MENDESAK PAHAM NETRALITAS MEDIA DI TAHUN POLITIK 

POLITIK TPS1

yuk ke TPS
(Tempat Pemungutan Suara)
sebab katanya,
ada pembangunan
di segala bidang
di dalam bilik suara

Kemayoran,  15022018
------

POLITIK TPS 2

dengar baik-baik!
kenapa kotak suaranya
tidak bersuara?

Kemayoran,  15022018
------

Setelah nonton PERSIJA yang KO,  3-0 dari Johor di pertandingan awal Piala AFC,  karena Macan Kemayoran gak optimal karena milih siap-siap merebut juara di partai final piala Presiden 2018. Saya tetap terpancing semangat untuk ngomong serius sekilas soal media massa di tahun politik.  Ini menggelitik. Tentu saya terpancing setelah Karni Ilyas di acara 10 tahun TV-One bicara netralitas media. Apalagi Karni Ilyas cuma mengambil wacana umum dalam durasi yang pendek.  Padahal akan lebih menarik kalau dia juga bicara detil di waktu yang singkat. Suatu pilihan yang kadang ganjil.

Masyarakat Indonesia,  baik yang di kota maupun yang di desa sama-sama selalu butuh pencerahan soal netralitas media. Ini penting.  Terutama karena yang dimaksud media massa itu medianya orang banyak,  yang boleh dipantau oleh orang banyak secara terbuka.  Baik media cetak,  audio-audiovisual,  maupun jaringan internet.

Ini contoh detil itu. Misalnya saya pimpinan suatu partai di daerah, bertanya,  "Iklan partai apa paling banyak di radio ini?"  Manajernya menjawab,  "Dengan dua alasan,  pertama partai X memang biasa pasang iklan di sini dari dulu,  dan kedua,  pimpinan kami juga pengurus parati X,  maka iklan partai X cukup banyak di sini".

Itu baru sebatas iklan putar dan adlibs. Tapi sudah cukup jelas. Saya tidak perlu bertanya,  berita partai politik apa yang paling banyak muncul,  berapa persen? Itu konyol. Menunjukkan gagap media. Tidak perlu juga bikin acara pemantauan.

Lalu,  mungkin saya akan segera kontek pengurus di partai saya untuk coba pasang iklan juga di radio itu,  kalau perlu sampai hampir menyaingi iklan partai paling menonjol itu. Tetapi kalau cocok harganya. Karena si pemilik radio menang dalam urusan dagang durasi iklan. Entah seperti apa dia juga dagang secara profesional kepada partainya sendiri. Tetapi setidaknya di situ saya masih bisa nembak pendengar yang doyan acaranya tapi gak doyan iklan partainya. Atau bikin yang sudah cenderung jadi berpaling. Ini kan sah. Apalagi ketika dua tiga radio yang lain sudah dimasuki iklan partai saya.

Dari penjelasan detil yang singkat ini,  kita sudah bisa melihat netralitas media.  Bahwa sebagai media dia netral. Semua partai bisa dan harus diiklankan dan diberitakan secara adil. Walaupun satu partai muncul beritanya empat kali sehari,  sementara partai lain muncul beritanya satu-dua kali.   Itu adil. Semua boleh dan bisa muncul. Dan tidak ada sikap menjatuhkan. Tidak ada kampanye hitam. Meskipun banyak berita partai X-nya,  ketika memberitakan partai B yang jarang naik,  beritanya normal dan enak didengar. Secara kaidah jurnalistik tidak ada yang keliru. KPU dan BAWASLU melihat secara jelas derajat pemberitaan dua partai itu adil.

KPI atau Organisasi Radio tidak bisa menyalahkan kalau suatu radio berhasil melakukan transaksi jual beli iklan partai politik. Dengan kesepakatan harga yang disetujui kedua belah pihak,  bukan disetujui oleh seluruh partai. Meskipun ujung-ujungnya parati X punya penyiaran 10 iklan sehari,  sementara partai B cuma punya 5, sedangkan partai lain di bawah 5. Terkecuali jika ada ketentuan resmi dari pihak terkait bahwa jumlah maksimal kemunculan iklan partai di tiap media massa sudah diatur,  termasuk konten dan durasinya. Maka media massa harus merujuk ke situ. Tetapi apakah pihak terkait juga mengatur harga per iklannya? Selain itu berdasarkan pengalaman,  meskipun tiap partai dibatasi jumlah maksimal iklan yang bisa diputar dalam sehari,  semua partai dapat ketentuan sama,  adil,  toh mereka tidak punya duit iklan yang sama.  Tentu ada yang pasang dikit,  dan ada yang tidak pasang samasekali.

Namun kemunculan berita-berita partai,  sepenuhnya tanggungjawab pihak media massa. Berapa panjang durasi dan tulisannya? Seberapa besar gambarnya.  Berapa banyak frekuensi kemunculannya? Dll. Itulah media yang adil. Netral.

Coba tanyakan hal ini kepada beberapa orang yang sudah tamat S-1. Gak semua ngerti ini. Apalagi yang awam.  Artinya,  kita memang butuh pencerahan soal netralitas media massa. Butuh memahami aturan KPU seputar siaran kampanye juga.

Bahkan saat pengundian nomor peserta PILKADA kemarin,  kita sudah dengan gamblang,  nyata-nyata melihat.  Dalam setengah jam siaran langsung,  misalnya, berapa persen kamera menyorot,  close up ke arah satu-satu pasangan calon?  Kalau saya juga calon di situ,  kenapa saya bisa muncul close up atau medium syut,  hampir 50%? Dan itu keadilan juga.  Netralitas juga. Kan yang penting gak ada pasangan calon yang diambil close up,  lalu dikasih tanda silang,  atau sengaja disyuting terbalik,  kepalanya di bawah?

Kalau penyiarnya banyak pakai gaun merah tanpa atribut apapun selama musim kampanye,  siapa yang mau nyalahin?  Apalagi di era Orde Baru.  Dulu yang total,  kuning. Termasuk cat tembok apaoun,  kantor-kantor, dan fasilitas umum. Ya,  budaya Orde Baru,  kuning tanpa atribut di mana-mana. Meskipun kalender di intansi pemerintah dan sekolah-sekolah tetap saja gambarnya Golkar. Sekarang gak gitu-gitu amat.

Begitupun ketika ada penyiar juga menjadi MC kampanye partai politik tertentu di beberapa titik. Apa dia jurnalis yang tidak netral?  Layak dipecat?  Termasuk dipecat oleh kalimat titipan dari partai direkturnya? Padahal ketika on air dia berlaku adil sesuai undang-undang kepada partai yang berbeda-beda. Bahkan tetap profesional pakai seragam kerja warna apapun. 

Di era Orde Baru juga sering muncul gambar dan berita lucu.  Misalnya ketika sebuah koran memberitakan GOLKAR,  gambarnya diambil yang marak,  ramai,  meriah luarbiasa.  Giliran PPP dan PDI gambarnya diambil dari jarak jauh biar kelihatan kecil dan jumlah pendukungnya sedikit,  apalagi kalau difoto sebelum semua berkumpul. Baru nampak beberapa gelintir orang. Apalagi dikasih judul seru,  "Simpatisan partai Q mulai berdatangan pukul 7 pagi kemarin". Di sebelahnya foto partai lain yang meriah dan padat dengan judul,  "Kemeriahan partai S tidak terbendung". Ha!

Pertanyaanya.  Ini gak ada kaitannya dengan netralitas media,  tetapi akan menjadi pengetahuan tambahan soal media. Apakah tiap partai politik,  setidaknya secara nasional semestinya punya satu televisi  nasional? Jawabnya,  di muka bumi ini,  di suatu negara,  tidak mustahil ada seseorang yang punya lebih dari tiga TV tetapi partainya kecil. Nyalon jadi presiden,  nyaris kehilangan pendukung samasekali. Padahal wajahnya secara adil,  netral dan kontitusional '7000' kali sehari muncul di TV-TV-nya.
-----

POLITIK TPS 3

mestinya cukup TPS
mestinya cukup murah
-----

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG