CARACEKAK BOLODEWO
KAU SEBELUM KUSENTUH
seperti apa hangat telapak kakimu
waktu menyentuh tanah paling cinta?
waktu kering dan basah
dengan bunga dan pepohonan
yang tumbuh di sekujur tubuhmu.
seberapa menggigil hujan di tubuhmu
sebelum kusentuh tadi?
-----
MENAFSIR KAKI ANAK-ANAK
kau lihat kakiku kecil-kecil
banyak jumlahnya
hati-hati sekali
melewati kebun-kebun sayuran
setiap hari
apa yang akan mereka ceritakan
soal masa lalunya pagi ini?
apakah juga tentang kaki yang banyak itu
dari tubuh dan ingatan yang satu?
Kemayoran, 01032018
#puisipendekindonesia
------
Gini. Kita mulai dengan tidak sok pinter soal tokoh Baladewa. Pura-puranya, kita ini masyarakat awam, terlalu awam bahkan, yang tahu kalau tokoh Baladewa itu katanya seorang ksatria berwajah merah, tandanya pemarah.
Menurut kabar selintas, katanya Baladewa itu sangat dekat kepada Pandawa Lima dan Sri Kresna. Bahkan dekat juga dengan Panakawan. Ini sudah data. Data yang cukup bahkan, melengkapi data pertama. Gak usah dulu jauh-jauh. Ngebandingin ini dan itu. Apalagi setiap ketemu kebenaran dan kemuliaan yang tidak mungkin bertentangan dengan kalimat lurus apapun, kelak kita selalu sampai pada ijma ulama.
Data lain yang diketahui masyarakat awan menyebutkan, ketika akan pecah Perang Bratayuda (brontoyudho), pihak Pandawa dan Sri Kresna menghendaki Ksatria Baladewa memihak Pandawa melawan musuhnya, Kurawa. Tetapi Baladewa memilih tidak sudi memihak keduanya. Malah Baladewa marah-marah, kekewat marah, sampai memilih berendam di sungai. Karena menurutnya, peperangan itu tidak perlu, tidak ada gunanya!
Satu lagi sebagai data pemgetahuan kalangan awam. Nama Baladewa sering terdiri dari dua kata, bala dan dewa yang diartikan teman Dewa. Selain dua kata itu, ada juga yang menyebut terdiri dari kata balad dan kata dewa. Balad seperti dikenal di tatar Padundan, artinya teman. Jadi balad dewa juga memiliki maksud teman dewa.
Sesuai dengan judul tulisan ini, Alacekak Bolodewo. Maka kita akan memulainya dari yang sederhana dan dangkal ini saja. Dangkal dalam pengertian cepat dan mudah diselami. Tidak rumit. Dangkal atau cekak dalam konteks ini tidak selalu berarti sangat bodoh.
Gini. Baladewa itu sebenarnya tidak ada dan tidak akan pernah ada. Sebab pada diri pribadi setiap orang selalu ada diri yang berkecenderungan baik, dan ada diri yang berkecenderungsn buruk. Sekitar tahun 1995-1999, di tengah komunitas teater dan kelompok drama radio saya terus melakukan observasi dan merenungkannya.
Ya, kesimpulan saya saat itu, pemain teater atau pertunjukkan teater itu sesungguhnya alat kearifan budaya yang terus mengajak manusia hidup dalam kebaikan saja. Lain tidak. Yang artinya, kita telah menemukan dan bersepakat, yang wajib disebut manusia itu adalah manusia yang kecenderungan baiknya kuat, menonjol dan menang. Kekurangannya adalah ruang istigfar, ruang mohon ampun, karena kira terus menolaknya.
Kebalikan dari manusia yang lurus ini adalah, manusia dengan kecenderungan maksiat dan jahat. Hidup sebagai eksistensi nafsu syetan atau penampakan iblis.
Meskipun di tengah masyarakat ada dua kecenderungan itu, tetapi dalam ngaji Alacekak Bolodewo kita mesti kembali ke dalam diri pribadi.
Kita mulai dengan memginsyafi eksistensi pribadi soleh dan solehah. Ini pribadi yang disukai oleh hidup dalam naungan cinta dan kedamaian. Dirahmati Allah Swt. Dalam pribadi ini, ada Pandawa (kesalehan, kebaikan), dan Kurawa (pihak yang dilawan). Pada saat yang sama ada sisi yang tidak bicara, ada tapi tidak ada, yaitu sisi percaya. Percaya bahwa dalam pergulatan baik dan buruk, pasti kebaikan akan menang, sebab ia ditunggu oleh anak-cucu Adam sebagai janji Allah sejak awal penciptaan. Pasti menang.
Sisi percaya dalam diri, Baladewa, dia tidak butuh memihak, tetapi yakin kebaikan akan menang. Bahkan ini memgisyaratkan, bahwa sisi Baladewa, sebagai teman dewa, teman malaikat, menyebut kontradiksi dalam diri itu sesungguhnya sia-sia belaka. Bagaimana tidak sia-sia, kalau kebenaran pasti akan menang? Yang jadi sisi jahat, melalukan omong kosong. Percuma. Yang jadi sisi baik, cukup dengan hidup lurus, kejahatan diri tidak akan menghampiri.
Tapi sisi Baladewa mesti marah, sampai merah mukanya, karena kontradiksi dan perang di dalam diri, di dalam setiap tubuh pribadi, pasti akan terjadi. Semisal kepala daerah di depan kenyataan siap korupsi atau menolak korupsi, padahal sejumlah uang sudah bergelimpangan di depan pelupuk matanya, tinggal ambil. Ya, Baladewa marah-marah, mengapa kenyataan ini harus ada. Sampai Baladewa memginsyafi, memang harus dihadapi. Meskipun Baladewa tidak suka Pandawa berperang, tetapi ia berdoa semoga Pandawa menang.
Sehingga kalau suatu ketika, setelah Pandawa menang, lalu ada prajurit Kurawa datang kepadanya, Baladewa pasti akan bilang, "Sudah kubilang, jangan perang, sia-sia, jangan melawan Pandawa, jangan memusuhi kebaikan. Jangan jahat-maksiat. Karena aku cinta kalian. Tetapi kalian memaksa. Sombong. Padahal dengan posisi aku yang tidak butuh membela Pandawa pun, mereka pasti akan menang! Pasti menang! Wajib menang! Paham kalian, manusia-manusia durhaka? Kata-kataku, kata-kata malaikat".
Lalu bagaimana kalau yang datang Ksatria Pandawa? Bisa jadi Baladewa akan teriak, "Pergilah kau dengan ucapan selamatku! Gak perlu bicara apapun, semua sudah tertulis. Aku tidak perlu merasa senang karena sudah terlanjur terjadi perang. Aku memang tidak bahagia. Itu saja. Tidak punya rasa. Sebab yang membahagiakan itu jika tidak ada perang dan tidak ada nyawa yang bergelimpangan sia-sia. Tetapi sekaligus menunjukkan tidak ada kejahatan dan kemaksiatan sama sekali".
Begitulah manusia. Takdirnya harus punya kontradiksi di dalam diri, antara sudah tahu dan belum tahu, antara mau dan tidak mau, antara jujur dan bohong, antara baik dan buruk. Sebab dengan cara demikian, setiap pribadi menjadi pintar, teruji, tegas, keras, dan bijak.
Dengan merasa pernah bodoh, seseorang bisa marah-marah dengan penuh kasih sayang kepada orang-orang bodoh agar jadi pandai. Agar mereka selamat dan tidak mudah tertipu. Sebab menjadi pihak yang bodoh, yang tertipu dan terniaya itu sangatlah menyakitkan bagi jiwa kemanusiaan kita yang beradab.
Jadi, dengan memasuki wilayah yang cekak (sederhana dan mudah) ini, kita telah berbagi soal cara mudah memahami hidup. Caracekak Bolodewo.
Maka dalam peristiwa sosial, ketika kita melihat orang baik dan jahat berseteru sesungguhnya jiwa Bolodewo kita ada. Selalu menyalahkan mereka yang bertikai. Kita bilang dalam hati, mengapa tidak berdamai saja? Tetapi kita juga marah-marah, bagaimana berdamai dengan orang jahat? Tidak ada cara lain kecuali melawan . Kita juga marah besar kepada para jahat itu, mengapa tidak jadi orang baik saja?
Dalam hubungan antar golongan dan antar negara yang bertikai pun begitu. Posisi Baladewa kita marah besar, sampai-sampai kalau kita sebagai bangsa beramai-ramai berendam di air terjun yamg deras dan dingin pun tubuh kita tetap saja panas membara, menahan marah luarbiasa.
Itulah ajaran Wayang Wali. Selalu berisi dakwah yang kuat. Memang mesti hati-hati keluar masuk cerita pokoknya, tetapi tetap saja tafsirnya sangat luas menemui setiap titik peta dan setiap titik persoalan. Sehingga, dalam setiap upaya manusia mesti dipandu Kitab Suci.
Akhirnya, sebaiknya kita tidak usah terlalu pusing mikirin Baladewa kita. Gak penting juga kan? Sebab ketika kita merasa diam tanpa sikap, sesungguhnya saat itu kita sedang berbuat, antara baik dan buruk. Ya, semarah apapun Baladewa, toh tetap saja Pandawa harus menang. Dalam bahasa Wali Songo, menggenapi janji dan takdir Allah Swt.
Sampai suatu ketika, waktu ada anggota DPRD Purwakarta yang baru pulang dari menghadiri hajatan Emha Ainun Nadjib, ngasih oleh-oleh ke saya di ruang siaran, berupa kaos Baladewa, saya senyum-senyum bahagia.
Semoga setelah baca tulisan ini, kita semua jadi senang membaca, nanggap atau nonton wayang. Seni tradisi Indonesia, dengan gagasan, rupa, wajah dan isi Indonesia.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar