bahwa sekelompok manusia tak bertanggungjawab memang sedang membuat sebuah generasi, termasuk generasi anak-anak, tertawa dalam sumur kegelapan. Karena itu akan menjadi bukti, masyarakat bisa dilumpuhkan kalau dalam keadaan salah, sedang dalam kepayahan dan menjadi penyakit masyarakat. Sebab disitu hukum tinggal menekuk tengkuknya sebagai mahluk yang tidak berguna? Bukankah aktivis yang vokal, cerdas dan para orangtua di situ akan jatuh tersungkur, menjadi nol prestasi, tidak berguna sama sekali, ketika sudah jadi penyakit masyarakat?

Atau justru anda curiga sebaliknya, ada sindikat yang sedang diam-diam mengacau, untuk menunjukkan suatu proses pembangunan telah gagal, terbukti banyak generasi, bahkan orang tua, terjebak kecelakaan sosial.

Atau anda telah melihat. Sistem yang mencetak generasi mabuk, generasi narkoba, dan berprilaku preman? Tetaoi menjadi sekelompok orang yang mesti ditakuti di suatu tempat? Semacam penguasa wilayah? Atau sebuah sistem yang berkuasa yang dengan sengaja merekrut para preman pemabuk dan pecandu narkoba, untuk dijadikan benteng terdepan yang berani dan keras?

Terlepas apakah itu benar atau tidak, yang jelas kita sangat takut kepada mereka, siapapun, yang menjual maksiat, menjual kecelakaan sosial, menjual ini dan itu yang menghancurkan bangsa yang hebat ini.

Bisa saja siapapun yang nekad menjual propaganda seks bebas. Seperti di negara-negara sekuler. Siapa tahu dengan menjual itu seseorang malah menjadi orang kuat di suatu tempat tertentu di muka bumi ini. Apalagi di tengah masyarakat yang butuh senang-senang. Butuh hura-hura. Ideologinya cuma menyembah uang dan harta.

Atau, adakah seorang aktivis yang berani berbisik, seperti di negara-negara yang rawan, "Jika Tuan mau membekingi para pengedar miras-narkoba dan lokalisasi pelacuran di sini, suara kami semua untuk Anda. Bahkan masyarakat akan kami ajak mendukung Anda. Berapapun anggarannya".

Waduh. Kalau sampai seperti itu jualannya. Negara seperti apa yang akan terbentuk? Semoga kita terhindar dari kisah-kisah tragedi kemanusiaan itu. Semoga kita dijauhkan dari laknat Allah SWT.

Saya malah ingin bertanya juga. Apakah kesenian, hiburan dan dunia wisata yang maju itu selalu identik dengan miras dan narkoba, sehingga anak-anak kita jangan dibuat kagetan, harus sudah biasa beradaptasi sejak kecil dengan hal itu? Ibarat, mesti tahu dan mengalami mabuk sebelum 'manggung'. Sebelum tampil.

Apakah puisi juga mesti mempropagandakan miras dan narkoba? Penyair-penyair senior pelakunya. Atau pembaca puisinya yang mesti seperti pemain band, yang mabuk terlebih dahulu sebelum naik panggung?

Apakah benar hidup ini seperti judi? Bahkan Allah bisa diajak berjudi.  Jadi buat apa anti judi? Bukankah dalam perjudian itu yang ada cuma urusan siapa yang menang, bukan siapa yang benar? Buat apa kita hidup mengatasnamakan kebenaran dan kemuliaan?

Kejujuran kita pasti menunjukkan, apakah kita memang pemenang atau pecundang?  Sementara kalimat Allah, hukum hidup manusia yang merindukan ketentraman dan kesejahteraan, tidak akan pernah bergeser dari tempatnya. Sampai kapanpun.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG