GINI SAYA NGENAL NASIR, GIMANA ANDA?

SAJAKINI

tentu marah 
karena kau terpaksa
tau

kecuali
yang sudah diam

Kemayoran, 13092017
#puisipendekindonesia 
------

Sebelumnya saya tentu tidak pernah dengar istilah Nasionalis Relijius (NASIR). Istilah ini saya renungkan pada saat saya pro-Mega, setelah calon yang saya dukung, Amin Rais tenyata jadi Ketua MPR, lalu presidennya, Gusdur. Lalu beberapa waktu kemudian wakil presiden Megawati naik menggantikan Gusdur dan nyalon jadi presiden lagi tapi gagal.

Sebenarnya ketika Mega maju lagi, saya sempat mendua, antara menginginkan Amin Rais lagi atau Megawati sebagai Presiden. Tetapi karena Amin kalah di putaran pertama, otomatis saya jadi total pro-Mega. Tapi akhirnya keduanya kalah oleh SBY. Maka saya mulai merenung nasionalisme era SBY dalam skala nasional, dan nasionalisme ala Bupati Lili Hambali di lingkungan Purwakarta. Meskipun sesungguhnya itu tentang nasionalisme yang sama. Tidak beda. Tapi ini jelas suasana yang jauh beda dengan suasana Orde Lama dan Orde Baru. Benar-benar pengalaman baru. 

Adakah di Jaman Bung Karno, presidennya dimenangkan PNI dkk trus bupatinya dimenangkan oleh Masyumi dkk? Atau di jaman Pak Harto,  adakah presidennya Golkar, gubernurnya PPP,  dan bupatinya PDI? 

Begitulah awal saya semakin terpancing untuk intensif berfkir soal prinsip nasionalis relijius, yang kemudian saya cantumkan juga sebagai keterangan di awal membuat akun facebook saya, Gilang Teguh Pambudi, nasionslis relijius.

Apa kaitan pemikiran saya itu dengan Mega dan PDI-P? Tentu sangat dekat. Sejak tahun 1982, saya sudah dengar bisik-bisik bahwa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) adalah partai preman. Waktu itu saya belum kelas 4 SD, tapi sudah tertarik kepada komentar politik. Kelak ini menjadi cara penyiar, jurnalis dan penyair membuka tabir demokrasi. 

Kesan itu masih terus saya rasakan sampai jelang reformasi. Meskipun saya sendiri di era Orde Baru merasa kader PPP (Partai Persatuan Pembangunan), yang tentu merasakan dikucilkan seperti bukan Indonesia, tetapi kemudian sempat tertarik juga untuk menjadi pemuda Golkar 'versi lain',  yang tidak perlu anti-PPP dan anti-PDI.

Padahal satu hal yang selalu terngiang-ngiang di telinga saya ketika itu tentang semangat PPP, karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, maka presidennya mesti seorang Muslim. Meskipun tanpa harus menyoret konstitusi. Tetap memberi hak yang sama kepada seluruh anak bangsa. Sebab ketika di suatu negara ummat Islam minoritas, ingin juga diberi hak yang sama. Artinya, spirit 'mesti muslim' menunjukkan, mesti diperjuangkan hingga berhasil. Termasuk Pak Harto sekalipun calon kuatnya. Bukan melanggar konstitusi atau anti NKRI. Bukan tidak nasionalis.

Saya berfikir di awal era reformasi. Apakah partai-partai yang disebut partai nasionalis itu tidak relijius? Sehingga PDI disebut partai preman (kadang sampai pada derajat cenderung di-PKI kan) dan PPP disebut partainya orang fanatik (Islam).

Tentu fikiran saya ini tidak terlalu merasuki 70-80% penduduk Indonesia yang setia sejak bayi kepada Golkar di era Orde Baru. Sehingga saya seperti menjadi 'berkelainan'. Sekaligus tidak perlu malu kalau melewati wacana politik ini, saya tidak jadi anggota legislatif.

Saya bisa merasakan,  politik tertinggi bagi masyarakat adalah POLITIK TPS.  Yaitu ketika aspirasinya tidak dihianati oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.  Tidak ada diskriminasi. Ini sungguh prinsip yang sederhana tapi lurus dan benar. Sebenarnya ini lebih nyaman daripada mengandalkan politik demonstrasi. Cukup lima tahun sekali, dilanjutkan dengan sikap amanah pemerintah. Kalau cara-cara pemerintah ditolak,  tidak akan dipilih kembali. Begitulah TPS. Murah. 

Sebagai siswa SMA-SPGN (tahun 1990) yang sangat cinta pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), saya sudah tidak setuju, ada kesan partai preman dan partai fanatik Islam itu. Sebab itu berentangan dengan PMP, dengan Pancasila. Maka pada suatu hari saya pajang kalender PPP di dalam kelas. Tetapi kemudian saya copot sendiri sebelum guru PMP mengajar, karena saya merasa hal itu tidak bagus. Seperti keisengan belaka. Meskipun landasannya, intelektual dan demokratis.

Saya mulai berfikir, terutama setelah menjadi peserta terbaik Penataran P-4 di Kelurahan dan Kecamatan, sesungguhnya partai-partai saat itu, Golongan Karya yang tak mau disebut partai, PDI dan PPP, kesemuanya sudah melandaskan diri pada Pancasila. Itu nasionalis. Ya, saat itu saya merasa cukup berfikir sampai ke titik argumentasi nasionalis. Sebab itu password-nya.

Bagaimana dengan PKI di masa Orde Lama? Masalahnya secara nalar masyarakat yang sederhana, selalu ada kabar sejarah soal propaganda PKI yang tidak sejuk dan ada pemberontakannya. Bahkan masyarakat di kampung-kampung yang sudah tua-tua, cerita soal begini dan begitunya PKI yang kurang memasuki relijiusitas masyarakat dan cenderung demonstratif. Memiliki daya tarik karena dua hal, janji-janji membela kaum jelata dan berani mengambil inisiatif, melakukan gerakan untuk menyongsong era perubahan di seluruh daerah. Agresif. Sampai ke tingkat membuat sebagian masyarakat sangat percaya.

Pada poin ini nampaknya menjadi sulit bagi masyarakat pasca tragedi tahun 1965 itu untuk menyebut PKI itu sesungguhnya nasionalis, apalagi relijius. Meskipun tidak sulit untuk menyebut PKI yang agresif itu menginginkan perubahan serius pada pembangunan di Indonesia, dan pada kekuatan sosial-politik yang ingin dikuasainya, dan seterusnya.

Bahkan posisi PKI menjadi sangat jauh berbeda dari seseorang yang sosialis-komunis yang masih terus berfikir tentang pembangunan Indonesia di segala bidang. Meskipun ujung-ujungnya paham ini pun tidak familiar di Indonesia karena berbeda karakter. Selalu muncul sebagai pengaruh dari luar yang jauh. Sedangkan pada urusan agama (Islam yamg mayoritas) tidak demikian. Saya melihat, agama berposisi sebagai proses pencarian Allah dan keadilannya. Sehingga itu sangat Indonesia.  Jatidiri masyarakat. Islam, tidak tepat disebut sebagai pengaruh asing. Tidak diimpor. 

Otomatis akibat propaganda-propagandanya, masyarakat miskin Indonesia yang terlalu banyak jumlahnya pada saat itu, banyak yang terhipnotis untuk segera menyambut masa perubahan bersama PKI itu. Tetapi Presiden Soeharto malah menjadi pihak yang paling ingin disebut mampu mewujudkan perubahan itu setelah menumbangkan PKI. Melahirkan semacam pesan meyakinkan, PKI gagal karena salah jalan, sementara Pak Harto dianggap berhasil karena telah berusaha mewujudkan ambisi masyarakat selama ini. Realistis. 

Tentu catatan saya ini tidak harus sampai membicarakan Presiden Soeharto lengser setelah ditempa ketidakpercayaan masyarakat pada semangat pemerintahannya di akhir Orde Baru. Bahkan masyarakat apatis-pesimis karena pembangunan dianggap merosot tajam dan isu korupsi terus meninggi. Belum lagi makin marak kabar buruk sebagai akibat sistem pemerintahan yang otoriter dan pendekatan yang represif, terlalu militeristik.

Di awal era eformasi itulah saya makin melihat seperti apa PPP yang pecah, masing-masing kubu kadernya  berteriak merdeka, merdeka, merdeka. Saya sendiri orang PPP pencinta PAN sejak sebelum dideklarasikan. Bagi saya ini penting, strategis, karena sebagai Orang Radio saya adalah public figure, pasti kena sorot masyarakat. Mau gak mau. Harus bebas sebebas-bebasnya bersikap benar.

Sementara PDI-P yang nampak lebih lembut pecahnya, beberapa kadernya yang masih menyimpan spirit dan romantisme pemikiran Soekarno membuat kubu-kubu tetapi dengan semangat yang sama, menyambut kemenangan demokrasi, kemerdekaan bersama.

Kadang sepintas terfikir, mengapa PPP dan PDI tidak memguat saja di era awal reformasi itu? Tetapi jalan fkiran kita ini kan tidak bisa mendikte progresifitas demokrasi di tanah air ke arah itu. Semua merasa punya argumentasi mendasar dan benar soal demokrasi. Kuncianya pun serupa, untuk kemajuan Indonesia yang sudah lebih merdeka dalam banyak hal. Telah menjadi seperti letupan semangat yang terikat ke Indonesiaan. Ke Nusantaraan.

Kita kembali ke suasana era awal kemenangan Presiden SBY melalui Pemilihan Umum yang telah bersaing dengan kubu Megawati pada putaran kedua. Putaran kedua inilah yang secara pribadi membuat hati politik saya mulai meninggalkan Amin Rais. Dia sudah selesai. Sebagai wong cilik, saya menginginkan Mega yang mrenang. Sebab era dia adalah era yang tentram. Jauh dari kesangsian huru-hara politik. Bahkan era yang cepat dewasa bagi PDI-P yang baru saja menghirup udara reformasi. Tapi apa boleh buat, secara konstitusional dan kewibawaan saya harus menerima eksistensi presiden baru. SBY menang secara sah dalam Pemilu terbaik yang berhasil dipersembahkan era Mega. Dia figur yang populer ketika itu, meskipun pernah kalah nyalon wakil presiden tetapi tetap punya  kewibawaan tinggi, kebapakan, tenang, dan relijius.

Saya sempat membuat dalil sendiri. Era SBY adalah era biru-merah. Tanpa melupakan warna lain. Terbangun oleh kubu yang menang (Partai Demokrat dll) dan kubu yang kalah (PDI-P dll). 

Sudah semestinya kemenangan SBY yang cuma 50% lebih itu, didukung oleh masyarakat yang kecewa dan kalah, yang tetap signifikan meskipun di bawah 50%. Meskipun secara formal (kepartaian) bisa nampak kurang harmonis, punya logika politiknya tersendiri. Tetapi para pemilih di TPS yang selama ini diperebutkan adalah masyarakat awam yang sama-sama butuh kemajuan pembangunan. Tanpa kecuali. Bahkan, okelah, saya mengaku termasuk bagian dari kubu yang kalah itu, tapi mau bersyukur untuk kemenangan SBY demi konstitusi, Pancasila dan NKRI.

Apalagi sebagai warga Purwakarta saat itu, saya punya bupati (yang biasa saya sebut, Pak RT) yang dijagokan oleh PDI-P. Maka lengkaplah, saya merasa bangga hidup dalam era kemenangan PDI-P di era-nya SBY.

Apa kunciannya? Ya, nasionalis relijius itu.

Tiba-tiba hati saya menjadi PDI-P yang pro-SBY memang. Ini sah. Rasa wong cilik yang baik bahkan. Bahkan terbawa ketika Bupati Lili Hambali kalah dalam Pilkada oleh Dedi Mulyadi. Okelah, saya masih PDI-P yang pro-Dedi (Golkar), sekaligus tetap pro-SBY. Ini penting, lagi-lagi karena saya punya posisi strategis, intelektual dan public figure.

Saya selalu teringat kenangan tahun 1982 itu. Apakah lalu saya saya simpatisan Partai Preman? Partai yang konon berbau PKI juga?  Tentu saja tidak. Saya relijius. Dan paradigma saya dalam ber Indonesia di hadapan Allah adalah menjadi nasionalis sejati. Seperti ketika saya pun telah melabeli PPP dan PDI di era Orde Baru itu nasionalis.

Bisa dibaca juga tulisan saya di cannadrama.blogspot.com yang bertema, kekhalifahan di muka bumi. Dengan percaya diri saya jelaskan, sesungguhnya kekhalifahan itu tidak usah selalu muluk-muluk, tidak harus selalu seperti Nabi di suatu titik yang hadir untuk dunia semua, bisa saja berbentuk munculnya presiden-presiden dan raja-raja yang saleh-salehah di tiap negara. Para pemimpin yang relijius, yang berwibawa, dan bisa membangun dan dicintai bangsanya. Tersebar di mana-mana tetapi perasaannya satu. Untuk keselamatan, kesejahteraan, keadilan,  dan kemuliaan di muka bumi. Bukankah itu namanya fikiran nasionalis? Bukankah itu artinya semangat membangun Indonesia dan melahirkan prmimpin yang handal dan percontohan?

Saya berkeyakinan, jika Tuhan dan malaikat mencatat saya (dan semua yang seperti saya) adalah orang PDI-P, tentu saya dan mereka adalah PDI-P yang nasionalis-relijius itu. Maka apa masih layak diisukan PDI-P partai preman?

Saya empatik di hari-hari perayaan tertentu, apapun, perayaan agama atau hari besar nasional, kader PDI-P yang berbaju merah eksotik itu tidak sedikit yang sudah biasa memakai kopiah/peci. Bung Karno pun berpeci nasionalis yang Islami.

Sampai pada suatu hari saya baca koran, ternyata Partai Demokrat di era presiden SBY  juga menyebut dirinya Partai Nasionalis Relijius. Persis. Artinya, jalan fikiran saya tidak keliru. Tidak kafir. Nasionalis relijus itu memang kata kunci di Indonesia. Ada juga yang berusaha mempetegas dengan sebutan, Nasionalis Beragama. 

Mengapa saya perlu cerita jalan fikiran saya sebagai mahluk kecil, orang biasa, sejak tahun 1982  itu? Sebab ini juga kesaksian. Bahkan kesaksian bagi kepenyairan saya yang bisa masabodoh sekaligus perduli pada partai-partai.

TPS itu tempat wisata warga bangsa berpartai yang terdekat. Gitu aja repot! 

Jangan salah, waktu saya pernah menyatakan siap menjadi kader Golkar jauh sebelum pecah reformasi, juga karena alasan, keburukan Golkar semestinya ditutup dengan semangat nasionalis relijius. Itu pancasilais. Apalagi saat itu saya Ketua Karang Taruna kelurahan, Remaja Mesjid dan sudah penyiar radio.

Minimal tulisan ini bisa dibaca berulang-ulang oleh teman, anakcucu, dan yang merasa murid saya.

Salam nasionalis relijius.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG