TEMPAT DUDUK PENYAIR

SEBUAH KERAJAAN

jalan kopi
jalan karet
sana sini semak
hati-hati
jangan kaget
menemui kerajaan di dalam sajak

Kemayoran, 2011-2018
-----

Di Indonesia, negri kata-kata, heboh puisi dan kepenyairan itu ada-ada saja. Kadang saya pun ingin lebur dalam debat. Tapi sering juga milih menghindar ketika melihat seperti yang muter-muter gak jelas. Padahal sudah jelas, sejarah dan peradaban bisa memilih anaknya. Maka kadang saya lebih asyik bicara hal lain di tengah kehebohan itu, yang sesungguhnya sebuah sikap juga. Termasuk memilih 'menyidangkan' pengalaman proses kreatif saya di tengah publik. Minimal melalui media sosial atau Blog. Yang hasilnya, seringkali tulisan saya cukup diamini saja karena gak ada bagian yang bikin galau.

Kali ini saya bicara posisi penyair. Posisinya jelas. Penyair tidak akan terlalu dimengerti oleh para pihak yang tidak mengerti karena takdir eklusifitasnya, seinklusif apapun kenyataan kehadirannya. Jauh beda dengan seorang penyanyi, yang oleh awam dapat diterjemahkan secara sederhana: tukang menghibur orang lewat nyanyian. Pihak awam ini tidak menganggap penting istilah musisi, bahkan jenis aliran musik. Bagi mereka, siapapun yang naik panggung dan menyanyi adalah penyanyi, sedangkan yang main musiknya adalah pengiring nyanyi. Kalau enak mereka sukai, kalau gak enak mereka tinggalkan  dengan menggunakan dalil, gak ngerti, gak enak. Tapi khusus untuk lagu-lagu asing, mereka masih bisa menikmati musik dan nyanyiannya yang enak, meskipun liriknya 100% gak dimengerti. Itu sebabnya di acara-acara senam banyak lagu asingnya. Ibu-ibu kampung kita suka itu.

Sampai saya harus menyelamatkan mereka melalui acara Apresiasi Seni di radio-radio. Kalau, ya ini cuma misal, suatu ketika ada lirik lagu asing pengiring senam yang sesungguhnya ngaco, jangan dulu sewot dan ambil kesimpulan asal-asalan. Jangan-jangan instruktur dan peserta senamnya cuma menikmati bagian enak dari lagu itu, tetapi tidak paham arti liriknya. Begitupun ketika di suatu acara panggung musik 17-an ada Kyai tepuk tangan seusai sebuah grup band tampil jangan dianggap dosa. Meskipun sampai-sampai sekelompok anak muda cekikikan, misalnya, karena lagu itu kebetulan mengandung pesan seks bebas atau miras, misalnya. Bahkan yang ketawa-ketiwi itu memakai sabuk dan ikat kepala bergambar ganja. Sebab malaikat sudah lebih dulu mencatat, tepuk tangan itu untuk sisi baik yang dirasakan Sang Kyai. Sisi lain dia tidak ngerti. Dan kita tidak boleh sombong dengan mengatakan, "Mangkanya seorang Kyai itu harus ngerti bahasa Inggris, bahasa India, bahasa Afrika, bahasa Spanyol, bahasa Jepang atau bahasa lain". Selain kita pun belum tentu bisa negitu,  Muhammad SAW pun kalau diumpamakan orang Sunda atau orang Aceh, dia akan bernasehat dalam bahasa Sunda dan bahasa Aceh. Tetapi ini bukan teori untuk mematahkan keutamaan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur'an dan hadis. Sebab khusus untuk dua hal  ini ada argumentasinya, ada ilmiahnya. Lain kali bisa kita bicarakan di blog cannadrama.

Sebagai penyampai dakwah berbahasa Jawa atau bahasa Makasar, seorang Kyai tidak wajib menguasai berbahasa asing yang banyak atau bahasa planet. Bahkan bahasa Inggris pun tergantung kegunaan dan tergantung kondisi Kyainya. Tidak bisa jadi pembeda antara yang ditelah Kyai Kampungan dan Kyai Modern.  Sebab, Kyai yang khas berbahasa Sunda, dia tentu telah menguasai komunitas Sunda. Itu lebih dari cukup. Dari sentrum itu pesan moralnya sudah bisa meluas hingga lintas etnis dan lintas bangsa dan negara.

Ya. Penyanyi dan pendakwah yang biasa disebut Kyai atau Ustad posisinya mudah ditafsirkan oleh masyarakat awam. Berbeda dengan penyair. Kalaupun awam memyebut, penyair adalah pencipta dan pembaca puisi, mereka masih bertanya banyak. Sebab puisi tidak sefamiliar musik dan kalimat dakwah atau pidato. Belum lagi masyarakat tidak mengerti, mana yang sesungguhnya penyair dan pihak mana yang cuma sedang bersenang-senang dengan puisi. Sedang mensyukuri puisi. Membuat variasi acara dengan pembacaan puisi.

Masyarakat awam pun mungkin mengalami kerumitan ketika harus menduga kondisi ekonomi atau kehidupan seorang prnyair secara umum. Apa benar penyair punya posisi ekonomi? Sehingga gagap juga ketika ada anak atau familinya, atau calon menantunya, yang mengaku atau disebut penyair.

Apakah penyair itu tukang baca puisi yang diundang dan dibayar seperti artis, atau minimal disawer di panggung? Atau beda, tidak begitu, tapi minta belas kasihan seperti pengemis? Cuma teorinya yang beda, menjual intelektualitas dan kepedulian melalui syair sambil memelas? Atau sebagai tukang nulis puisi yang sejahtera dari honor?

Yang jelas profesi tipu-tipu jauh dari pembawaan doa penyair. Bukan 'jampe pamake'-nya.

Apakah penyair itu identik dengan orang yang berarti mesti berprofesi sebagai karyawan atau pengusaha percetakan dan penerbitan? Atau identik dengan kerja di koran atau majalah? Jadi wartawan? Penulis lepas? Atau sesuai virus asalnya, kenal sastra melalui buku dan dunia pendidikan, sehingga pantasnya penyair itu identik dengan guru atau dosen? Ah!

Saya sendiri punya fantasi yang jauh dari itu. Meskipun waktu SMP maunya ke TNI atau penyuluh pertanian, lalu setelah masuk SPG pinginnya jadi guru, sekaligus penyair dan penulis. Lalu setelah tamat SPG, karena merasa bakal terlalu lama jadi tenaga sukwan dan guru honorer, saya tertarik jadi seniman yang jurnalis, di koran, radio atau televisi. Tetapi sesungguhnya saya juga punya fantasi lain yang sarat motivasi, begini:

Asyik dan memuaskan kalau punya keseriusan menulis, termasuk menulis puisi, dan sering menyiapkan diri untuk naik panggung baca puisi. Sementara di samping itu usaha lancar. Jalan terus. Mencukupi kebutuhan keluarga, lahir batin. Atau setidaknya sambil gabung di tempat usaha orang. Seperti tafsir saya atas Rumi dan Syehnya yang makan roti bersama di dapur. Menjadi direktur atau manajer di suatu perusahaan misalnya. Sementara puisi dan panggung puisi kita terus hidup dan bekerja. Bukan cuma basa-basi yang ditertawakan langit. Tentu, sebagai pengalaman universal termasuk bekerja merayu meluluhkan hati perempuan di dalamnya.

Pada posisi seperti itu, di rumah maupun di kantor kita seniman yang selalu merasa kuat dan dekat dengan raja dan panglima perang. Bukan sebagai penghianat atau pecundang. Kita punya daya tawar pembangunan. Multi tema. Berkesaksian dan mencerahkan. Tentu tidak dalam pengertian, penyair mesti mengajari bupati, raja dan panglima untuk jadi penyair. Sampai-sampai melahirkan suatu era, untuk menaklukkan rakyatnya, seorang pemimpin tiba-tiba berfikir strategis, mesti jadi panglima penyair yang paling berkuasa dan berpengaruh. Membungkam suara-suara lantang. Panggung-panggung puisi menjadi miliknya, bisa terselenggara karena restunya yang sangat mengikat. Menjadi pihak yang paling tahu undang-undang puisi.

Meskipun kita tidak boleh sombong dan tutup mata. Kalau peristiwa itu dibalik maka apa yang akan nampak? Bisa selalu lahir generasi-generasi baru yang didikte jaman now, yang keras, nakal, bar-bar, dan tukang bikin ulah, meninggalkan 'orang-orang rumahan' yang baik-baik, supaya didekati dengan kebijakan pragmatis oleh pemerintah yang dungu, semisal peredam perut lapar. Peredam nafsu binatang liar. Seperti para demonstran bayaran yang kemudian menuntut kebagian macam-macam, setelah itu diam. Bumgkam! Ada pejabat korupsi, jadi gembong narkoba, atau bertindak sewenang-wenang pun dimaklum saja. Prinsipnya sudah mati, asal tidak mengganggu ketentramannya. Karena dia merasa sudah kebagian rejeki buat hidup. Ini penyakit yang juga bisa menyerang penyair. Di belakang pintu dia berteori, "Berteriaklah yang kencang, setelah merasa menang baru bungkam".

Bahkan saya curiga, dari dulu pemerintah pun tidak sepenuhnya ngerti puisi dan kedudukan penyair. Meskipun berargumentasi, di multi departemen ada ahli-ahli sastranya. Sebab sering kali para ahli itu sedang bekerja di lingkup kecilnya saja dengan sedikit kusyu, karena 'tafsir gaji'-nya di situ. Menurutnya, lebih luas mestinya harus lebih mahal. Itu untuk yang rajin, bagaimana untuk yang lebih enak malas-malasan? Sementara kepala-kapala dinas/departemen/intansi itu berpidato dan membuat kebijakan dengan logikanya sendiri.

Saya ambil contoh. Di lingkungan Dinas Pendidikan itu guru senirupa dan jaringan pelukisnya bisa jadi gak sedikit. Tetapi mengapa seperti layang-layang putus, kepala dinasnya cuma bisa bilang, "Jadilah kalian juara dalam lomba menggambar ini. Siapa tahu ada di antara kalian yang bisa seperti Afandi atau Basuki Abdullah". Dan kalimat seperti itu dirasa-rasa sudah sangat aspiratif dan sakti. Padahal nol! Bayangkan, ada ratusan juta peserta lomba menggambar dari Sabang sampai Merauke, dan hanya sedikit sekali dari itu yang minat dan bisa jadi pelukis. Padahal, selain bagian dari pintu mengasah bakat bagi sedikit orang, lomba-lomba itu masih integral bagian dari kurikulum sekolah, untuk tahu dasar-dasar menggambar dan bisa menggambar. Serta untuk membangun karakter anak manusia.

Semoga tulisan ini berpengaruh baik pada ruang yang kita ktitisi dengan segenap rasa sayang itu.

Puisi dan penyair? Apakah pemerintah, dinas terkait, punya data yang cukup untuk mengetahui para penyair yang eksis, berpengaruh, dan menonjol di kota/Kabupatennya. Misalnya ada 5 penyair senior dan 7 penyair muda yang kuat. Bukan basa-basi. Bukan cuma permainan atau retorika panggung belaka. Basa-basi itu misalnya seperti ketika seorang calon bupati atau gubernur (padahal petahana pula) menyebut, "Acara ini juga melibatkan para penyair (forum penyair) yang eksis". Padahal ternyata cuma beberapa aktivis yang biasa baca puisi di berbagai event. Kelakpun kalau ada penghargaan dan program sastra, larinya kepada mereka.

Okelah. Kita tidak mau berpanjang lebar soal salah urus itu pada tulisan ini. Kita kembali ke inti persoalan, posisi penyair. Meskipun tidak diurusi, itu juga posisi.

Pertama-tama, sudah biasa kita membenturkan diri pada prinsip, apa dan siapa penyair. Sebab dengan suatu keihlasan, yang biasa ditandai oleh keyakinan dan kehadiran yang kuat seorang penyair, kita akan menemui penyair itu di dunianya sendiri. Di dunia sastra. Di dunia puisi. Dibenarkan malaikat dan Tuhan. Mau diasing-asingkan atau dibuang sekalipun. Dia punya kalimat dan punya ruang. Dia tidak cuma sedang bermain-main bahasa atau bercengkrama dengan kata-kata suka-suka. Karena itu ia berkesaksian sekaligus mencerahkan.

Selanjutnya kita harus melihat posisi penyair, kepenyairan dan syair-syairnya itu di tengah persoalan-persoalan sosial. Sekali lagi, dalam pembangunan sebuah bangsa dan negara, penyair bukan penghianat atau pecundang. Ia berposisi strategis dalam membangun wacana sekaligus sistemnya. Bahkan sebagai pribadi ia bisa menulis namanya dengan huruf tebal bagi pembangunan itu, tidak malah menjatuhkan namanya. Punya popularitas yang khas. Atau sampai kadang berkontribusi membuat komunitas, yayasan, kepanitiaan-kepanitiaan, atau apapun, meskipun ada yang disertai bahasa sosial, menghindari kepentingan pragmatis pihak-pihak tertentu.

Posisi penyair yang paling umum  dipahami masyarakat terdidik  adalah, ada pada buku puisi, ada pada puisi-puisi yang diterbitkan atau dipublikasikan, dan pada puisi yang ditulis dan dibacakan di atas panggung atau ruang sastra apapun. Selebihnya ada pada sikap vokal penyairnya yang memperjelas kehadiran dan kerja puisi-puisinya.

Soal vokal penyair ini harus digarisbawahi. Sebab apa mungkin seseorang penyair bersikap selalu vokal dalam hal apapun, tetapi mengingkari misi puisi?

Akhirnya ingin saya katakan. Kursi yang tidak bisa direbut adalah kursi penyair yang telah diduduki oleh seorang penyair yang tepat. Yang sesungguhnya. Yang sudah direncanakan dan dijanjikan Allah. Sehingga sejak kelahirannya, daun, cahaya matahari, dan sugai-sungai sudah mengerti dan menyambutnya.

Sesungguhnya sambil ngaji Ayat Kursi bisa lebih utama.

Meskipun pada suatu peristiwa tertentu. Pada penyair-penyair tertentu. Masyarakat dan penguasa tertentu di situ tidak sudi menerimanya. Pada peta kitab, itu sudah tertulis dengan jelas. Sehingga ada kalimatnya di antara rambu-rambu jalan kehidupan, penyair-penyair yang dibenci dan dianggap tidak membawa pengaruh baik pada suatu waktu, bisa jadi justru merekalah orang yang dijanjikan. Siapapun. Berapapun.

Di dalam sejarah dan nubuat manusia, penyair-penyair yang lurus selalu berkumpul dengan para nabi dan ulama. Ini tentu menjadi PR bagi para pencari jalan lurus. Sampai di sini apa lantas anda juga mulai membedakan antara musisi dan penyanyi yang lurus dengan musisi dan penyanyi yang berdosa? Apa parameternya?

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG