TIDAK SEMBARANG MAIN BATU

MAIN BATU

anak-anak main batu

menyusun bumi
membeli langit 
di deras sungai

anak-anak main batu

menggambar amanah 
sukacita apa saja
hati-hati di mana saja

Kemayoran, 05022018
#puisipendekindonesia
-----
Ini memang tidak dikaitkan dengan perubuhan susunan batu-batu kali yang terjadi di Cidahu. Cuma ada kemiripan dalam hal main batu.  Soalnya kita juga gak punya data jelas peristiwa di Cidahu itu yang konon penumpukan batunya dilakukan oleh orang tak dikenal dengan memakai helm. Sedangkan perobohannya dilakukan setelah peristiwa itu viral.  Khawatir ada kemusrikan dan lain-lain yang serba meresahkan.

Dari kacamata lain,  fenomena kemunculan sesuatu yang tidak jelas,  tidak terekam dan terpantau,  tetapi ada bukti peristiwa kelakuan mahluk hidup,  biasanya dikaitkan dengan mahluk asing,  termasuk mahluk langit. Tetapi dalam kasus batu Cidahu ini tidak sampai demikian.  Apalagi konon sudah ada yang lihat manusia berhelm itu.  Yang artinya,  jelas-jelas kelakuan manusia, bukan kelakuan mahluk yang turun dari Piring Terbang.

Biasanya untuk peristiwa gaib,  perbuatan mahluk yang bekas-bekasnya seperti manusia,  biasanya akan dikaitkan pula dengan kemungkinan adanya manusia purba,  atau manusia kuno yang masih hidup secara tersembunyi.

Adapun penyebutan dilakukan oleh syetan dan jin biasanya jika bersifat berbahaya dan membuat manusia jadi serba salah. Dengan tanda-tanda tidak lazim dalam kehidupan manusia.

Tulisan ini tentu cuma mau bicara anak main batu yang sesungguh-sungguhnya main batu.  Dalam bahasa Sunda termasuk katagori,  kaulinan barudak lembur (permainan tradisional anak-anak).

Saya mulai dari kisah saya dan teman-teman masa kanak-kanak dulu.  Waktu masih tinggal di Kendal, Jawa Tengah. Rumah saya di Perkebunan Kopi. Jaraknya tidak jauh dari obyek wisata Curug Sewu. Maka jangan heran,  tiap pulang sekolah atau di hari minggu kami sering ke situ,  berenang atau main air curug. Sesuatu yang murah,  gratis dan menyenangkan.  Padahal bagi pengunjung dari banyak tempat,  ke tempat wisata ini harus keluar biaya transportasi dan biaya masuk lokasi. Kami tidak. Kami merasa anak Curug Sewu,  anak sungai di situ. Tuan rumah.

Waktu pindah dari Jawa Tengah ke perkebunan di Sukabumi Jawa Barat,  saya jadi anak sungai lagi.  Siang malam bisa pergi ke sungai.  Namanya Sungai Ciletuh. Betapa tidak?  Rumah kami di atas bukit.  Listriknya pakai disel. Kalau mau ke sungai tinggal turun bukit tidak lebih dari 10 menit. Bahkan tiap berangkat ke sekolah jembatan Ciletuh selalu kami lewati. Baik jalan kaki atau naik motor.

Yang menarik,  hidup di sungai dari sejak kecil sampai remaja,  saya mencatat beberapa kegiatan yang menyenangkan. Pertama,  main perang gerilya.  Tembak-tembakan pakai mulut.  Kami saling bergantian pura-pura tertembak mati, lalu hidup lagi. Suara dor dor dor akan melompat dari mulut ketika berhasil memergoki lawan yang sembunyi atau berpapasan. Senjatanya,  bedil kayu bikinan masing-masing.  Tidak butuh peluru. Kadang juga dibuat dari pelepah pisang. Permainan ini kami lakukan sampai menyusuri dan menyebrangi sungai,  selain tiarap di sawah-sawah.

Permainan lain adalah heking seperti pramuka atau pencinta alam sambil foto-foto di sungai atau di air terjun. Menyusuri sungai sambil menyanyi-nyanyi bersama. Teman saya Nana Suryana tentu ingat ini. Kadang disertai mancing di sungai.  Atau berhenti di atas batu besar trus nyanyi-nyanyi sambil mukul-mukul batu itu dengan batu kecil.  Bahkan bisa setengah hari tidur-tiduran di batu sungai itu. Namanya aja Anak Sungai. Jangan heran.

Ketika saya kemudian kerja di Radio Bandung dan punya Kelompok Teater.  Saya menyebut,  pemukulan benda alam oleh benda yang sama atau berbeda untuk mengiringi tarian dan nyanyian itu disebut IRDAS,  irama dasar. Maksudnya suara alam yang bisa mengiringi. Bisa kayu dipukul kayu,  bambu dipukul bambu,  bambu dipukul kayu,  air dipukul tangan,  besi dipukul besi dst. Bahkan kami sempat merekamnya di ruang rekaman. Lalu kasetnya saya beri tulisan,  IRDAS. Mungkin Teguh Ari,  Deni Irwansyah dkk ingat ini.

Selain perang-perangan,  berenang,  heking,  mancing,  dan nyanyi-nyanyi di atas batu, di usia SD dan SMP itu saya juga mengalami mainan lain.  Bikin rakit dari batang pisang,  bikin primbon berupa tumpukan batu untuk mengumpulkan ikan-ikan ke dalam rongga-rongganya, mengumpulkan batu-batu kali yang bagus kelirnya,  dan iseng numpuk-numpuk batu. Mungkin peristiwa terakhir ini kalau buat Anak Pantai,  semacam bikin ulah pakai pasir. Kebetulan setahun sekali saya sekeluarga rutin wisata ke Pantai Palabuhan Ratu juga. Biar Anak Sungai sekaligus merasa Anak Pantai.

Kelak setelah dinas mimpin radio di Purwakarta,  bolehlah saya dan anak saya ngaku-ngaku Anak Situ (danau) .  Sebab di situ tempat mainnya Situ Buleud,  Situ Wanayasa dan Waduk Jatiluhur.

Dari rentetan pengalaman saya,  serta sudut keumuman budaya,  main di sungai dan main batu adalah suatu kegembiraan anak-anak.  Apapun bentuknya. Bukan cuma iseng gak jelas.  Itu hiburan murah yang dekat. Merakyat. Apalagi kalau para dewasa bisa mengarahkan jenis-jenis kegitannya serta mengisinya dengan pesan-pesan normatif.

Air deras,  asalkan bukan air banjir adalah kondisi normal buat Anak Sungai. Itu momen mengasah gerak motorik,  menjalin kebaikan sosial dengan teman sebaya,  serta mulai memahami prinsip: MENGATASI ARUS.

Menumpuk batu dari yang kuat di bawah sampai runcing ke atas,  seperti pada mancing,  mengasah kesabaran dan ketenangan. Asal bukan mancingnya seorang pemalas yang gak mau kerja. Apalagi kalau bisa dibalik,  yang kecil di bawah yang besar di atasnya. Amazing.

Bahkan di tangan panitia yang kreatif,  main batu pun bisa menginspirasi lomba agustusan. Menyusun batu-batu kecil. Bahkan bisa menambah selera Wisata Sungai. 

Menyusun bumi untuk meraih langit,  atau langit menguasai bumi,  jadi mengingatkan saya pada bagian tulisan saya pada buku Syair Wangi (cannadrama,  2009). Yaitu tentang 'ngabeuti'  (makan umbi-umbian). Suatu kebiasaan makan singkong yang sengaja menyampaikan pesan, sujudlah (sholatlah) masuk bumi menjadi akar menjadi ubi, tumbuh ke langit berdaun, berbunga (berbuah). 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG