VERITAS 125448, INDONESIAN IDOL

AYO MEMBACA, INDONESIA

cahaya membaca gelap
dari puncak Jakarta
-----

DI BALIK KERUDUNG

sudah kuhanyutkan
bunga yang kugenggam
di kali belakang rumahmu
yang sepi

Kemayoran, 2011-2017
#puisipendekindonesia  
-----

Bertahun-tahun ngenal Indonesian Idol di RCTI, meskipun gak konsisten ngikutin, saya suka acara ini. Tapi uniknya, saya tuh paling suka kalau mengikuti momen-momen awal, audisi, yang nunjukin kondisi mencolok antara peserta paling buruk, amburadul, sampai yang paling berkualitas. Dan satu lagi, yang kharismatik. Punya daya tarik.

Saya suka Delon dan Judika, dll.

Di momen tahun baru 1 Januari 2018, saya sebagai pemirsa depan TV seperti dapat hadiah iatimewa dari Indonesian Idol. Yaitu ketika mendengar suara dan melihat penampilan Veritas yang berhadil dapat Golden Ticket. Si Kribo ---entah dari mana--- ini juga yang telah membuat Juri Maya naik dan tiduran di meja. Menarik.

Tidak tau dia dari mana, menunjukkan saya fokus di 'acara keluarga' itu tapi tidak nangkap pas disebut asal daerahnya. Dan ini bagus. Karena kadang pemirsa acara kontes nyanyi di TV (nasional) masih suka terjebak, hanya suka dan mendukung peserta dari daerahnya saja. Logikanya, 'nama' itu penting untuk pencitraan daerah.

Meskipun yang paling buruk di seluruh muka bumi, tentu saja ketika pragmatisme dukungan itu sudah sensitif ke soal ras, agama dll. Kecuali kalau dukungan itu masuk logika mulia dan rasa yang natural.

Padahal untuk jadi penikmat musik sejati, yang paling enak itulah yang pas. Kecuali di puncak-puncak. Relatifitasnya makin tinggi. Semua serba enak dari kualifikasi dan ukurannya. Bisa jadi dari 10-20 peserta terakhir, punya keunggulan masing-masing, yang punya daya tawar dan daya jual beda-beda.

Saya nge-fans sama Veritas yang kemunculannya dipilih sebagai peserta penutup siaran Indonesian Idol edisi 1 Januari. Pinter panitianya. Strategi yang sangat bijak dan menghibur. Meskipun tidak bisa dimonotonkan, siapa tampil di akhir, dia pasti paling unggul. Tidak bisa demikian. Bisa saja diberikan kepada yang paling rusak. Sebab ada 1000 hal penting dalam closing.

Selama Veritas menyanyi dan sesudahnya, rasanya saya ingin merangkul bahunya, dan menciumnya. Padahal saya termasuk 'pendakwah': laki-laki jangan 'jatuh cinta' kepada laki-laki.

Perasaan yang sama sudah ada pada diri saya sejak lama, ketika di tengah keramaian, di atas panggung, di dalam angkutan umum, dst. Setiap melihat laki-laki yang penampilan dan bicaranya 'nyaman, laki-laki, penuh cinta dan tanggungjawab, tidak banyak ulah', ingin rasanya saya menepuk bahunya dan berkata, "Halo Mas Bro". Meskipun kesan pertama bisa saja menjebak. Itu kan PR sosial.

Tapi kedekatan psikologis kesan pertama, dalam momen khusus bisa membeli remang air mata.

Veritas selama beberapa menit tampil di layar TV, tercatat dengan cepat nomor dadanya oleh saya, 12-544-8. Kebetulan angka 12 adalah kode dan hoki satu tahun ke depan pada momen pergantian tahun ini. Semoga saja tahun ini benar-benar miliknya, sampai tahap manapun. Karena sudah lama saya punya pendirian, kemenangan di Indonesian Idol, dan ajang-ajang sejenis, tidak mutlak harus masuk 10 besar apalagi juara.

Pertana, sudah rahasia umum, penyanyi yang baik, bahkan sangat baik, tetapi tidak juara, bahkan tidak masuk 10 besar, masih bisa memiliki peluang sukses di dunia nyanyi. Baik sampai rekaman atau eksis dari panggung ke panggung.

Kedua, punya penampilan kharismatik yang memikat serta khas itu tidak mudah. Pengalaman saya menjadi Koordinator Koes Fans Club, misalnya, saya sangat terbeli oleh kharisma Yon ketika nyanyi. Meskipun kalo di usia muda dia ikut Indonesian Idol, saya menduga belum tentu masuk 10 besar.

Ketiga, sering saya bahas di acara Apresiasi Senibudaya di radio-radio, termasuk di berbagai diskusi, juga dalam tulisan di cannadrama.blogspot.com, bahwa dalam audusi bintang TV, nilai keartisan itu sudah efektif berjalan pada saat dia tampil dari sesi ke sesi di layar TV. Artinya, bagi mereka yang sudah baik nyanyinya, bahkan punya khas, menjadi ikon, meskipun bukan yang terbaik, dia sudah sah keartisannya pada saat audisi itu berjalan.

Maka tepat kalau pihak TV tetap konsisten menjual visualisasi peserta yang terus tampil.

Maka pesan saya, bahkan untuk semua jenis lomba senibudaya, selamatkanlah detik-detik tampilmu dalam suatu lomba dengan merasakan dan menjadikan 100% itu pertunjukan final. Pertunjukan jadi. Maka aura yang bertanggungjawab akan hadir dengan sendirinya.

Ya, menyanyi tidak cuma urusan olah vokal dan adanya daya menghibur, tetapi tanggungjawab.

Selama beberapa menit saja, Veritas memiliki itu. Saya sudah memiliki dan mendapati sesuatu. Entahlah pada penampilan selanjutnya. Saya jadi ingat, ini analogi, tentang seorang aktor panggung yang pernah tampil sempurna pada suatu pentas, jadi buah bibir, tetapi nyaris tak menonjol dalam beberapa pentas selanjutnya. Sangat sayang.

Tidak heran kalau misalnya nanti, nyatanya Veritas tidak jadi juara Indonesian Idol 2018 dan tidak masuk 10 besar, orang-orang, terutama saya, akan berkata, "You, yang malam itu merdu, membeli hatiku, penyanyi sekali, dan membuat Maya Janda Sexy tiduran di meja. Aku suka".

Akting tiduran itu punya dua makna minimal. Pertama, pesan, "Kamu mestinya laki-laki yang suka menatap perempuan. Jangan terlalu banyak merem saat penghayatan". Kedua, "Kamu tidak pakai daya tatapmu untuk perempuan. Padahal itu potensi memuji keindahan, bahkan keagungan di baliknya. Selaras dengan aura nyanyimu".

Saya jadi ingat waktu ada Audisi Bintang Nyanyi di TV lokal, Jatiluhur TV. Lokasinya di Sadang Terminal Square. Saat itu di samping juri lain, Ali Novel dkk saya teriak, "Kamu laku jual!" Teriakan itu saya tujukan kepada seseorang yang bukan juara pertama, tetapi punya kharisma dan punya daya hibur yang nyenengin.

Di dunia Lomba Karaoke dan Bintang Nyanyi, sama halnya ketika jadi juri tari jaipong, posisi saya sebagai Seniman atau Orang Radio Indonedia adalah juri yang menyoroti sisi daya hibur, entertain.

Bermodal rutin menjadi penyelenggara berbagai lomba dan event panggung kesenian, membuat saya sangat melekat dengan segala rasa di situ. Sebab saya harus meyakinkan sponsor dan masyarakat, yang begini ini yang  laku jual. Meskipun jualan itu punya spesifikasi. Iwan Fals, misalnya, kemana jualnya?

Termasuk ketika Armand Maulana yang masih remaja, yang kemudian jadi satu idola saya, ikut tampil nyanyi perdana di TVRI dulu. Saya bilang, "Wow, untuk saya sekali".

Seingat saya, pertama kali saya beli kaset dalam seumur hidup adalah kaset Ikang Fauzi karena saya berjiwa rocker, lalu kaset Iwan Fals dan Ebiet GAD karena saya penyair, penulis sastra koran, dan pengasuh acara Apresiasi Seni di radio, dan berikutnya kaset Armad (belum GIGI) karena saya sedang mabuk cinta.

Di 2018, Armad GIGI adalah salahsatu juri Indonesian Idol.

Kembali ke soal Veritas. Setidaknya 1 Januari malam, dia sesuatu. buat saya.

Kritik saya masih sama. Berbagai event audisi bintang TV, bisa menjadi racun yang meninabobokan remaja dan pemuda untuk ngartis dan mimpi tinggi menjadi artis. Padahal untuk terjun jadi penyanyi, termasuk untuk jadi penyanyi panggung sekalipun (non-rekaman), butuh modal kemampuan,  kesungguh-sungguhan, dan 'jam terbang' yang tinggi. Maka panitia dan TV mesti punya kalimat sakti, kata kunci yang logis. Sebagai pengantar, bekal untuk para peserta umum dan peserta yang sudah berkualifikasi penyanyi, bukan cuma juaranya, dan juga untuk yang sama sekali jauh dari peluang jadi penyanyi.    

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG