OLLOH, TUHAN, DAN GUSTI ALLAH

INI MESJID

mesjid damaiku
memetik hening 24 jam
wangi nabi
-----

MINGGU ALLAH

Ngerti Al-Qur'an
Ngamalin Sunah Nabi SAW
Percaya kalimat ulama yang lurus
-----

SPIRITUALITAS LINGLUNG

Memahami agama yang lurus saja sulit
Sampai harus putus asa
Memahami Allah saja payah
Sampai harus ditinggalkan
-----

HAL SPIRITUALITAS

garis miring
tegak
-----

RAHMAT

hadir sebagai manfaat
sebagai penyelamat
-----

TAREKAT CINTA

sudah
jam
tiga
-----

MATACADAR

sudut pandang
ujung pandang

Kemayoran, 2011-2018
#puisipendekindonesia
------

Sabtu sore, 27012018 ini, sekitar pukul 14:00, pulang kerja ngasih makan-minum dan menjemur burung, langsumg siap-siap depan TV. Ketemunya pertandingan bola Piala Presiden, Mitra Kukar vs Barito Putra. 

Yang menarik ada iklan yang bikin senyum. Tepatnya iklan minuman energi, Kuku Bima dengan bintang iklannya pemain bola asing asal Mali, Makan Konate. 

Iklan ini sudah sering saya lihat. Memang mendatangkan senyum, tanpa mengurangi nilai sakralnya. Betapa tidak, dengan logat khasnya, ternyata Makan Konate biasa menyebut kata Allah yang biasa dibaca Alloh dengan mengucapkan, Olloh.

Bagi saya itu fenomena biasa. Mungkin itu cuma soal logat atau kebiasaan. Tetapi tentu tidak akan mengurangi relijiusitas seorang Makan Konate yang di lapangan bola biasa melakukan sujud syukur kalau habis mencetak gol. 

Tapi pada Sabtu ini saya mendengar iklan yang sama tetapi beda. Apa pasal? Sebab Makan Konate tidak menyebut Olloh tetapi Tuhan. Mungkin tim kreatif berusaha menyelamatkan logat Makan Konate supaya terdengar tegas. Meskipun menurut saya gak terlalu penting. Atau pihak tim kreatif memang sudah menyiapkan dua naskah iklan dengan memasukkan dua kata, Allah dan Tuhan. Entahlah. Bukan itu persoalannya.

Apa yang terjadi pada Makan Konate, mengingatkan saya pada masa kecil saya di Curug Sewu, Kendal, Jawa Tengah. Kebetulan saya lahir di sana, di sebuah perkebunan kopi, dan tinggal sampai kelas 4 SD. Dari sejak kecil saya tidak pernah menyebut Allah (Alloh), kecuali saat berdoa, sholat, dan takbiran. Karena kebiasaan dalam pergaulan kami ketika itu, sebutan yang bernilai sangat tinggi itu adalah, GUSTI ALLAH, dengan mengucapkan 'Alah dengan dobel l' untuk kata Allah.

Tetapi dalam rasa kami saat itu, menyebut Gusti Allah sudah sangat kusyu dan menggetarkan. Begitupun ketika mendengar para orang tua atau para guru di sekolah mengucapkan itu. Haruskah saat itu kami disalahkan dan dituding berdosa? Tentu tidak perlu. 

Ketika pada kelas 4 SD kami sekeluarga pindah ke perkebunan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, barulah saya terpengaruh teman-teman untuk mengucapkan Allah (Alloh). Tetapi bagi saya itu bukan ralat. Bukan proses penyempurnaan. Sebab di rumah saya tetap biasa mengucapkan Gusti Allah.

Kiranya catatan singkat ini bisa membuat kita selalu dewasa dan bisa lebih arif membaca khas  relijiusitas seseorang dengan memaklumi budaya lokalnya. Yang penting keyakinannya tidak sesat. Lurus-lurus saja.

Kita juga tidak boleh buta dan terlalu keras, dengan menolak kata Tuhan dalam adab berbahasa Indonesia. Sebab dalam bahasa nasional dan bahasa pemersatu bangsa ini, ummat Islam memang sudah terbiasa menyebut Tuhan Yang Maha Esa, selain menyebut Allah. Tentu ini bukan sikap kekafiran. 

Seperti halnya kita juga tidak bisa menyalahkan kata sembahyang selain kata sholat. Sebab selain itu benar, sudah terlalu banyak puisi, cerpen dan novel yang ditulis oleh sastrawan Indonesia menggunakan kata sembahyang. Tentu tidak bijak jika puisi, cerpen, novel dan tulisan-tulisan itu dihakimi tidak relijius atau tidak 'nyastra'.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG