SYS, RADIO, DAN KERESAHAN GILANG TEGUH PAMBUDI

FREKUENSI

radio memutar lagu
aku memutar rindu
kau pasti menunggu

Kemayoran, 2011-2018
-----

Sys NS. Disebut TV belakangan ini, sebagai orang radio yang telah pergi. Pulang keharibaan Tuhan untuk selama-lamanya. Saya bilang, "Selamat jalan, Teman".

Saya sendiri selama ini cuma pernah sekali bertemu, itupun dalam forum MUNAS PRSSNI, tanpa tegur sapa pribadi. Mungkin dia juga dengar waktu saya teriak di momen itu, "Sebelum saya mati semoga PRSSNI jauh lebih maju dari saat ini!" Ya, sebab PRSSNI saya lihat cuma sebuah organisasi yang 'dingin' tanpa dikenal geliatnya oleh masyarakat, bahkan oleh kaum jurnalis dan komunitas-komunitas senibudaya se Indonesia.

PRSSNI. Terobosan, pengaruh, dan stateman jurnalistiknya tidak terasa sama sekali. Dalam hal senibudaya cuma dikenal tak ubahnya sebagai media hiburan belaka, beda tipis dengan 'diskotik yang sehat'. Tak punya tanggunghawab besar pada eksistensi dan tumbuh-kembang senibudaya Indonesia.

Sebagai lembaga yang berpengaruh ke dalam, tidak besar dampaknya pada upaya mengangkat citra dan eksistensi radio sebagai media promosi, pemberitaan, pendidikan, dan hiburan, serta tidak terlihat sebenar-benarnya mengangkat eksistensi manusia penyiar. Seorang penyiar tidak pernah menjadi gagah karena merasa organisasi PRSSNI telah berhasil mengangkat profesionalitasnya di tengah publik luas. Tidak seperti PWI yang mampu mengangkat citra dan profesi wartawan. Bahkan kadang saya terpaksa harus melihat, tidak seperti TNI dan POLRI yang nama lembaganya membuat gagah seorang pribadi prajurit. PRSSNI, tidak punya nama dan kehangatan. Sangat dingin. Nyaris beku. Padalal jaringan siarannya dari pusat sampai ke pelosok-pelosok. Apalagi PRSSNI tak ubahnya cuma tempat ngumpul para ditektur atau tempat arisan. 

PRSSNI tidak pernah meledak-ledak dalam arti positif. Menjadi energi yang sangat besar pada kehidupan sosial-budaya kita.  Padahal bukan alamat kesejukan juga. Silahkan tanya kepada sebagian yang pernah mengurusnya, pasti kalimat saya ini disangkal. Padahal penyangkalannya sudah lama ditertawakan mikrofon dan komputer di ruang siaran.

Itu sebabnya waktu saya tugas di Sukabumi dengan gregetan saya pernah mencatatkan nama nyalon jadi Ketua PRSSNI. Tapi jelas, di depan peserta Muscab saya disebut, ditolak AD/ART karena seorang Kepala Studio seperti saya bukan pemilik/penanggungjawab radio. Tapi setidaknya, saya ngacung dengan suatu alasan yang kuat.

Itu kenangan, yang saya kira teriakan itu juga didengar oleh Sys NS dkk dalam Munas itu. Bahkan seusai Munas itu, dalam Musda di Jawa Barat semua peserta dimintai usulannya untuk kemajuan organisasi. Tentu saya ikut menulis, tapi persisnya lupa. Mungkin tak jauh dari soal wibawa organisasi, meningkatkan daya jual siaran radio, dan berkepedulian serius pada profesi penyiar radio termasuk peduli pada kesejahteraannya. Sebab itu yang biasa saya diskusikan dengan teman-teman siaran.

Jangan sampai imej forum organisasi PRSSNI cuma diterjemahkan oleh para penyiar dan seluruh crew radio, "Para direktur sedang ngumpul".

Oleh karena itu ketika TV -TV memberitakan bahwa Sys adalah orang radio yang ngartis sampai sempat main film segala macam, saya malah tidak tertarik. Meskipun selama ini salut dan memghargai kemampuan Sys melakukam ini itu.

Sebab apa? Harga diri penyiar itu yang utama adalah profesionalitas di dunia siaran, bukan yang lain-lain. Begitupun yang disebut jurnalis radio. Oleh karena itu apa kaitannya penyiar yang seorang penyanyi dangdut? Penyiar yang penyair? Penyiar yang bintang film? Dll. Itu kan cuma kondisi khas seseorang di luar konteks profesi utama penyiar dan jurmalis radio.

Penyiar yang juga seorang penyanyi dangdut, yang sampai punya beberapa album rekaman, itu memang akan dihargai oleh dua dunia, dunia radio dan dunia musik. Tapi jika dia mau unggul, profesional di dunia radio mesti menonjol sisi keradioannya bukan dunia nyanyinya. Begitupun meskipun seseoraog penyiar itu juga seorang penyair yang telah menerbitkan beberapa buku. Atau sekaligus bintang film yang punya beberapa film.

Sekali lagi, keunggulan Orang Radio Indonesia mesti dilihat dari lingkup keradioannya. Sebab akan sangat menyakitkan kalau profesi ini menjadi lebih rendah dari profesi yang lain. Bahkan profesi penyiar radio secara pribadi-pribadi tidak berada di posisi yang lebih rendah dari direkturnya. Itu kan cuma soal berbagi tugas dan tanggungjawab.

Jika TV mengangkat berita meninggalnya Sys NS karena dianggap pantas diberitakan, karena dia pernah main film dan punya kreatifitas di TV menurut saya itu menjadi sangat tidak mengagumkan, meskipun itu teori halal. Apalagi kalau ditelusuri, program TV dan dan main filmnya tidak menonjol dalam standar keumuman prestasi di situ. Wah Sys (orang radio) jadi jatuh dong.

Mestinya kalau TV merasa pantas mengangkat berita Sys sebagai orang radio, angkatlah bahwa dia orang kuat, berpengaruh, dan visionar di dunia radio. Pasti para penyiar se Indonesia senang. Yang lain-lain cuma berita tambahan. Kecuali kalau dunia film dan dunia TV akan memgangkat nama Sys sebagai orang film dan orang TV yang kuat dan berpengaruh, itu soal lain.

Masalahnya, terlepas dari eksistensi Sys yang populer di kalangan insan radio, tetapi pengaruh pandangan pembangunan keradioan dan senibudayanya di radio masih tidak terbaca jelas oleh masyarakat. Setidaknya, masyarakat selalu butuh fakta dan data.

Tapi tidak ada yang memungkiri, dia memang menonjol bersama Prambors, dan punya beberapa teman yang populer di dunia keartisan. Selain itu dia juga dikenal bagian dari Partai Demokrat.

Itu sebabnya saya selalu bilang kepada para penyiar, bahkan kepada beberapa direktur radio, radio harus menjadi media terdepan di wilayah lokal masing-masing, yang sangat 'menentukan' geliat senibudaya (sosial-budaya) di situ. Apalagi radio itu selalu sangat populer dan familiar di wilayah lokal, bahkan sangat dekat secara emosional dengan gaya hidup sehari-hari masyarakat. Ini jelas seumpama pisau yang tepat untuk memasak daging yang lezat.

Maka saya hati-hati ketika suatu ketika terlibat program TV lokal. Saya pastikan, saat itu saya sedang jadi orang TV bukan orang radio. Meskipun masih siaran di radio. Paradigmanya, pada saat muncul di TV saya adalah orang TV dengan paradigma TV. Kepada orang radio saya ingatkan, jangan selalu anggap yang begini ini berarti lebih baik bagi profesi orang radio. Jangan sampai memyimpulkan: kalau orang radio cuma kerja di radio saja, itu berarti terbelakang atau rendah prestasinya. Ini kesimpulan yang sangat menyedihkan.

Sys adalah bagian dari PRSSNI, begitu juga saya, yang tentu membaca dari dekat kelemahan-kelemahan yang ada. Meskipun apakah keresahan saya soal posisi dan fungsi radio akan dirasakan juga oleh Sys?

Selamat jalan Sys, kamu hebat.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG