KARENA DANGDUTAN BOLA PIALA PRESIDEN

AYO MEMBACA, INDONESIA

cahaya membaca gelap
dari puncak Jakarta
-----

HIDUP TIDAK MATI

tanah lahir
tanah air
tanah ahir
bersama

Kemayoran,  2011-2017
#puisipendekindonesia 
-----

Lihat langsung suasana di GBK (Gelora Bung Karno)  saat final Piala Presiden 2018? Atau setidaknya nonton depan TV?  Jika ya,  anda pasti lihat juga life show dangdutan di lapangan.  Yang mulai sebelum maghrib dan berakhir sesudah maghrib. Ini yang membuat saya tertarik untuk bikin tulisan ini.

Kenapa saya menulis di blog.  Ya, 'sombongnya',  ini adalah bentuk kesukaan, bukti kemampuan menulis,  dan ciri khas saya.  Harap maklum. Atau,  saya persembahkan rangkaian bunga cinta dan terimakasih atas maklumnya.

Fenomena hiburan musik memang berhadapan dengan kondisinya sendiri.  Ada yang bersifat kendala,  ada yang cuma berhadapan dengan persoalan teknis yang mesti diatur.

Yang masuk katagori halangan rintangan misalnya,  pertunjukan musik terhenti karena hujan deras,  apalagi disertai banjir dan badai.  Pertunjukkan batal karena ada kondisi keamanan yang buruk di lokasi karena suatu peristiwa tertentu,   batal karena ada penolakan masyarakat setempat, atau tertunda karena ada longsor di ruas jalan yang akan dilewati.

Tetapi ada juga yang bersifat bukan halangan rintangan. Cuma keadaan yang mesti disikapi dengan cara-cara tertentu.  Saya sebut tiga contoh.  Pertama, ini pernah terjadi, agenda pertunjukkan musik yang sudah direncanakan jauh-jauh hari ternyata tanpa diduga-duga diwarnai tragedi nasional,  meskipun peristiwanya di Aceh,  tsunami. Kedua,  rundown acara ternyata melewati dua zan,  yaitu azan Asar dan azan Magrib. Ketiga, ketika hiburan musik diselenggarakan di lokasi yang tidak jauh dari lokasi pusat peribadatan tertentu.

Untuk hal pertama.  Saya pernah mengalami.  Ini butuh kearifan semua pihak.  Bahkan masyarajat butuh dewasa atau didewasakan.  Sebab perjanjian promosi produk,  hitam di atas putih,  itu juga amanah. Maka semisal agenda yang berbenturan dengan kondisi suasana berkabung nasional tidak serta-merta wajib menghentikan rencana pertunjukan.

Saya pernah merencanakan bikin berbagai panggung pertunjukan musik.  Ada panggung pop, panggung  dangdut,  nasyid,  tradisional,  dll.   Ada juga yang perencanaannya  dibuat di tengah suasana berkabung.  Sebab bagi kami,  ini adalah bagian dari rutinitas kerja harian orang radio. Tetapi untuk dua jenis perjanjian itu kami bersepakat,  pertunjukkannya akan berlabel sosial dan peduli bencana.  Bahkan dipromosikan sebagian pendapatan tiket akan diperuntukkan untuk membantu korban tsunami,  atau jika pertunjukkannya gratis,  akan diadakan penggalangan dana untuk korban tsunami kerjasama dengan PMI dll.?

Saya jadi teringat kompetisi sepakbola,  baik dalam momen babak penyisihan,  maupun babak utama,  semi final dan  final. Biasanya jika pertandingan terpaksa berlangsung di tengah suasana berkabung,  para pemain memakai ban hitam di lengan,  dan melakukan ritual doa bencana sebelum bertanding. Selain itu,  ada pengumuman penggalangan dana atau pengumuman sebagian tiket akan disumbangkan untuk mengatasi bencana tersebut. Ini adalah contoh keadaan yang harus diatasi,  tidak perlu disebut halangan atau rintangan. Butuh kearifan sosial.

Kedua,  yang bersifat harus dikondisikan adalah jika pertujukan musik kita melintasi satu atau dua waktu azan sholat.  Misalnya acaranya mulai pukul 9 pagi hingga pukul 2 sore.  Atau dari pukul 2 sore hingga pukul 17. Ada juga dari pukul 2 sore hingga pukul 19 malam,  atau dari pukul 17 hingga pukul 20 malam.

Ya,  kalau memungkinkan pertunjukkan bisa dihentikan minimal 10 hingga 30 menit untuk menciptakan ketenangan sejenak. Menghormati suasananya.  Tetapi jika pertujukan memiliki perjanjian sponsor atau bersifat siaran langsung, baik di radio maupun TV,  karena ada kaitannya dengan manual acara dan perjanjian sponsor,  maka panggung hanya bisa dihentikan sesaat antara 5-10 menit,  biasanya on air di radio diselingi azan dan iklan.  Sedangkan di panggung tak ada aktifitas apapun.

Ini harus dimaklumi.  Harus menjadi bagian dari kesadaran kolektif.  Supaya tidak ada salah-salahan. Maka seperti saya bilang, posisi radio dengan frekuensi off air yang lebih padat daripada TV yang masuk kabupaten, menjadi lebih sangat strategis dalam pendewasaan masyarakat dalam berkebudayaan. Ada komunikasi sosial,  pendewasaan,  dan kesepahaman untuk banyak hal. Tidak berfikir sepihak.

Kalaupun ada yang kritis bertanya,  bagaimana dengan penonton dan pengisi acara,  apakah dengan jeda 5-10 menit bisa sholat?  Kalau buat saya pribadi saya pastikan bisa. Meskipun tetap di atas panggung.  Itu kewajiban.  Kita mengenal istilah sholat syareat dan sholat hahekat.  Sholat syareat adalah yang dilakukan dalam lima waktu,  yang memiliki sujud dan ruku, yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Sholat syareat ini bisa menjadi sholat hati (sholat bathin), tidak banyak menggerakkan badan,  pada kondisi tertentu. Sedangkan sholat hakiki adalah membawa paham sholat syareat itu dalam segala sikap dan prilaku hidup setiap menit selama 24 jam setiap hari.  Yang pada orang-orang sholeh dilakukan keduanya.

Tetapi setidaknya,  sebagaimana yang banyak diuraikan oleh para ulama,  kita punya waktu-waktu penggabungan.  Misanya membawa waktu zuhur ke asar dan sebaliknya. Dan seterusnya.  Sehingga para pengisi acara dan penonton musik,  atau pemain dan penonton  sepakbola,  atau pembawa acara radio dan TV, bisa tetap lancar beribadah kepada Allah Swt. Tidak menjadikan hal ini sebagai kendala.  Sebab barangsiapa menganggap agama sebagai halangan rintangan,  maka dosa besarlah dia,  bahkan bisa terancam murtad dan kafir. Tergantung kondisi pribadi-pribadinya.

Ketiga,  jika lokasi atau lapangan pertunjukkan berada tidak jauh dari mesjid agung atau pusat peribadatan utama di situ. Ini bukan faktor kesengajaan,  tetapi lebih karena tata kotanya memang begitu. Tidak sempat dikondisikan sejak awal. Sudah puluhan tahun. Misalnya fakta kondisi daerah menunjukkan,  alun-slun,  lapangan sepakbola,  lokasi wisata,  taman terbuka hijau,  gedung serbaguna,  lahan parkir yang luas,  dll,  berada tidak jauh dari mesjid utama atau pusat peribadatan utama itu.

Saya sengaja menggunakan istilah mesjid utama atau pusat peribadatan utama untuk menyebut tempat yang lazim digunakan beribadah banyak orang.  Di situ biasanya sering pula diselenggarakan acara ceramah-ceramah besar.  Berbeda dengan mesjid kecil yang ceramah majlis taklimnya biasa diselenggarakan di dalam ruangan yang lumayan kedap suara. Dan jamaahnya tidak terlalu banyak.

Untuk kondisi yang sudah bertahun-tahun begitu,  semestinya sudah tidak ada kendala,  sebab segala hal secara alamiah dan sosial sudah terkomunikasikan. Bahkan sudah membentuk karakter berbudaya di situ. Suatu peristiwa dan perjalanan yang mahal. Sehingga tidak perlu ada kelompok baru yang merusak kesepahaman yang merupakan bagian dari kecerdasan dan kearifan lokal yang relijius. Meskipun kadang-kadang di suatu tempat masih bisa muncul bupati atau pemimpin daerah baru,  dengan dalil relijiusitas sepihak dan kepentingan pragmatis sesaat,  merusak tatanan tradisional ini.

Jika suatu kondisi tata kota tertentu terpaksa diterima,  karena sudah jadi ciri khas daerah,  maka kita tinggal mengatur sesuai keadaan itu.  Misalnya,  seberapa besar power maksimal sebuah sound system pertunjukkan di lokasi itu. Atau masih juga berlaku ketentuan tambahan,  asalkan di pusat peribadatan utama di situ dipastikan tidak ada acara pengajian,  maka power standar yang sudah disepakati boleh naik sampai level tertentu.  Ini butuh koordinasi. Intansi terkait mesti sudah paham.

Ini agak beda dengan aturan main dangdutan atau qosidahan hajatan di rumah-rumah penduduk. Kalau di rumah-rumah penduduk,  di beberapa daerah ada semacam kesepahaman,  jika pertujukan hajatan itu melewati azan Maghrib,  maka sebelum Magrib harus sudah jeda,  dan boleh lanjut lagi seusai jam Isya.  Sekitar pukul 8 malam. Kenapa beda demikian?  Karena tidak ada perjanjian sponsir dan siaran langsung .

Kembali kepada kegiatan panitia Piala Presiden di Gelora Bung Karno Jakarta yang menggelar siaran langsung dangdutan dari sebelum Manghrib hingga lewat Magrib.  Tentu kita sangat maklum ketika rehat pertunjukan itu cuma dijeda oleh azan dan iklan. Sound system pun tidak bermasalah di tengah stadiun yang sangat luas itu. Acara ini semakin memperlihatkan upaya panitia untuk membuat sepakbola bukan sekadar arena perseteruan,  bukan cuma urusan dukung-mendukung, jago-jagoan, dan fanatik-fanatikan. Tetapi itu adalah hiburan rakyat yang menyenangkan sekaligus mendebarkan. Setidaknya para pendukung tim yang kalah pun masih tetap bisa bangga dan berjalan tegak,  bernyanyi-nyanyi,  karena tim idola dan suporternya masih eksis.

Begitupun kita doakan,  urusan sholat para penonton dan panitia,  semoga bisa dikondisikan oleh setiap pribadi-pribadi di lapangan. Sebab itu kewajiban. Bagaimanapun caranya. Sehingga yang di depan TV tak perlu lagi selalu curiga dan menuding,  panitia dan penonton tidak sholat. Meskipun penyakit sosial kita memang banyak yang gak ngerti kewajiban sholat itu. Bahkan penonton atau tukang komen di depan TV pun seringkali gak punya solusi cara sholat penonton di stadiun,  kecuali cuma berpendapat satu,  "Acaranya salah,  harusnya tidak ada acara sepakbola atau pertunjukan apapun yang mengganggu sholat itu.  Semua itu salah semua!!!".

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

#pssi
#pialapresiden
#koni
#GNPSIndonesia
#prssni
#kpid
#kpi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG