KALIMAT POLITIK DI TAHUN POLITIK

...

dan Tuhan pun
kehilangan catatan
yang dirampas paksa

Kemayoran,  2011-2017
#puisipendekindonesia
-----

Ummat Islam di Indonesia yang mayoritas, terlepas dari kelompok sosial-agama dan partai politiknya,  sebenarnya mereka sudah berpolitik dalam posisi sebagai bangsa Indonesia.  Mau apa lagi?

Kalau urusan debat-debat,  beda pendapat,  rembug-rembug,  dst,  itu tidak saja dalam kehidupan berbangsa yang luas.  Dalam skup satu organisasi sosial keagamaan yang dibentuk saja hal itu sering terjadi.

Bahkan dalam satu pesantren,  dalam satu lingkungan sekolah Islam saja,  ustad satu dengan ustad yang lainnya sering beda pendapat tanpa harus ribet ribut. Bohong kalau perbedaan pendapat,  pilihan,  sikap, dan selera itu tidak ada.

Oleh sebab itu sebagai tokoh masyarakat yang suka kepada presiden Jokowi,  saya pasti mudah dituduh oleh sementara pihak sebagai manusia di kubu partai-partai, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi pemuda pendukung Jokowi. Bahkan bisa lebih mengerucut dari itu.  Langsung disebut,  PDIP.  Namanya saja kecurigaan orang banyak.

Oleh karena itu saya tidak mau bersikap dan berwacana yang pragmatis.  Sebab sikap,  kebijakan dan silat lidah perpolitikan kita sering terjebak pragmatisme.  Lebih memilih selera orang banyak yang bisa dikondisikan dengan cara-cara tertentu,  apapun bagaimanapun, daripada berpijak pada kebenaran yang wajib dikabarkan. Setidaknya ketika bersikap dan berwacana saya bisa lebih melihat konstitusi kita yang mudah dipahami secara terbuka.

Pragmatisme politik praktis kita juga sering mencabik-cabik sendi-sendi beragama. Menjadikan sesama muslim yang tenang damai maupun yang sedang dalam ranah beda-beda pendapat itu menjadi runcing dan seperti berseteru. Bahkan makin panas. Sebagai peristiwa yang tidak cuma mubazir,  tetapi salah dan merugikan.

Anehnya, kadang-kadang sikap mencabik-cabik kerukunan umat beragama kita juga bisa muncul dari tokoh agama tertentu yang populer. Yang semestinya dengan memegang teguh dalil langit dan hukum di bumi yang dijiwai Kitab Suci, mampu menciptakan kedamaian sosial dalam berbangsa dan bernegara. Ini tidak. Bikin runyam.

Kalaupun hukum di bumi yang ada di depan muka kita belum sempurna,  proses penyempurnaannya pun mesti sungguh-sungguh, kusyu, dan tentram-damai. Mesti dilingkupi doa memohon ketepatan waktu juga kepada Allah SWT.

-----

SUDAH

jatuhnya
yang disebut tinggi
yang disebut mulia
ketika rasa teh dan kopi
tidak dikenali dirinya
di sebuah cangkir yang hangat
sehingga Tuhan berucap,
sudah kau ambil semua

-----

Memasuki TAHUN POLITIK,  2018-2019, yang memiliki agenda Pilkada dan Pilpres,  semoga kita semua bisa bersikap dewasa,  jeli dengan ketepatan,  dan senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT. Jangan sampai memalukan.  Semisal dua kubu calon yang sama-sama tokoh muslim,  berseteru terbuka secara tidak Islami. Ini jelas sangat menghancurkan sikap politik bangsa Indonesia yang mayoritas muslim.

Di Jawa Barat,  misalnya,  yang belakangan juga punya isu penganiayaan ulama oleh orang tak dikenal,  setahu saya cagub dan cabup-cabupnya muslim semua. Mengapa mesti tersaruk-saruk ngaji kasundaan dan ngaji keislaman?  Harus tawakal.  Istikomah. Siapa yang mau propinsinya dibilang belum maju,  masih sering terjadi ketegangan dan ribut-ribut yang gak jelas?

Dalam pentas nasional pun begitu.  Pihak-pihak yang ngupas isu Pilkada serentak dalam skup nasional mesti hati-hati.  Mesti jelas semangat ketimurannya.  Yang Islam mesti tegas sikap rahmatan lil alaminnya. Jangan cuma di tataran normatif. Kritik dan pembelaannya yang bersifat praktis mesti menunjukkan kemajuan sikap berbangsa dan bernegara.

Apa masih dipertanyakan,  sebab wasitnya secara nasional tidak mungkin dipercaya oleh para pihak yang lagi ngelus-elus jagoannya masing-masing? Padahal belajar dari pengalaman waktu Megawati Presiden,   seluruh pihak bisa menahan diri,  sementara pemerinrah bersikap serius menghadirkan ketenangan itu. Padahal keika itu baru 5 tahun berlalu dari masa awal reformasi yang penuh gejolak. Kok bisa?

Bahkan mestinya, kita  jangan blunder nengok politik di luar sana yang penuh gejolak, yang kacau. Meskipun di sana muslimnya juga mayoritas. Yang kemudian bisa dianggap dan diterima sebagai hal normal. Apalagi ngelamunin situasi sekuler yang penuh ketidak-konsistenan. Kita harusnya percayadiri saja. Penuh inspirasi demokrasi,  atau inspirasi berbangsa dan bernegara yang mulia. Berpancasila.  Berketuhanan yang maha esa.

Perpecahan,  perseteruan yang kacau,  dan adu domba itu tidak ada dalam kamus sosial kita. Politisasi sesaat yang sesat juga tidak ada. Semua serba sehat,  normal,  dan konstitusional. Allah melindungi.

Toh tokoh-tokoh yang dipublikasi,  dibesar-besarkan, termasuk tokoh agama sekalipun, biarpun dibilang kondang,  padahal sesungguhnya keropos dan kecil,  nanti juga akan terkuak rahasianya.  Terbongkar habis. Habis juga yang percaya dan yang ngikut. Sementara orang-orang yang dalam ilmu dan kesadarannya,  selain bersaksi,  juga akan diangkat Allah menjadi bukti kemenangan sejarah.  Lurus-lurus saja pada kebenaran dan kemuliaan.

Tokoh-tokoh politik yang katanya hari ini punya pengaruh,  kalau ngaco,  sebentar lagi juga akan terpontang-panting. Punggungnya bolong, kalau jalan gak akan napak, karena telapak kakinya gak diterima bumi, kulit sampai jeroannya akan beterbangan seperti bulu-bulu burung yang patah dan coplok, atau seperti kapas tak berguna. Nama baiknya hancur sehancur-hancurnya. Tak ada huruf yang mau mencatatnya. Disebut-sebut sebagai contoh buruk di mana-mana. 5-10 tahun itu singkat saja,  apalagi di mata Allah.

Di dalam ilmu abadi kemanusiaan, siapa yang jatuh kesaksiannya? Itu paling memalukan. Sebab tangan dan kakinya sudah kepalang bicara. 

Kekacauan di balik politik dinasti juga akan ditelanjangi. Tapi bodohnya,  ada pihak yang gak ngerti politik dinasti ini tapi berani vokal. Kalau seorang presiden karena kharismanya berhasil menjadikan nama anaknya terkenal,  lalu anak atau cucunya itu diterima publik karena keunggulan dan kebaikannya untuk memimpin,  itu 'politik dinasti' yang halal,  meskipun Indonesia bukan kerajaan.

Tetapi kalau anak cucu itu dipaksakan dengan cara mengelabui, termasuk dengan iming-iming uang pribadi, itu keliru besar. Sebab banyak pemimpin yang kaya raya menurut ukuran awam pun selama ini ternyata terbukti tukang korupsi. Termasuk keliru juga ketika masyarakatnya mudah tertipu, malah memilih keturunan atau familinya yang tukang menipu itu.

------
KEPADA PEMERINTAH KORUP

karena kau selalu korupsi
maka kami sudah lebih dulu permisi

------

Apalagi ketika masyarakat pemilih ini berani berjudi,  masabodoh pimpinannya korupsi,  yang penting masyarakatnya masih sejahtera. Madabodoh kebijakannya banyak yang haram. Bahkan masabodoh pimpinannya yang korup ini adalah orang yang berani keras kepada lawan politiknya,  yang penting tetap membela dan mengamankan kubunya.

Sementara hari ini dan nanti Indonesia kita semakin kompak.  Tentram damai. Ummat Islamnya juga semakin berhasil.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG