PUISI MUNTAH CHAIRIL?

...
telah halal panggung kesenian untuk syiar dan merangkum kebahagiaan.  Itulah ruang-ruang yang terserak.  Lalu durhaka siapa menghabisi ruang bahagia dengan kemaksiatan?

Syair Wangi (cannadrama,  2009)
------

Saya tidak sedang dukung mendukung. Depan Indonesian Idol di TV saya cuma nonton.

Adalah Chandra,  si kribo anak Kalimantan yang masuk 11 besar Indonesian Idol 2018 di RCTI. Selesai menyanyi dia bilang cukup terkuras penjiwaanya karena dua hari menyanyikan lagu yang secara tematis memakan perasaan atau penjiwaan. Lalu penyanyi senior,  juri Ari Laso menanyakan,  apa dia termakan?  Jawab Chandra,  "Ya,  termakan".

Beberapa kali saya jadi juri Lomba Karaoke,  saya tidak pernah kebagian menjadi juri pada sisi teknis menyanyi yang baik,  apalagi pada dasarnya saya memang bukan penyanyi,  dan juga tidak bisa nyanyi. Kecuali sekedarnya. Saya selalu memberi penilaian dari sisi kemampuan menghibur dan penampilan.  Serta kesesuaiannya dengan keinginan sponsor yang sudah disosialisasikan. Tetapi ini sangat penting,  karena semua Lomba Nyanyi di radio saya bertujuan mengangkat sponsor pendukung,  serta melahirkan penyanyi panggung yang menghibur.  Tentu dengan standar suara yang bagus juga. Kalau perlu standar rekaman tentu saja. Karena itu minimal ada tiga juri dengan kualifikasi dan fokus masing-masing.

Dalam penjurian itu kalau dikaitkan dengan Chandra, setidaknya ada dua hal yang terjadi pada Chandra yang saya amati benar.  Tentu dari sudut pandang spesifikasi penilaian saya.  Pertama,  apakah si penyanyi itu benar-benar termakan oleh lagu pilihannya.  Ini versi dan subyektifitas juri.  Kedua,  kalau seseorang merasa termakan oleh tuntutan suatu lagu,  apakah menurut klaimnya dia benar-benar diterima oleh lagu itu?  Apakah bagi lagu itu penyanyinya enak dimakan,  atau malah sebaliknya,  pantas dimuntahkan?

Ya,  ini teori.  Pendekatan.  Tetapi mengingatkan saya kepada anak perempuan saya ketika akan menyertakan puisinya dalam penerbitan antologi puisi,  Surat Buat Narkobrut. Dia terinspirasi oleh fakta umum yang sederhana, memakai narkoba itu tidak berguna,  sia-sia,  dan cuma memasukkan racun ke dalam tubuh. Lalu saya bilang,  "Ya,  itu tubuh kalau dimakan gak akan termakan,  pasti dimuntahin".  Lalu anak saya setuju kalau puisinya diberi judul,  MUNTAH DAGING.  Artinya,  yang mengonsumsi narkoba itu tidak akan bisa memakan atau menelan tubuhnya sendiri,  karena sudah berisi atau penuh racun,  termasuk menjadi racun masyarakat. Apalagi yang sudah banyak berulah maksiat dan kriminal.

Itulah soal termakan,  memakan,  memuntahkan dan dimuntahkan. 

Pada peristiwa Chandra di atas panggung 'kontes nyanyi'  Indonesian Idol itu,  kalau dia nyanyinya bener,  disukai oleh tuntutan lagunya,  dia pasti akan ditelan habis oleh lagu itu,   tak mungkin dimuntahkan.  Atau kalau klaim memakan lagu itu datang dari si penyanyi,  maka kebanggaan Chandra pada kemampuan dirinya yang telah bertanggungjawab menyelesaikan sebuah lagu,  pasti menjadi pernyataan yang berkonotasi positif,  dia sanggup menelan dirinya yang tidak menyebalkan.  Tidak beracun.

Ada bagian yang beda dengan imaji puisi anak saya,  Nurulita Canna Pambudi.  Sebagai pribadi yang makan racun,  tidak bertanggungjawab dan penyakit,  otomatis yang mengonsumsi narkoba itu akan dimuntahkan oleh dirinya sendiri. Atau,  pribadi yang baik pada diri seseorang pasti bangga menelan tubuhnya sendiri yang bersih dan tidak beracun. Dalam istilah umum,  tidak malah membuang diri.

-----
MUNTAH DAGING

Selamat datang di pintu neraka
Muka babi
Berkulit duri bermata api

Selamat menikmati hidangan nanah
Dan cambuk laknat berdarah-darah

Selamat hidup di dalam kafe
Sementara meja kursi mengarat sekarat
Bau pesing sampai musnah

Kau,  narkobrut!
Muntah daging
Panca indramu sendiri

Purwakarta,  2011
Nurulita
-----

Lalu bagaimana jika dibandingkan? Ketika lagu Chandra dengan sukacita menelan Chandra yang nyanyi bagus,  bertanggungjawab dan menarik,  apa narkoba mau menelan seseorang yang mengonsumsi narkoba? Ternyata tidak.  Narkoba justru tidak suka seseorang mengonsumsi dirinya dengan propagandanya yang populer,  "Aku akan menjadi racun tubuhmu,  dan tubuhmu tidak akan disukai masyarakat  manusia beradab,  maka biarkan aku tetap menjadi racun,  seperti orang beriman wajib bersyukur kepada Allah atas adanya alkohol,  sebab manfaat-manfaatnya,  tanpa harus kecanduan dan mabuk alkohol.  Sebab kegunaan alkohol bagi hidup itu sangat banyak".

Saya yakin anda pasti ingat dua orang soleh sahabat sejati.  Pasti saling melindungi.

Juga anda tentu ingat permisalan,  ada dua preman jahat yang berteman dalam satu geng,  yang satu sama lain bersaing tidak sehat, penuh permusuhan diam-diam,  dan saling menuding,  "kamu preman",  dan pada waktunya bisa baku hantam oleh ketersinggungan yang remeh.  Sebab janji hidup,  syetan tidak akan pernah bisa akur.  Kalau bisa akur,  bukan syetan namanya.

Maka marilah kita mulai berfikir,  pribadi siapa sanggup menelan dirinya?  Dan siapa akan memuntahkan siapa?

Seorang polisi yang baik tentu akan dimakan oleh profesi kepolisian. Profesi ini doyan polisi yang baik.  Gurih,  lezat ada kriuk-kriuknya.  Mustahil dimuntahkan,  sebab tidak beracun.

Seorang pribadi polisi pasti doyan kepada dirinya yang seorang polisi yang baik. Lahir batin model begini pasti makanannya siang malam.  Dia tak perlu memuntahkan daging tubuhnya sendiri.

Kalau meminjam istilah Indonesian Idol,  polisi itu akan berkata,  "Indonesia memilih.....  saya!" Atau Chandra malam itu berkata, "Saya memilih...   saya!" 

Seorang penyair pun demikian.  Ia mesti melahirkan puisi yang bisa dimakan,  bukan racun.  Dan puisinya yang bagus harus doyan tubuh penyairnya.  Atau,  puisi dan penyairnya adalah karib yang satu jiwa satu tubuh. Karena dapat dibayangkan kalau puisi Chairil tidak doyan Chairil,  bahkan muntah daging.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG