PENYAIR MENYANYI

SETELAH KALIMATNYA

lalu
aku
datang

-----

LANGIT MANUSIA

langit kemanusiaanmu 
cinta
mengapa bumi tubuhmu
lupa

-----

TAHUN RANDU

sebelah mana randu kampungmu?
benarkah di lembar daun sebelah dalam
tertulis pergantian tahun?
sehingga kita tak bisa melupakan
satu sakit pun

-----

WISATA

anak-anak kemari
ada api unggun di dalam puisi
kita wisata ke dunia nyata

Kemayoran, 2011-2017
#puisipendekindonesia 
-----

Apa komentar Anda kalau di suatu daerah atau kota, ada seseorang yang ngaku biduan, penyanyi dangdut, tetapi dia punya cukup alasan: 1. Suka musik dangdut. 2. Bisa nyanyi dangdut. 3. Sering menerima panggilan naik panggung. 4. Goyangannya disukai penonton. 5. Punya penampilan menarik walaupun tidak terlalu cantik kata penonton. 6. Seksi menurut ukuran wanita Indonesia pada umumnya. 7. Atraktif dan komunikatif pembawaannya di panggung dengan penonton.

Ya, terlepas dari penting gak penting disebut penyanyi lokal, dia memang seorang penyanyi. Sah. Bisa diakui dan dielu-elukan di kotanya. Atau, ada juga yang menyebutnya artis kabupaten. Terutama karena poin yang ke dua, yaitu bisa nyanyi. Tentu saja dengan ukuran suara standar, merdu, tidak fals, dan khas.

Pendeknya, pasar lokal pun meminta syarat kemampuan dan penampilan penyanyi. Tidak cuma untuk ukuran artis Nasional dan artis rekaman saja yang dituntut persyaratan tertentu itu.

Tapi bagaimana jika ada penyanyi lokal yang juga ngaku-ngaku artis di suatu daerah, tetapi suaranya fals. Kalaupun dia disukai penonton, itu karena dia cantik, seksi, dan goyangnya bagus. Jangankan untuk masuk dapur rekaman, bahkan orang awam yang tidak bisa nyanyi pun tahu, dia kalau nyanyi sering fals. Tapi dimaklumi oleh grup band-nya dan penonton. Yang penting heboh dan bisa diterima tampil. Sebab itu bukan semata panggung nyanyi tapi juga panggung pertunjukan.

Dari ilustrasi itu kita bisa membaca dua bentuk eksistensi penyanyi di daerah. Yaitu yang sebenar-benarnya bisa nyanyi dan yang tidak bisa nyanyi, meskipun standar lain-lainnya sama. Suka dangdut, sering tampil, bisa goyang, atraktif, dll.

Tentu. Tentu. Kalau model yang kedua, yang sesungguhnya gak bisa nyanyi itu, sampai kentut-kentut ngaku seorang penyanyi hebat dan merasa terkenal di daerahnya, masyarakat akan masabodoh saja. Tenang-tenang saja. Kalaupun punya tertawa, cukup dalam hati. Itu jauh lebih baik daripada menolak sampai terkentut-ketut juga. Lagipula kalau dia manggung, penonton masih bisa lihat goyang seksinya. Depan panggung bisa mendadak penuh. Itulah pertunjukan.

Lalu apa hubungannya ilustrasi penyanyi dangdut dari suatu kota atau daerah itu dengan penyair?
  
Ya, penyair tentu punya jawaban matang untuk semua pertanyaan berikut ini:

1. Mengapa anda jadi penyair atau berani ngaku penyair?

2. Apa kemampuan dasar penyair itu?

3. Apa guna bahasa, atau seperti apa posisi penyair dan bahasa itu?

4. Mengapa pertanyaan ke tiga, apa guna bahasa, bukan apa guna bahasa Indonesia?

5. Apa hubungan penyair dengan tata bahasa, dan bagaimana secara naluriah ia bisa menembus ketentuan baku bertata bahasa?

6. Adakah hubungan puisi dengan kalam ilahi?

7. Apa bedanya pencinta syair dan penyair?

8. Apa bedanya pembaca puisi dan penyair?

9. Apa bedanya penyair dengan guru sastra?

10. Bagaimana cara penyair baca puisi, atau haruskah seorang penyair punya kemampuan yang sama dengan juara-juara lomba baca puisi?

11. Apakah seorang penyair harus memiliki puisi yang pernah dimuat koran atau majalah?

12. Apakah setiap juara lomba baca puisi pasti jadi penyair? Demikian pula apakah setiap yang pernah nulis puisi di koran pasti jadi penyair?

13. Apakah popularitas seorang penyair segaris dengan kualitas prestasi (kerja) kepenyairannya?

14. Apa hubungan penyair dengan Tuhan dan agama?

15. Apa hubungan penyair, kemanusiaan, dan persoalan-persoalan sosial?

16. Dalam peta politik kebudayaan (manusia), di mana posisi penyair?

17. Apa yang dimaksud penyair membangun bangsa dan negara?

18. Apakah kisah kehidupan penyair terpisah dari teks puisi yang disidang oleh pembaca sastra secara terbuka?

19. Apakah benar komunitas sastra dan lomba baca puisi dengan tema lingkungan atau tema sosial bermaksud mencetak penyair?

20. Apakah pantangan terbesar seorang penyair itu menyatakan, saya gagal jadi penyair?  Atau mengatakan, dulu saya suka nulis puisi. Atau yang srupa dengan itu? Apa sebabnya?

21. Bagaimana cara suatu lembaga di daerah, atau lembaga tingkat nasional, jika ada, untuk mendata nama-nama yang pantas disebut penyair di daerahnya, atau penyair Indonesia, termasuk apa pantasnya nama Anda tercantum di sana?

22. Apakah seseorang pantas disebut dan didata sebagai penyair, meskipun puisinya yang dimuat koran baru satu-dua judul, termasuk jika Anda yang mengalaminya?

23. Setujukah Anda kalau para penyair di seluruh kota dan kabupaten se Indonesia yang berkarya puisi dengan bahasa Indonesia disebut Penyair Indonesia atau Penyair Nasional?

24. Dll

Saya mau bilang. Meskipun poin 24 dst masih bisa ditambahi beberapa pertanyaan lagi. Tetapi menurut hemat saya, kemampuan menjawab ke 23 pertanyaan itu akan sangat membantu para pengamat sastra, pemerhati penyair, dan masyarakat umum untuk menilai, bahwa seseorang pantas disebut penyair atau tidak! Seumpama menyebut penyanyi model pertama dalam ilustrasi di awal tulisan ini. Semua syarat terpenuhi, tetapi yang jadi poin utamanya, dia memang jago nyanyi dengan benar, tidak fals.

Tentu. Pertanyaan-oertanyaan itu bisa dibuat lebih singkat, lebih simpel. Tetapi berpanjang lebar pun punya keasyikan. Punya manfaat.

Lalu bagaimana kalau ada penyair yang semisal penyanyi dangdut model kedua? Suka ngaku-ngaku penyanyi sampai terkentut-kentut, tapi fals terus nyanyinya. Meskipun punya penggemar juga pada bagian khas-khasnya.

Yang jelas selain komunitas penyair yang terdiri dari para penyair, kita juga mengenal komunitas pembaca syair (komunitas baca sajak) di panggung-panggung puisi, komunitas pembaca karya sastra di rumah-rumah, dan komunitas guru sastra. Bahkan mengenal komunitas jurnalis senibudaya yang profesional, yang punya rubrik atau ruang sastra.

Jangan salah, sebagian yang masuk katagori komunitas baca sajak di panggung dan komunitas pembaca karya sastra di rumah-rumah, itupun mungkin pernah juga juara baca puisi sejak TK hingga Perguruan Tinggi, bahkan sekali-dua pernah juga puisinya dimuat koran atau majalah.

Yang jelas juga, siapapun kita, semua adalah masyarakat sastra Indonesia. Jangan kalah sama penyanyi dangdut yang fals itu, atau para penyanyi karaokean. Mereka tetap bersenang-senang dengan kesenian yang disukainya itu. Dalam sastra pun berlaku hukum itu. Syair pun bisa untuk gaul dan senang-senang.

Bahkan percaya atau tidak, dalam suatu Lomba Baca Puisi atau Malam Puisi tertentu dengan tema lingkungan hidup, misalnya, yang menjadi poin penting adalah kesadaran akan persoalan lingkungan dan kerja sosial di situ pada segenap aktivis lingkungan yang terlibat. Tidak sedikit aktivis lingkungan yang ikut lomba dan ikut malam puisi itu ternyata baru pertama kalinya tampil baca puisi, itupun karena dipaksa. Tapi akhirnya, ada kesukacitaan bersastra bersama, meskipun kerja utamanya (atau tujuan panitianya) menyelamatkan lingkungan. Ini bagian yang penting diingat.

Meskipun ada juga Lomba Baca Puisi dan Malam Puisi sejenis yang dibuat semacam reuni (forum silaturahmi) para pencinta sastra yang peduli lingkungan, yang diharapkan oleh panitia dapat menularkan suatu wacana penting tentang kondisi lingkungan kepada komunitas yang sama dan masyarakat umum.

-----
PUISIKU SEDANG BEKERJA

ketika bunga
terbit pada kuncupnya
puisiku sedang bekerja
tak bisa kau ganggu
wangi mahkota
memilih wanita

Jakarta, 122016
------

KOTA PENYAIR

seribu penyair
lahir setiap hari
di kota sekecil ini
masih kusambut
sukacita

Kemayoran, 2011-2017

-----

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG