TAHUN BARU, KEMBANG API, DAN ADIL SEJAHTERA
MASA HIJRAH (CAHAYA)
menembus
menebus
waktu
-----
SELAMAT PAGIMU
tahun baru
selalu
Kemayoran, 29122017
------
Dalam tulisan saya sebelum ini sudah dibahas selintas, tentang tahun baru (tahun baru Masehi) yang merupakan tahun baru nasional Indonesia. Tidak terlalu penting dalam skala internasionalnya, sebab tidak ada perjanjian yang tegas apa-apa sebenarnya. Kalaupun ada sekalipun, masih kalah sama prinsip humanism-universalnya. Semisal ketika suatu penelitian atau ulasan menyebut SM (sebelum Masehi) dan M (Masehi), ini hanya sebuah pilihan dan kebiasaan. Sesungguhnya bisa menggunakan tahun apapun, sama saja, yang lalu diberi penjelasan berdasarkan tahun-tahun lain untuk diketahui sebanyak mungkin orang. Bisa menggunakan tahun H (Hijriah) lalu dijelaskan tahun Masehi-nya, dst. Sebab di dalam ruang tatakelola nasionalitas kita, tahun baru sudah bagian dari kesadaran, kesepakatan dan kesepahaman.
Tahun baru di Indonesia adalah proses mengikuti perguliran kalender harian dalam surat-menyurat resmi di negri ini. Dalam ketentuan administrasi di Indonesia. Juga dalam pengaturan hari kerja, hari libur minggu, dan hari libur nasional. Kita tentu sudah biasa membaca keterangan semisal, tanggal sekian Hari Raya Nyepi, tanggal sekian Hari Raya Idul Fitri, dst. Keterangan itu ada pada kalender nasional kita berdasarkan tahun Masehi itu.
Sejak kapan penggunaan tahun Masehi itu? Sesungguhnya negara, melalui presiden pertama sudah memikirkan, apakah kita akan menggunakan kalender tertentu pasca kemerdekaan? Bahkan apakah akan memakai kalender Jepang atau Arab? Tetapi kenyataan telah menunjukkan, masyarakat Indonesia sudah biasa menggunakan kalender Masehi sejak ratusan tahun silam untuk urusan administrasi. Meskipun ada yang menyebut, warisan budaya Belanda. Sedangkan untuk acara-acara keagamaan, mayoritas bangsa Indonesia sudah biasa dengan kalender Islam. Maka dua kalender ini jelas paling menonjol pada era pasca kemerdekaan. Adapun kalender Jawa dan kalender tradisional lain, itu berada pada kelompok pengaji tertentu, tidak terlalu populer lagi bagi masyarakat awam modern. Apalagai secara nasional. Tetapi benar, kalender Jawa masih digunakan secara efektif terutama di pulau Jawa.
Kalau kemudian pemerintah cenderung menggunakan tahun Masehi seperti yang kita kenal saat ini, termasuk menyebut 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan kita, tidak berdasarkan kalender lain, tentu itu masuk akal. Logika normal. Secara kultural-kemanusiaan, itu sikap menghargai kebiasaan yang sudah kadung populer, tanpa beban sejarah pada kalender itu. Bahkan kita sukacita menyebut, 10 Nopember, 20 Mei, 21 April, 22 Desember, 2 Mei, 1 Okrober, 1 Juni, dst sebagai hari-hari tertentu yang bernilai peringatan peristiwa bersejarah.
Beban sejarah kita bukan pada penggunaan suatu kalender tertentu. Tetapi pada prinsip menolak penjajahan. Bahkan kepada Belanda dan Jepang pun, beban sejarah kita adalah kepada penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang, bukan pada kerjasama dengan negara dan bangsa itu pada hari ini.
Kalau kepada Jepang dan Belanda hari ini, kerjasama kita tentu sangat baik-baik saja.
Memamg sempat ada isu yang di kemudian hari tidak terlalu populer. Yaitu penggunaan kalender Masehi itu berkaitan erat dengan misionaris Kristen yang berada di balik penjajahan Belanda. Sejak ratusan tahun silam. Sebagai kalender baru setelah kalender Nusantara dan kalender Arab (Islam). Bahkan ada juga persangkaan, kemenangan penjajah saat itu telah diikuti pula oleh misionaris Kristen yang kuat, termasuk dalam hal menerapkan kebiasaan bertahun baru Masehi. Tetapi, jika dikembalikan kepada tujuan penjajahan Belanda, penggunaan kalender itu semata-mata untuk kepentingan administrasinya. Sama seperti yang berlaku di negri Belanda dan Eropa pada umumnya. Dari sinilah maka tahun Masehi ditempatkan oleh negara sebagai kalender nasional bukan berdasarkan Agama tertentu. Ini menentramkan.
Apalagi dari pengalaman saya ngobrol dengan famili yang Manado-Kristen, di masa perang kemerdekaan mayoritas masyarakat Manado yang Kristen itu pun anti penjajah, pro-kemerdekaan Indonesia, bukan pendukung penjajahan. Pesta kemenangan 17 Agustusnya selalu semarak.
Adapun keterkaitan Agama Kristen, Natal dan Tahun Baru hingga saat ini, itu bagian dari khas mereka. Kebetulan yang mereka miliki dan syukuri dengan sukacita.
Di negara Indonesia yang mayoritas muslim, tentu beda kondisi sosialnya dengan di negri-negri Arab. Kita punya kebiasaan sosial, tatakelola administrasi berdasarkan tahun Masehi selama ratusan tahun, tanpa beban sosial apapun. Dan itu sudah sangat populer. Tidak ada perjuangan luarbiasa, demonstrasi, atau perang melawan kalender/tahun. Dan untungnya lagi, kalender itu bukan kalender Belanda (sebagai satu negara berdaulat) yang diterapkan di Indonesia, tetapi kalender yang telah berlaku di berbagai negara. Bisa disebut, kalender internasional. Meskipun di kalangan negara-negara berpenduduk muslim, baik sebagai mayoritas maupun minoritas, kalender Hijriah juga berlaku secara internasional.
Maka memasuki tahun baru ini, kita sebagai warga bangsa Indonesia patut saling mengucapkan selamat tahun baru. Yang artinya, saling berharap dan mendukung agar tercipta keselamatan pada seluruh individu, tanpa kecuali, dan pada segenap elemen bangsa. Bahkan mendukung, turut berperan aktif menciptakan perdamaian dan keselamatan dunia. Minimal melalui seluruh sikap dan perbuatan di dalam negri yang menginspirasi perdamaian dunia itu. Membangun diri dan lingkungan sekitar, sebagai upaya dan bagian dari membangun dunia internasional.
Bolehkah meniup trompet di malam pergantian tahun? Tentu, tiuplah trompet dengan sukacita dengan memaknai maksudnya secara sempurna. Karena yang terpenting, kita menghindari hura-hura yang serba tiada guna.
Bolehkah bakar ikan bakar ayam, makan ini makan itu yang spesial? Lakukan saja, karena intinya, itu membangun kebersamaan keluarga dan pertemanan. Yang penting kan tidak memaksakan diri, menyulitkan syareat hidup, atau malah merusak persaudaraan.
Lalu petasan dan kembang api? Kalau yang ini selalu kontroversial. Pada kembang api sekalipun, ada batasan minimal dan aturan cara penggunaannya. Secara hukum, penggunaan kembang api bisa sampai pada derajat lebih baik ditinggalkan. Atau lebih berpahala kalau ditinggalkan. Meskipun jika terukur dan aman, dalam batas tertentu, kembang api adalah bagian dari kesukacitaan anak-anak pada gemerlap cahaya. Yang secara filosofis, baik buat mereka. Punya muatan pencerahan.
Kalau di dalam kebudayaan Islam Nusantara, terutama di malam Tahun Baru Hijriah, pawai obor adalah ikon nomor satu. Sentrum pengajian cahaya diri, cahaya prikemanusiaan. Meskipun tradisi ini harus terus diakali supaya lestari, terutama pada era minyak tanah mulai langka. Tentu pada suatu kondisi tertentu, lebih baik obor ini diganti saja dengan tongkat berbatre (semodel tongkat polisi dengan bentuk dan warna yang beda atau bervariasi, ini peluang bisnis tahunan) daripada diganti pesta kembang api. Ada juga di daerah-daerah tertentu yang memang sudah sejak lama, atau pada sebagian ada yang baru melakukan terobosan kreatif, berpawai dengan menggunakan lampion, sama seperti pada tradisi Cina. Bagi daerah yang masih menyebutnya lampion, sudah pasti itu adalah hasil adaptasi budaya, Muslim-Cina.
Jangankan pada petasan (mercon), penggunaan kembang api yang tidak sesuai dengan kenyamanan hidup pun haram. Ini karena letusan petasan lebih sensasional, mengagetkan, mengganggu, dan berbahaya. Tetapi masyarakat kita pasti banyak yang gagap paham ketika kita menyebut, petasan dan kembang api itu haram. Seolah-olah ada aturan baru, pengharaman secara tiba-tiba. Ini terjadi pada banyak fatwa haram. Termasuk pada pengharaman menggunakan media sosial. Padahal maksudnya, haram menggunakan media sosial untuk tujuan yang yang haram. Termasuk munculnya wajah muslimah di media ini. Kalau tujuan munculnya haram, ya haram. Karena medsos itu ibarat senjata atau gaman, tergantung tujuan pemakainya. Tetapi kalau kemunculan foto itu untuk tujuan yang baik-baik saja, ya tentu saja halal. Malaikat pun mafhum.
Memang, pasti akan selalu muncul masalah, ketika pihak yang mengharamkan tidak bermaksud demikian. Tidak persegi (Ka'bah) begitu. Misalnya, ketika dengan tujuan baik atau buruk, memajang foto muslimah di media sosial internet dianggap mutlak haram. Padahal sikap seperti ini mestinya menjadi (jalan) tarekat kelompok tertentu.
Tetapi sudah biasa di masyarakat kita, kadang mereka terpaksa berlindung pada negara dengan berkata, "Untung negara tidak mengharamkannya".
Meskipun masyarakat juga banyak yang kecewa, untuk suatu hal tertentu pemerintah atau negara semestinya sudah memasukkan 'sesuatu itu' ke dalam klasifikasi haram, melanggar hukum. Tidak dibiarkan bebas.
Sementara pada hal lain, masyarakat melihat, kadang negara malah terlalu maju, memaksakan diri untuk melarang sesuatu hal sebagai perbuatan haram, padahal semestinya cuma dibutuhkan aturan formal untuk sesuatu yang halal itu. Sebab keteraturan itu utama.
Semoga tahun baru yang selalu dimaknai Masa Hijrah (CAHAYA)
menembus
menebus
waktu
sebagaimana kata ummat Islam: hijrah itu setiap saat, juga merupakan momen yang cerah bagi keadilan hukum di negri Merah Putih ini.
Juga ditandai dengan kemajuan masyarakat terdidik berkarakter, bukan melulu memakai ukuran strata sekolah formal yang cenderung selalu gagal. Sehingga tentram dan selamat lahir-batin. Serta ditandai dengan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat yang terus meningkat, sehingga masyarakat sejahtera.
------
SELAMAT PAGIMU
tahun baru
selalu
------
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar