PENYAIR DANGDUT, PENYAIR OMES
MEMPESONA
bahkan tarian
punggung burung hitam
selamanya mempesona
Kemayoran, 2011-2017
-----
KAU PUISI
maka jadilah kau puisi
dan biarkan aku membacanya
Kemayoran, 2011-2017
-----
ALLAH TIDAK BERSALAH
keindahan api, kelembutan besi, dan melodi bising, masih menemui hati yang terpilih.
Kemayoran, 2011-2017
-----
Kalau Anda ngikutin acara Apresiasi Seni yang saya bawakan sejak tahun 1991 di radio-radio, pasti ada pihak yang akan menyimpulkan, dari suatu sudut pandang tertentu, saya ni Werkudoro Doyan Wedo'an (Werkudara Doyan Perempuan). Alias, isi otaknya raksasa yang suka pada yang serba wangi perempuan. Sensitif dan mudah terangsang. Kuku Bimanya bisa dipakai ngomong macam-macam.
Entahlah. Di kalangan teman-teman Radio pun ada yang guyon, saya ini Gilang Omes (otak mesum). Dan saya biasa membiarkannya. Itu gara-gara saya terbuka kalau bicara perempuan dan seks. Tapi saya yakin pada orang yang tahu, 'orang pintar', mereka biasa menyebut saya relijius. Tidak pernah berubah.
Tahun 1990 (kelas 3 SMA), saya pernah nonton dangdut di bawah hujan, ihlas basah-basahan karena yang manggung artis seksi. Itu peristiwa nonton terakhir. Karena selepas 1991 saya malah jadi panitia yang sering ngadain pertunjukkan dangdut.
Tapi jangan salah, sebelum peristiwa nonton basah-basahan itu, saya punya peristiwa nonton panggung dangdut yang pertama. Benar-benar karena pingin nonton pertunjukan dangdut di tengah lapangan yang dikarcis itu seperti apa. Apalagi di rumah saya sejak bayi tidak ada satupun kaset dangdut. Dan hasilnya, saya 100% puas oleh suara Imam S. Arifin. Ini bisa untuk menglarifikasi, bahwa saya puas nonton bukan karena seksinya artis perempuan. Untuk yang merasa hidup di zaman now, silahkan klik YouTube atau nonton VCD lagu dangdut yang judulnya, Aku Lelaki Dia Lelaki.
Ini liriknya:
Kau pembohong
Dan kau pendusta
Mengapa engkau
Menyintai diriku
Dia lelaki aku lelaki
Dia punya cinta
Aku pun sama
Tetapi aku yang lebih dulu
Mengenal dirimu mendapat cintamu
Tapi mengapa kau berpaling cinta
Karena melihat dia banyak rupiah
Dia lelaki aku lelaki
Dia punya cinta
Aku pun sama
Seperti gincu merah menghiasi bibirmu
Pagi kau ucapkan sore hilang cintamu
Seperti tajamnya kuku yang ada dijarimu
Engkau tinggalkan luka dalam hatiku
Engkau mainkan
Sandiwara cinta
Dengan cerita
Sejuta dusta
-----
Sebagai laki-laki sejati tentu saya suka laki-laki. Artinya, semua yang mengangkat derajat kelaki-lakian saya pasti suka.
Ketika membuat promosi panggung dangdut yang disiarkan radio, saya biasa bikin kalimat, ".... kita saksikan si cantik dan si seksi ..... bla bla bla". Pendeknya, cantik dan seksi di situ saya jual.
Bahkan di acara apresiasi sastra, saya biasa berucap, menyintai kebaikan dan keindahan itu, seperti nikmat menyintai perempuan. Dengan harapan, terangsangnya para pendengar pada frase 'menyintai perempuan', membuat posisinya tetap sebagai orang baik yang berkeindahan. Sepintas kalimat itu untuk laki-laki. Bohong. Jangan jadi ahli bahasa kalau masih berfikir cekak begitu. Sebab kata-kata, menyintai perempuan, yang bersifat humanis-universal itu, artinya justru mengungkapkan bahwa perempuan itu 'doyan' dicintai. Itu penjelas dan penegas. Barulah kelihatan bahasa ditempatkan sebagai bahasa pergaulan antar manusia. Bahasa sosial.
Cantik, indah, bibir, kedipan mata, bening bola matamu, payudara, buah dada, paha, pinggul, tersingkap, suara lirih, leher, pipi, air mata di pipi, jemari tanganmu, punggung, jilbab, senyuman, gerai rambut, dll adalah hal yang biasa muncul di puisi-puisi cinta, atau puisi sosial apa saya ketika mendeskripsikan wanita yang pantas dipuja-puja.
Itu sungguh adab. Pengucapan terberani untuk sensualitas. Beradab.
Maka pantas saja beberapa teman juga menyebut saya, Penyair Dangdut, sebab selain penyair, saya juga penyiar, MC, juri, dan panitia dangdutan.
Ketika membahas tarian, meskipun 75% bicara posisi seni tradisi sebagai potensi daerah, aset yang membahasakan berbagai perlambang, kesemestiannya menjaganya di berbagai kebutuhan panggung yang berbeda. Tetap saja. Ketika sedikit saja bicara sisi sensualitasnya yang eksotik, mendadak seperti bagian paling tebal dalam pembahasan. Apalagi ketika menyebut bokong atau goyang pinggul. Sudah. Itu menjadi poin. Dan saya menyadari itu, sekaligus masabodoh.
Pengamat yang sensitif pun dengan segera menanggalkan bahasan yang lain. Yang disorotinya, Gilang Teguh Pambudi menganggap goyang Inul tahun 2000-an itu logika panggung umum. Meskipun pro kontra.
Ya, saya pernah tidak menggubris surat dan rekaman suara Rhoma Irama yang meminta radio-radio tidak memutar lagu-lagu Inul dkk. Tapi surat dan rekaman itu saya simpan di laci meja kerja saya.
Sudah resiko saya. Bahkan seorang teman yang kebetulan Wakapolsek pun pernah komen, "Wah, Pak Gilang enak, dikelilingi para penyiar dan SPG yang cantik-cantik". Padahal waktu ada polisi dari Binamitra Polres datang ke kantor saya didampingi dua Polwan cantik, saya berbisik dalam hati, ""Wah, polwannya pantes jadi istri saya tuh". Itu menunjukkan, tidak cuma orang Radio yang dikelilingi cewek cantik.
Selain itu, saya mau cerita rahasia panitia yang sepanggung dengan artis-artis cantik dan seksi. Bagi saya, itu adalah kerja. Ketika saya jadi MC, selama seorang artis menghibur penonton, saya selalu sibuk dengan kelanjutan acara itu. Biasanya ngomong sana ngomong sini, bisik sana bisik sini. Gak ada waktu buat nonton artisnya. Apalagi ketika jadi panitia. Urusannya lebih kompleks. Kadang-kadang panggung hiburan sedang berlangsung, di bawah bersama sponsor saya malah sedang diskusi tentang panggung selanjutnya di tempat lain. Bicara juga soal distribusi produk dan daya beli masyarakat. Boro-boro ada waktu buat nonton artisnya. Kecuali selintas-selintas saja. Tetapi tetap saja, keesokan harinya ada fans Radio yang bilang, "Wah enak nih seharian di tengah artis seksi-seksi".
Lalu saya jawab, "Pertunjukan depan artisnya lebih cantik dan seksi lagi".
Bahkan kadang saya membayangkan. Kalau saya jadi Bupati, saya harus minta maaf. Meskipun saya suka sama penari dan penyanyi yang menarik, tetapi setelah meresmikan suatu acara dan menonton pertunjukan panggung sebentar, mungkin saya akan segera pergi untuk tugas yang lain. Cantik dan seksinya biar untuk masyarakat saja.
Itu sebabnya seorang Bupati itu sering saya sebut, dia adalah penyanyi dangdut, vokalis band, penari jaipong, cheerleader, pemain bola, petani, dst. Karena dia yang telah sukacita mengatakan, "Ini untuk kalian". Tidak harus mendadak jadi seniman ketika jadi bupati kan?
Begitupun selaku narasumber senibudaya, saya pasti dibilang, representasi dari semua yang diapresiasi. Dan yang paling heboh, ketika sampai pada pembahasan yang sensitif. Termasuk soal lukisan dan patung wanita setengah telanjang.
Apakah ini pula yang menyebabkan tudingan doyan wedo'an, suka perempuan, selalu di alamatkan kepada semua seniman laki-laki? Bisa jadi. Tetapi karena materi-materi relijius juga sering saya bawakan, maka di kalangan mereka inilah saya menjadi yang paling omes (otak mesum). Paling blak-blakan ngomen yang serba sensual itu.
Bahkan kalau bicara dunia pariwisata, saya termasuk pihak yang dianggap bisa menengahi. Misalnya ketika saya mengatakan, diterimanya goyang dangdut, jaipong, bahkan senam masal yang eksotik oleh masyarakat lokal, percaya atau tidak, itu adalah bahasa universal yang mengakibatkan turis bercelana pendek mau datang ke kota kita. Kalau tidak ada maskot itu, mereka akan risi. Kecuali kalau Perda-nya sudah paten, para turis dilarang masuk pakai celana pendek dan kaos oblong. Pasti mereka akan tahu diri, masuk berkerudung, atau tidak akan pernah datang sama sekali.
Terakhir, coba hidangkan pelacur atau wanita yang siap melakukan seks bebas (hubungan di luar nikah) ke depan saya. Pasti saya kabur ketakutan. Pasti saya akan disebut laki-laki picik yang cuma doyan minum kopi sambil lihat burung kicau.
Alhamdulillah, gara-gara segala pendirian dan kebiasaan saya, di belakang panggung pertunjukan apapun, bagaimanapun, saya tetap sholat, tetap berdoa.
Maka saya bilang, hilangkan lokalisasi pelacuran. Tutup tempat-tempat hiburan yang dipakai tempat penyebaran narkoba. Hindari mabuk-mabukan. Hindari premanisme, tawuran dan tindak kriminal. Tolak budaya grebek yang tidak berprikemanusiaan. Hiduplah dengan cinta yang besar. Sebab di situ kita bisa saling menitipkan nyawa dan harga diri.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar