TERJEBAK BAK

NALIKO / NALIKA

kulempar
sauh
dari dunia
tumbuh

Kalau mengikuti debat orang soal puisi Chairil atau Rendra. Mereka bisa sampai pada angka-angka. Matematis. Berapa banyak buku yang diterbitkan Chairil atau Rendra? Berapa banyak puisinya? Sampai mengupas apakah yang ini dan yang itu juga karya Chairil dan Rendra? Apa rekayasa? Palsu!

Saya menyikapimya sederhana dan romantis saja. Biar saja. Selagi masih ada yang suka begitu-begituan. Minimal menghibur dan bikin rame.

Tapi jujur, kadang terfikir juga oleh saya. Apa puisi-puisi saya yang ada di media sosial, terutama facebook, dan di blog, kelak setelah saya mati akan memperumit anak kandung saya untuk menghitung jumlah puisi, jumlah buku saya serta mendebatkan apakah yang ini dan itu karya saya? Menjadi semacam keperluan suatu ketika sebelum ziarah kubur.

Ah, tapi kan saya sudah tenang bilang ke anak saya, "Kalau Papa mati, 'simpan' Al-Qur'an di atas makam (bolehlah sertakan wangi bunga) dan bawa pulang. Hidupkan hidup!"

Saya sendiri orang yang melawan arus konvensional dengan mengatakan, kalau mau nulis puisi di grup media sosial kenapa mesti repot dan banyak pusing? Tinggal tulis, selesai urusan!

Meskipun kalau nulis di grup Puisi Pendek Indonesia yamg saya buat, setidaknya sampai 17 Januari 2018 pkl 23:59, gak terlalu ramai, sedikit jempol dan komentarnya. Biarlah. Itu suatu perjalanan nyata di kesusastraan Indonesia. Meskipun kalau dicek jumlah yang melihat, lumayan juga. Grup itu langkah lanjut saya setelah tahunan baca puisi pendek di radio dan di panggung (mimbar sastra).

Teorinya memang seperti menyampah di internet. Tetapi kalau kita pakai analogi tinggi, apakah Rosulullah batuk di bawah pohon itu menyampah pada angin terbuka?

Para bijak menyebut, Rosul, para nabi, ulama terkemuka, orang-orang baik siapa saja, telah melahirkan jejak, juga pada gerak kelima jemari tangannya ketika bicara. Tidak ada satu malaikatpun menulis, itu gerakan sampah. 

Di satu sisi, bagi pemula, nulis puisi di media sosial atau di situs tertentu, memang ruang 'pembantaian'  sekaligus awal pembaiatan proses kreatifnya. Terlepas ada soal, ada pihak yang menolak karena orientasinya cuma buku dan koran atau majalah.

Di sisi lain, bagi penyair yang tidak malu-malu, menulis di media sosial atau di website tertentu tak ubahnya seperti orang membuat surat terbuka. Selalu serius. Membuka kabar, wacana, pencerahan dan kesaksian ke mana-mana. Meskipun resikonya ada tulisan yang mudah hilang di telan hiruk-pikuk internet. Peristiwanya seperti pengalaman saya yang rajin baca puisi sejak masa sekolah. Berapa banyak puisi saya yang hilang setelah dibaca di panggung? Padahal sekilas terbayang, itu puisi-puisi yang serius. Gak ada yang cuma iseng. Termasuk puisi di panggung bertajuk 'dalam rangka-dalam rangka' itu.

Bagi saya yang penting tidak ada yang mengambil puisi-puisi saya sebagai puisi karyanya. Meskipum itu puisi di media sosial yang mudah di copy-paste orang. Meskipun budaya copy-paste tanpa menyertakan sumbernya sudah jadi.penyakit tersendiri di media ini. Tapi jika ditelusuri, di kalangan awam, yang suka ngambil tulisan apapun tanpa canggung ternyata bukan penulis. Cuma ingin menang gaya. Jadi jangan mudah naik darah. Harus diselidiki dulu. Tapi jika pencurian karya itu dilakukan oleh penulis yang merasa punya nama, wah keterlaluan. Tapi satu poin kemenangan penyair yang asli. Ia akan tetap dan tenang menulis ulang dan menyosialisasikan karya yang telah diambil orang itu. Sampai kapanpun. Tidak ada beban. Jauh beda dengan yang cuma mengaku-ngaku.

Dalam bersikap, saya juga merasa berani membedakan antara penyair yang sangat populer dan penyair nasional / Indonesia potensial. Yang pertama adalah penyair yang dianugrahi Allah popularitas. Sedangkan yang kedua penyair hebat yang bisa memiliki popularitas nasional meskipun kadang cuma di kalangan komunitas khusus, komunitas sastra, tetapi bisa juga cuma populer di satu dua kota atau propinsi saja.

Saya juga tidak mau ribut ribet berhadapan dengan penyair yang katanya punya buku tebal atau tipis. Punya penerbit terkenal dan penerbit pemula. Di depan penyair yang sudah punya antologi sendiri atau  cuma punya beberapa antologi puisi bersama. Di depan penyair yang namanya sudah masuk ke buku cetak pelajaran sekolah atau yang belum. Di depan penyair yang pernah punya hajat sastra ke luar negri atau yang baru sebatas muter-muter kabupaten. Sampai ke soal penerbitan buku yang sudah ber ISBN atau belum, sebab keduanya yang punya NAMA JELAS PENULISNYA bisa berhadapan dengan polisi kalau isi bukunya ngaco. Artinya tetap harus nermain di dalam hukum. Selalu saya respon dengan sederhana dan romantis. Biar saja. Setiap jalan ada hidupnya. Setiap hidup ada jalannya. Ada proses.

Bahkan saya bilang,

seribu penyair lahir setiap hari
di kota sekecil ini
masih kusambut sukacita

Demi membaca uraian singkat ini, apakah anda tiba-tiba merasa terjebak bak (sampah)? Lalu meninggalkan media sosial dan website di internet? Lalu memulai mencipta diri menjadi Rendra dan Chairil. Punya buku sekian dan jumlah puisi di dalamnya sekian. Yang dimuat koran dan majalah, ini dan itu? Lalu seumpama memberi pesan kepada Indonesia bahkan dunia, "Itu buku dan puisi-puisi saya".

Atau masih saja 'ndadi'? Dalam terminologi Jawa, ndadi adalah istilah yang menggambarkan bahwa sesuatu telah hadir, menjelma, dipaksa ada, bahkan dilakukan sampai pada tensi 'tanpa sadar' karena sudah menjadi tabeat harian. Meskipun istilah ndadi juga bisa mendatangkan konotasi negatif, semau gue!

Tapi dengan merasa arif saya bisa katakan, kepada para penyair, karena sudah ihlas menerima kepenyairannya, maka hadir dan bekerjalah selayaknya penyair. Seperti dalam puisi prendek saya:

LELAKI BERJILBAB

hadir wajah diri
dan telapak perbuatan

NUN MATI

dalam bahasa
nun mati
artinya hidup

TEMPAT TIDUR

beri tempat tidur
kaki dan langit

-----

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG