JANGAN MENYAKITI HIDUP

BELUM TENTU

semulus apa jemari
belum tentu puisi
sayangnya, juga teriakan, 
"Mesti ngaji puisi! "

Kemayoran,  28032018
#puisipendekindonesia 
------

Hidup jangan menyakiti hidup.  Ini smes yang utama. Sebab banyak manusia berdalih pada satu pegangan,  merasa pada penyelamatan, ternyata menyakiti. Termasuk,  ya, karena gak paham kitab suci. Meskipun bersikeras pada ayat-ayat dan titik komanya.

Menjadi ahli kitab yang tertutup. Tidak mengerti. Padahal mestinya terbuka. Karena garis ajaran lurus dan lengkung tafsirnya akan terus bekerja. 24 jam penuh kasih sayang. Termasuk menyuci yang bisa disucikan, sekaligus mematikan fanatik yang menyempitkan.

Saya tertarik sedikit bercerita dalam tulisan ini. Memutari kebahagiaan dan kesedihan tiap orang yang berbeda-beda. Sesuatu yang serius.

Beberapa orang telah berkata. Menyikapi propaganda besar yang sudah kemana-mana. Misalnya begini, "Bagaimana mungkin seseorang yang sudah bercerai, berantakan rumahtangganya,  bisa berdakwah tentamg keharmonisan,  bisa memimpin komunitas insan soleh,  apalagi memimpin negara?"

Demi mendengar ada kitab suci yang ditikam. Seseorang yang bijaksana segera bernasehat kepada salahsatunya.  Hakekatnya kepada hidup. "Jangan kau menyakiti hidup. Sebab pada perceraian itu ada surganya". Dia menatap sejurus. Tajam dan serius. Lalu lanjutnya, "Sebuah perceraian. Bisa dinanti-nantikan oleh seorang suami,  ketika dia melihat kecamuk dosa pada istrinya yang tak terkendalikan. Jelas lelaki itu telah memanggil Allah demi surganya. Begitupun sebaliknya. Ada istri yang mendamba-damba perceraian.  Karena murka Allah pada suaminya. Maka siapa berani menolak suritauladan dan kepemimpinan lelaki pilihan Allah yang telah perwira menceraikan istrinya? Dan siapa pula yang telah menciduk air laknat,  karena menolak hujah wanita salehah yang bersyukur atas perceraiannya? "

Hening dan angin bertiup semilir.

Lelaki bersahaja itu melanjutkan kalimatnya. "Dalam perceraian, ada pahala besar yang diberikan kepada sepasang suami istri yang diridoi Allah tetapi mesti bersepakat cerai. Sebab beberapa cobaan telah datang mengganggu keharmonisan keduanya.  Meskipun keduanya istikomah di jalan lurus. Ini bijaksana".

"Tentu. Tentu tidak semua bisa berhukum demikian. Ada kalanya Allah lebih cenderung pada suaminya ketika terjadi perceraian, atau sebaliknya. Tetapi ada juga sepasang suami-istri yang bercerai dalam keadaan keduanya dilaknat Allah".

"Untuk itu", lanjut lelaki bersahaja itu,  "Bethati-hatilah dengan fitnah.  Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Tidak semua perceraian itu dimurkai Allah.  Bahkan ada yang dijanjikan surga".  Dia menghela nafas panjang sebelum menutup kalimatnya,  "Hanya Allah yang maha tahu dan maha agung. Janganlah kita melukai hidup dengan merasa benar dan menang sendiri. Tidak sedikit istri yang tetap bertahan tidak bercerai,  padahal suaminya dari golongan durhaka. Rupanya si istri selama ini memang selalu menahan sakit hati Allah. Sehingga salahlah yang berpendapat, jika seorang suami telah durhaka, maka istrinya ikut serta. Padahal sang istri itu masih menjaga anak-anaknya di jalan lurus".

"Pun seorang suami, bisa bertahan tanpa menceraikan istrinya yang nyata-nyata telah dihinakan Allah. Sebab dia suami bijaksana kepada istri dan anak-anaknya. Ia merasa masih menegakkan 'pesantren keluarga'.  Tempat pulang istri dan anak-anaknya yang kesasar.  Meskipun terkadang,  yang ditunggu tak pulang-pulang. Ya, meskipun hidup serumah".

Pada kali lain, sebuah propaganda seperti angin busuk yang diledakkan kemana-mana. Para wanita, dan kaum pria yang mengaku pendukung perjuangan kaum wanita ikut terlibat kasak-kusuk yang busuk itu. Bahkan melalui pintu partai politik.

Kalimatnya begini,  "Poligami itu menyesatkan.  Hidup melulu hanya soal seks". Ditambah lagi dengan penjelasannya yang menjatuhkan Nabi SAW,  "Poligami yang halal, mulia dan harmonis itu hanya milik Rosulullah,  sebab dia insan pilihan tidak seperti kita. Manusia biasa". 

Dengan terpaksa lelaki bersahaja itu berkalimat kepada kerabat dekatnya yang demikian. Katanya,  "Jangan menyakiti hidup. Hidup akan luka-luka oleh pendirianmu. Bahkan bisa sangat parah. Cukuplah untuk dirimu dan yang sekondisi denganmu saja kalau tidak memilih poligami. Sebab sungguhpun poligami itu sulit,  bahkan yang cenderung harmonis meskipun tetap punya cobaan-cobaan pun tetap diserang fitnah sana-sini,  sebagai penghianat keharmonisan manusia. Poligami tetap saja solusi. Pilihan. Maka berkasihanlah. Berdermalah dengan hati yang penuh cinta, pada keadaan baik apa saja. Allah menunggumu di situ. Jangan bertengkar dan menebar fitnah.  Meskipun para pihak yang lancar poligaminya,  malah berkasihan kepada para penghina di mana-mana".

Lelaki bersahaja itu duduk lebih mendekat ke arah kerabatnya. Lanjutnya,  "Ada poligami yang malapetaka.  Memang.  Dilakukan karena keduanya, suami dan istri mudanya, bahkan melibatkan istri yang mengijinkan poligami,  semuanya terjebak dosa. Itu bisa terjadi.  Sebab dunia ini menyesakkan. Tetapi ada juga poligami yang justru ditunggu-tunggu malaikat Allah karena memang mesti terjadi,  jika waktunya tiba".

"Sampai-sampai seseorang berilmu telah berkata,  telah aku tunaikan kehendak muliamu".

Ia menatap kerabatnya dengan meyakinkan, "Segala dalil di situ terlambat oleh kepastian Allah .  Meskipun angin fitnah bertubi-tubi".

"Kusarankan. Jangan mudah tertarik poligami. Pasang mahal untuknya. Tentu tidak untuk duniawi yang menipu belaka. Tetapi wajibkan memahami ilmu poligami. Atau setidaknya mengenali orang yang memahami. Karena itu soal kemungkinan. Sampai suatu saat,  jika malaikat bertanya melalui peristiwa-peristiwa, kamu fasih menjawabnya". 

Diam sejenak.  Sampai detak jam tangan terdengar.  "Kamu jangan sombong karena tahu. Jangan sombong karena tahu titik bahagia poligami.  Jangan sombong juga karena kamu tahu rahasia jatuh hinanya poligami".

"Jangan marah-marah kepada Allah.  Jangan maki-maki sejak jauh sebelum kelahirannya. Ketika cucu-cicitmu kelak  berpeluang poligami, tetapi dimuliakan Allah. Sebab dengan mengatakan, hanya nabi yang sanggup berpoligami, selain di satu sisi bisa bermakna kita mesti sehati dengan nabi, menjadi suara hatinya, sehinga halal dan diberkati berpoligami,  kalimat itupun bisa  mengejek Nabi SAW. Kamu telah menyatakan, Nabi hanya pantas punya ilmu untuk dirinya sendiri, bukan untuk ummat. Dan itu dosa besarmu. Menyakiti Nabi,  menyakiti hidup! Padahal sejak kapan Rosulullah memaksamu berpoligami? "

Selesai lelaki bersahaja itu berpesan.  Beberapa waktu lamanya pesannya itu sanggup mendiamkan kerabat dekatnya.  Tetapi suara gaduh dan propaganda terus ramai.  Bahkan menyalahkan kitab suci.

Lelaki itu menitipkan kalimatnya pada sebuah perempatan jalan, ketika berpapasan dengan kerabatnya. "Aku tahu, kamu gelisah, ada kitab suci disalahkan. Padahal mestinya kitab suci yang palsu saja yang wajib disalahkan. Atau salahkan bunyi kitab suci di mulut si bodoh, yang sekeluarnya dari tempat peribadatan, sengaja atau tidak,  dia telah merubah kitab suci. Tidak dalam huruf-huruf yang dikenali masa depan. Bukan kitab yang lurus dan menyelamatkan dengan cinta".

"Begini,  kalau kemuliaan tidak ada pada titik peta yang terserak, bagaimana pengguna peta menemukannya? "

"Aku tahu. Menyakiti dan melukai hidup juga mendatangkan kepuasan sesaat. Tetapi sejak kapan kematian kita anggap kehidupan? Ketenangan dan kebahagiaan anak cucu? Garis prikemanusiaan?"

"Dalam prinsip kehalalan, Allah hanya meminta kita hidup melulu secara halal.  Tanpa dosa celaka.  Tetapi cobaannya sungguh berat. Dari ahli fitnah dan tukang adu-domba. Padahal kita tidak cuma tahu halal. Bahkan sampai ke puncak, menahan halal. Karena hidup di tengah persoalan dan cobaan ini tidak mudah. Kita mengenal puasa wajib,  menolak haram. Bahkan menahan yang halal.  Sampai puasa sunah. Puasa Syawal di dalamnya. Tetap berpuasa meskipun sesuatu apa saja itu telah dipastikan halal".

"Tapi jangan sampai karena kehati-hatian kita. Setia di garis tegak. Membeli langit untuk kepentingan bumi. Kita menjadi gegabah kehabisan cinta untuk yang serba berlaku halal apa saja,  yang kita tidak memilihnya".

"Dan salahsatu sikap menyakiti hidup itu adalah ketika seorang pribadi terlalu memaksaksn diri melahap dunia,  meskipun yang serba halal.  Sebab seperti mesin, hidup pun dijaga istirahnya".

Begitulah. Kali ini saya jadi ingin bercerita. Perlu bercerita. Saya ingin bicara obor,  ya  menulis obor,  tetapi siapapun bisa melihatnya sebagai sepeda atau kertas kantor. Pelan-pelan saja. Sebab ngaji itu capek banget. Tarik ke sawah, barulah berfikir soal sawah. Tarik ke langit,  jadilah teori bintang. Jangan sekaligus,  jangan buru-buru. Bijak juga bersesuaian dengan peristiwa-peristiwa harian yang dekat. Tarik ke kamar, bantal dan kehidupan sosial. Bawa ke pagi,  mengapa berbeda dengan senja? Bawa naik, memahami cara mengangkat tinggi. Bawa ke jadi,  sehingga siap ditawari jadi bupati,  memimpin organisasi atau tanpa ditawari, Allah memilihnya sebagai wali.  Dan seterusnya.

Al-Quran berpesan. Kalau kita, misalnya, sudah diberkati menjadi ahli hukum. Maka kita berdiri di atas semua hukum dunia, di atas hukum negara-negara.  Dan di Indonesia, kita setia pada hukum-hukumnya karena ada kalimat langit yang telah diperjuangkan di situ untuk kepentingan semua manusia Indonesia,  tanpa kecuali. Yang bhineka tunggal ika itu. Lalu ambil permisalan lain, ketika kita seniman, memahami kehalusan dan keindahan dunia yang tidak menipu,  tetapi menghidupkan tradisi Nusantara.

Cerai dan poligami itu hanya satu soal saja. Yang terlalu penting.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG